My Coldest CEO

81| Finally Brought Together



81| Finally Brought Together

1London, 09.30 AM     

Kini, Felia dan Leo sudah menginjakkan kaki di salah satu mansion mewah sesuai dengan lokasi yang diberikan oleh Rio. Dengan menaruh lengannya di pinggang sang wanita, kini Leo menatap datar siapapun yang nanti berhadapan dengan dirinya.     

Rumah yang tidak kalah jauh dengan milik Leo, menjadikan dirinya berpikir maju tentang alasan yang terlontar dari mulut Rio kemarin.     

"Tuan, jangan tegang. Tersenyum lah, nanti cepat tua loh kalau marah-marah terus."     

Wajah tegang Leo rileks ketika mendengar suara lembut Felia yang mulai menyapa masuk indra pendengarannya. "Iya sayang, kalau ingat." balasnya sambil menunjukkan senyuman simpul. Ia memajukan wajahnya untuk mencium puncak kepala sang kekasih.     

Pintu utama besar rumah ini sudah terbuka lebar dengan seorang gadis muda yang sepertinya bekerja sebagai maid di rumah ini.     

"Selamat pagi dan selamat datang, dengan Nona Felia, ya?" tanyanya dengan sangat sopan, bahkan nada bicaranya pun ramah tidak di lebih-lebihkan walaupun ada seorang Leo yang berada di hadapannya.     

Leo melihat Felia yang menganggukkan kepala dengan gerakan ragu, padahal sudah jelas itu namanya. Sebagai bentuk kekuatan, ia mengeratkan lengannya di pinggang wanita tersebut seolah-olah memberitahu kalau ini akan baik-baik saja, ya semoga seperti itu.     

"Baiklah mari ikuti aku, sudah di tunggu Tuan Muda di ruang tamu. Silahkan masuk," ucap gadis tersebut sambil lebih dulu melangkahkan kaki untuk memimpin jalan mereka.     

Dengan langkah yang menyamai tiap langkah kaki wanitanya, Leo melihat terdapat raut wajah khawatir yang tercetak jelas di sana. "Kenapa, sayang? ada yang kamu sembunyikan dari saya?" tanyanya dengan volume kecil supaya percakapan mereka tidak di dengar oleh siapapun.     

Felia mengerjapkan kedua bola matanya, lalu mendongakkan kepala untuk melihat wajah Leo yang sialnya sangat tampan itu. "Gak apa, Tuan. Aku ngerasa gak enak saja, seperti ada sesuatu yang menunggu selanjutnya." ucapnya yang di susul dengan hembusan napas.     

Leo menampilkan senyumannya, walaupun ia merasakan hal serupa namun dirinya lebih bisa menyembunyikan perasaan tersebut lebih rapih dan memilih untuk diam sampai apa yang akan terjadi muncul di hadapan. "Kamu yang bilang pada saya untuk jangan berpikiran negatif, tapi kamu malah seperti itu juga." ucapnya sambil terkekeh kecil, ia melepas lengannya dari pinggang Felia dan di pakai untuk mengelus-elus rambut lurus panjang lembut milik wanitanya.     

"Iya, tapi mau bagaimana lagi kan aku gak kenal banget sama Rio."     

"Saya kenal, tapi tidak mengobrol jauh selain tentang urusan kantor. Lagipula saya bukan pembuka obrolan yang baik, jadi ya saya pikir kenal dengannya namun tidak dekat."     

Leo memang pernah beberapa kali mengadakan pertemuan dengan Rio, namun tanpa Azrell. Sekretarisnya itu kadang sibuk dengan pekerjaannya, namun hanya di keadaan darurat saja tidak ikut meeting. Selebihnya, ia mengadakan pertemuan luar kantor dengan laki-laki yang di maksud tentu saja tanpa Azrell.     

"Silahkan duduk dulu, mungkin Tuan sedang pergi ke toilet. Aku permisi dulu," ucap maid tersebut sambil menghentikan langkahnya. Ia mempersilahkan kedua tamu spesial yang sudah di katakan Rio kepadanya dan beberapa pekerja di sini, ia pamit undur diri untuk membuat minuman di belakang.     

"Terimakasih ya," ucap Felia sambil memberikan senyuman. Lalu ia melangkah ke arah sofa panjang, meninggalkan Leo yang masih berpijak di tempat mereka berhenti tadi.     

"Tuan, kenapa masih berdiri saja? tidak lelah? kita belum istirahat loh sehabis terbang pulang dari New York."     

Memang benar, ini semua atas permintaan Leo sendiri yang mengatakan untuk segera datang ke lokasi yang di tentukan oleh Rio. Dan ya, tentu saja ia tidak ingin membuang banyak waktu untuk laki-laki itu. "Iya, tunggu sebentar." ucapnya sambil melangkahkan kaki ke arah berbagai macam pajangan yang terdapat di nakas yang dinding atasnya terpanjang banyak bingkai foto keluarga.     

"Wallson.." gumamnya yang mengingat marga yang melekat di belakang nama Rio. Ia meneliti satu per satu bingkai foto tersebut, rumah sana hanya ada satu foto keluarga kecil utuh dengan empat anggota. Iya, hanya ada satu foto saja sisanya secara berturut-turut terpajang foto Rio dan sepertinya Nyonya besar Wallson.     

Ia terpaku melihat satu bingkai yang berisi keluarga utuh, ia sedikit kebingungan dengan foto-foto ini. Sepertinya ada perpecahan keluarga yang seharusnya memang tidak dirinya tahu. Menatap lekat seorang gadis mau kecil yang berada di samping seorang pria kecil juga di sana, lalu ia mengerjapkan kedua bola matanya.     

"Tuan lihat apa sih, serius banget."     

Terkejut dengan kehadiran Felia yang tiba-tiba berada ri sampingnya, akhirnya Leo menatap lekat wanitanya itu. "Mirip.." gumamnya dengan sorot mata yang sangat tidak ia percaya. Karena belum merasa kalau ini benar, ia kembali mengalihkan perhatian dari bingkai foto ke pahatan wajah Felia yang sekarang, bolak-balik berkali-kali.     

"Mirip apanya sih Tuan, aku gak ngerti tau.." balas Felia sambil menaikkan sebelah alisnya, ia tidak tahu dengan apa yang di miripkan dengan dirinya. Apalagi melihat raut wajah Leo yang seperti terkejut dengan suatu hal, tolong lah ia sama sekali tidak mengerti dengan keadaannya yang di maksud oleh kekasihnya itu.     

Leo memaku pandangannya ke wajah Felia, lalu ia tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala. "Enggak, tidak jadi sayang." ucapnya sambil memajukan wajah untuk mengecup singkat kening wanitanya dengan perasaan sayang yang menyeruak besar.     

"Apa ih bohong kan, masa tadi bolak balik melihat aku seperti itu. Aku berasa seperti sedang di banding-bandingkan."     

"Tidak, dasar penasaran ya kamu.."     

"Iya lah, gimana aku gak penasaran kalau kamunya aja kayak gitu huh."     

Leo hanya terkekeh kecil, lalu mengacak gemas puncak kepala Felia dengan senyuman mengembang. Walaupun hatinya masih merasa janggal dengan apa yang terjadi, tapi tetap saja mengubur seluruh pemikirannya yang tercetak di dalam otaknya. "Yasudah yuk sayang duduk lagi di sofa, pasti kamu lelah." ucapnya sambil mengambil tangan Felia untuk di genggam, dan dirinya mulai mengarahkan wanita itu ke tempat semula tadi duduk dengan tenang.     

Setelah mereka berdua mendaratkan bokong di sofa yang empuk, terdengar derap langkah kaki yang memenuhi ruang tamu.     

"Maaf lama, tadi aku harus mengambil dokumen yang terselip di ruang kerja."     

Akhirnya, di susul dengan suara bariton tersebut dan ya tampaklah wajah Rio yang tampan sudah terlihat di kedua indra pandang mereka.     

Leo melihat Rio dengan tatapan yang sangat menelusur karena menjadi sedikit tidak suka dengan laki-laki itu. "Iya tidak masalah, tidak jadi bertemu juga itu bahkan lebih baik." jawabnya dengan nada sedikit tidak suka. Kalaupun yang berada di benaknya saat ini adalah sebuah kebenaran, ia tidak akan pernah takut dengan Rio.     

Felia yang mendengar deretan kalimat yang meluncur dati mulut Leo itu langsung saja menepuk paha laki-laki tersebut. "Hust, jangan kayak gitu, Tuan. Bicara dengan sopan," ucapnya sambil berbisik. Ia tersenyum tidak enak ke arah Rio karena tindakan yang di lakukan Leo benar-benar terlihat memalukan.     

Rio hanya menampilkan sebuah senyuman, mewajarkan apa yang tengah di lakukan oleh Leo. Lagipula memang mungkin salahnya menelepon Felia saat sedang bersama sang pawang. "Ah iya itu tidak masalah, Leo sangat cemburu dengan ku jadi wajar saja." ucapnya sambil terkekeh kecil.     

Lagipula, bersikap santai adalah hal yang sangat pantas untuk dilakukan saat ini supaya tidak tersulut emosi.     

"Jadi, apa inti pembicaraannya?" tanya Leo sambil menaikkan sebelah alisnya. Ia sudah lelah dan juga ingin istirahat, kalau sampai percakapan ini tidak penting bisa-bisa dirinya marah-marah tidak jelas dengan laki-laki di seberangnya yang sudah duduk manis di atas single sofa.     

Felia hanya diam saja, semua percakapan akan di kepalai oleh Leo. Ia tidak ingin membalas Rio kalau memang tidak di perlukan, takutnya malah membuat sang kekasih tersulut emosi.     

Dengan tangan yang sudah menggenggam beberapa dokumen, Rio membenarkan letak duduknya dengan tegak. Mencondongkan tubuhnya lalu kedua lengannya bertumpu pada masing-masing kakinya yang tertekuk. "Jadi begini, Felia..." ucapnya yang memulai pembicaraan namun ragu, lalu memutuskan untuk berdehem kecil. "Felia Azruela Wallson?" sambungnya sambil menyebutkan nama panjang Felia.     

Leo yang mendengar itu tentu saja membelalakkan kedua bola matanya, ia tidak habis pikir dengan apa yang ia dengar. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah Felia, wanita yang di maksud oleh Rio.     

"Iya, itu nama aku. Kenapa?" jawab Felia dengan raut wajah yang masih sama bingungnya.     

Terlihat Rio yang mulai menampilkan kristal bening di kelopak matanya, terlihat jelas kalau penantiannya selama ini terbayar sudah. "Aku sayang sama kamu, Fe.." lirihnya sambil menyodorkan dokumen-dokumen tersebut ke atas meja, tepat di hadapan Felia.     

Leo melihat wanitanya yang mengambil semua dokumen itu, ia ikut meneliti apa yang terdapat di dalam beberapa lembaran kertas itu.     

"Itu semua bukti kalau kamu bagian dari keluarga Wallson, Felia. Adik ku yang di bawa kabur beberapa tahun silam lamanya,"     

Felia menggelengkan kepalanya, tidak percaya dengan semua ini. Namun bukti yang berada di tangannya kini terlihat jelas kalau apa yang dikatakan Rio benar adanya.     

Leo melihat sebuah foto yang menunjukkan bagian leher seorang gadis kecil, satu lembar foto yang menunjukkan tanda lahir. Dengan gerakan segera, ia memutar tubuh Felia untuk melihat apakah ada tanda lahir yang serupa dengan apa yang terdapat di foto itu. Menyingkirkan rambut wanitanya, dan..     

"Ada."     

Menatap Rio dengan tatapan yang sama berkaca-kaca, ternyata selama ini keluarganya benar-benar mencari dirinya. Felia menaruh dokumen yang berada di tangannya kembali ke atas meja, lalu beranjak dari duduknya dan langsung berlari untuk menghamburkan diri di dalam pelukan Rio. "K-kakak..." akhirnya panggilan itu keluar dari dalam mulutnya.     

Mereka berdua saling berpelukan dengan sangat erat seperti mengisi apa yang telah lama hilang. Bahkan kini Felia terasa tidak ingin melepaskan dirinya dari Rio, sejak bertahun-tahun ia tidak ingat apa-apa akhirnya bertemu dengan keluarga yang selalu di dambakan dirinya.     

"Terimakasih Tuhan sudah mempertemukan kami,"     

Leo yang melihat itu pun sedikit terharu, tapi tetap saja tidak rela melihat Felia yang di peluk sangat erat seperti itu dengan laki-laki lain.     

"Jangan pergi lagi, lelah mencari keberadaan mu, Felia."     

"Kenapa kamu bisa tahu aku, Rio?"     

"Bola mata kita, mirip."     

Ah ternyata pertemuan di taman beberapa hari yang lalu telah membawa keajaiban di dalam hidup Felia. Apa yang ia nanti-nantikan ternyata terwujud tanpa di pinta dan aba-aba.     

Kalau begini caranya, Leo tidak perlu lagi merasa kalau Rio akan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Karena ia tahu kalau mereka ternyata adalah saudara kandung yang terpisah.     

'Akhirnya Felia tetap menjadi milik saya,"     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.