46| The Wallsons
46| The Wallsons
Tunggu, siapa yang tidak kenal dengan gelar Wallson ternama itu? memiliki perusahaan sendiri yang di bangun dari nol sampai sebesar dan seterkenal ini. Apalagi kalau bukan Wallson Company?
Wajahnya yang tidak terlalu tampan dengan watak laki-laki humoris, sebenarnya tidak cocok menyandang gelar CEO. Terlebih lagi perusahaan itu adalah milik keluarganya sendiri, tapi ia sangat berbeda jika sudah berada di kursi kekuasaan yang berada di ruang kerjanya dan juga ruang meeting.
Banyak orang yang berbondong-bondong untuk merebut hati seorang Rio, tanpa terkecuali. Wanita-wanita pada sibuk mencari perhatian dengan dirinya, dan para laki-laki sibuk mengerahkan tenaga supaya bisa bekerjasama dengan sang pengelola Wallson Company.
Derap langkah kaki besar milik Rio mulai masuk ke dalam mansion besar yang berada jauh dari pusat kota, sengaja mengambil daerah di sana karena lebih sejuk dan jauh dari kebisingan kota.
"Kamu sudah pulang, Rio? bagaimana hari mu? pasti sangat menyenangkan, iya kan?"
Suara lemah lembut khas wanita mulai masuk ke dalam indra pendengaran Rio, ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke sang sumber suara.
"Eh Mommy, kabar baik karena ini adalah hari yang paling menyenangkan." jawabnya dengan senyuman yang terlihat sangat tulus dan hangat.
"Iya, saking menyenangkannya kamu sampai tidak pulang dua hari, iya?" pertanyaan yang terdengar mengintimidasi namun di ucapkan dengan nada lembut itu kembali terdengar.
Rio meringis, ia menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak terasa gatal. Kemarin sibuk dengan urusan kantor sampai pulang terlalu larut malam, dan ya seperti biasa ia mampir ke club dan bertemu dengan wanita yang super duper sexy dengan pakaian minim. "Sibuk bikin cucu," gumamnya tanpa rasa takut sedikitpun.
"Oh bagus, dan sudah berapa banyak wanita yang kamu hamili, Rio?" tanya wanita paruh baya, masih terlihat awet muda dan hanya ada sedikit kerutan tanda dirinya tidak semuda sang putra. Berkacak pinggang, tatapannya begitu menelusur.
Rio terkekeh kecil mendengar pertanyaan dari wanita nomor satu yang berada di hatinya. "Bercanda Mommy, aku selalu pakai pengaman." ucapnya dengan nada santai. Baginya berhubungan badan dengan seorang wanita adalah hal yang paling biasa, bahkan mungkin saja ini lebih ke arah sebuah hak? entahlah ini hanya jalan pikirannya saja.
"Kalau ada yang bocor juga Mommy gak masalah,"
"Ada Mommy, baru aja tadi malam aku lupa pakai pengaman."
Bohong. Rio berbohong mengenai dirinya yang 'lupa' dengan alat terpenting dalam berhubungan badan supaya benih tidak tertanam. Padahal, bukan ia yang lupa melainkan sang wanita yang memaksa dirinya untuk tidak memakai benda itu.
Wanita yang bernotabene Mommy-nya Rio itu pun menarik tangan sang putra untuk segera duduk di sofa panjang yang berada di ruang tengah kediaman mereka. "Katakan pada Mommy siapa wanita itu? dan... bagaimana rupanya?" tanyanya dengan semangat. Memangnya apalagi yang diinginkan orang tua wanita selain cucu? itu adalah hadiah terbaik di sepanjang hidupnya.
"Ingin aku beritahu lebih dulu, atau Mommy sendiri yang nanti berkenalan dengan dirinya?" tanyanya sambil menaik turunkan alis, tidak lupa juga mengulum sebuah senyuman geli karena melihat ekspresi sang Mommy yang ingin tahu tapi terlihat mengurungkan niatnya.
Rio nyaris tidak pernah mengenalkan wanita yang berkencan dengan dirinya, boro-boro mengenalkan di bawa kerumah saja tidak pernah apalagi mengingat hubungannya yang gemar kandas karena ia adalah pribadi cepat bosan. Bukan, bukan karena ia jahat dan suka sekali membuang barang yang sudah di pakai. Tapi menurutnya, belum cocok saja jika nanti berada di hidupnya.
Tapi saat bertemu Azrell, jangan di tanyakan seberapa dirinya tidak mau kehilangan wanita itu. Eh lebih baik jangan membahas dia, Rio masih kesal dengan perilaku yang tersembunyi di balik wajahnya yang manis dan cantik nyaris tanpa celah keburukan.
"Mommy sih maunya ingin tahu sekarang, tapi kayaknya lebih baik jadi rahasia aja deh."
Arlina Timothy Wallson. Wanita paruh baya yang membesarkan Rio seorang diri tanpa adanya suami yang menemani mereka. Wallson Company diberikan oleh Daddy-nya untuk sang cucu tercinta, untung saja gelar Wallson masih bisa menerima mereka karena laki-laki yang berstatus mantan suami brengsek itu sudah pergi tanpa tanggungjawab. Merintis karir di dunia fashion, jelas saja nama Wallson sangat besar di dunia para laki-laki ataupun wanita.
Sama-sama bekerja keras untuk mencapai keluarga yang harmonis, tapi mereka tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang satu sama lain.
"Kalau rahasia, berarti selamanya rahasia ya Mommy tidak ada pengecualian."
"Ya itu namanya Mommy gak akan tahu dong siapa calon menantu Mommy,"
Mereka berdua tertawa bersama. Biasanya, ciri khas luar negeri memang biasa memanggil nama saja tanpa embel-embel Mommy atau Daddy bahkan itu berlaku untuk panggilan lainnya. Cukup dengan nama, itu sudah terdengar sopan. Tapi, beberapa keluarga masih menerapkan panggilan itu di awal nama seperti layaknya marga Wallson.
"Di mana kamu bertemu dengan wanita itu?" Bagaimanapun, Lina juga butuh penjelasan terperinci mengenai status latar belakang wanita yang kini sedang di kabarkan sudah tertembak benih sang putra. Ia adalah seorang Ibu, tentu saja menginginkan segalanya dari hal terbaik untuk sang buah hati.
Rio mengerutkan kening, seolah-olah menggantungkan ucapannya agar tidak keluar dari mulut terlebih dahulu. "Ingin tau aja atau ingin tau banget?" tanyanya sambil menampilkan wajah yang konyol, senyumannya pun mengembang.
"Kok ada ya Mommy melahirkan putra seperti kamu, menyebalkan sekali tingkahnya." ucapnya Lina sambil meninju pelan lengan putranya. Ia cukup bahagia seperti ini bersama dengan Rio, baginya sudah lebih dari sekedar cukup. Tidak berniat menikah lagi, atau apapun itu.
Sudah nyaman sendiri membuat para wanita berpikir kalau kesendirian itulah yang selalu membantu, bahkan selalu menemani di kala merasakan hal yang tidak bisa di genggam.
Mendengar ucapan sang Mommy, Rio terbungkam. Ia tidak sakit hati dengan apa yang di katakan oleh Lina, ia hanya teringat sakan suatu hal...
Ia memiliki seorang adik, di bawa oleh mantan Daddy-nya pada usianya yang baru saja menginjak sekolah dasar. Adik yang memiliki kepribadian berkebalikan dengan dirinya. Lugu, tidak banyak bicara pada seseorang namun begitu bawel di satu sisi bersebrangan, dan juga.. terlampau baik dengan kesederhanaan yang ada.
Throwback
"Dik, kamu serius mau buah apel jika di bandingkan dengan anggur yang terlihat menggiurkan ini?"
Rio tau kalau apel hanya untuk kalangan bawah, tapi adik manisnya dengan wajah polos malah merebut apel dari tangannya.
"Enggak, orang enak gini jugaan! lagian masa sama buah aja kakak rasis, sih." seruan kecil pertanda amarah dengan raut wajah sebal itu tampak di wajah gadis imut berusia di bawah Rio kecil, tengah menyembunyikan apel yang berada di tangannya ke balik punggung.
"Bukannya rasis, euhm terserah kamu."
Jemari kecil Rio bergerak untuk mengelus kepala sang adik dengan sangat perlahan, ia tidak ingin merusak tatanan rambut yang sudah di buat Mommy pada rambut lurus ini.
Mereka duduk di ayunan, masing-masing mendaratkan bokong di papan pipih yang telah di tahan tali pada kedua sisinya.
"Kak?"
Panggilan dengan suara lembut itu membuat Rio menolehkan kepala. "Apa?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya. Membuang biji anggur ke atas rerumputan, lalu kembali memakan daging buang yang manis.
"Ah tidak, tidak jadi."
"Katakan saja, jangan manggil doang dan membuat ku penasaran."
"Kalau suatu saat nanti aku berpisah sama kakak, jangan lupa cari aku ya... aku takut."
Hanya deretan ucapan yang bagi Rio kecil, hal itu adalah sebuah kemustahilan. Walaupun keluarga mereka kerap kali tidak harmonis karena sang Daddy di kabarkan dekat dengan wanita lain, tapi ia akan menjaga sang adik dengan sepenuh hati.
Rio kecil sangat percaya kalau 'perpisahan' hanya untuk seorang pecundang yang pergi dari masalah.
Throwback off
Kembali pada kenyataan saat Lina memukul pelan kedua pipi sambil memanggil namanya tiada henti. "Ih kamu kenapa? jangan tiba-tiba diam seperti itu, Rio." ucap Lina dengan hembusan napas ringan kala kesadaran sang putra sudah tertarik lagi pada dunia nyata.
"I-itu.." jawabnya terbata-bata, bahkan tidak sempat mengeluarkan kalimat dari dalam mulutnya.
"Iya, apa? katakan saja sayang, butuh mobil baru? oh atau ponsel mu sudah rusak dan banyak pesan bermunculan dari para wanita? dan--"
"Rio kangen adik kecil, Mommy." Nada suaranya terdengar begitu tercekat, ia tidak sanggup menarik Lina ke dalam masa lalu.
Lina tersentak, lalu senyuman yang berada di wajahnya hilang bersamaan dengan taut wajahnya yang menurun. "Mommy juga..." lirihnya sambil menundukkan kepala. Kalau putranya saja merasa rindu dengan putrinya yang entah berada di mana, bagaimana dengan dirinya sendiri? pasti lebih dari sekedar perasaan rindu.
Rio jadi merasa bersalah, namun ia sudah memiliki rencana. "Aku sudah bertemu dengan dirinya kemarin atau dua hari yang lalu,"
"Benarkah? bagaimana keadaannya? kenapa kamu bisa bertemu dengan adik mu?"
"Aku awalnya ragu kalau itu dia, tapi... ternyata benar. Kedua manik matanya, sama persis dengan milik ku. Kata Mommy, itu satu-satunya persamaan yang kita miliki."
Rio mendengar Lina yang menghembuskan napasnya dengan perlahan, pasti Mommy-nya itu tidak percaya dengan apa yang ia katakan tadi.
"Mana mungkin, bisa saja kamu salah orang."
"Tapi dengan pemilik nama yang sama, Mommy. Tatapan lembutnya, dan kebawelan saat lawan bicara terlalu berisik... semuanya sama."
Lina menatap lekat kedua manik mata Rio seolah-olah mencari kebenaran di sana, dan ia mendapatkannya. "Apa kamu masih ingat nama adik kamu?" tanyanya dengan kedua mata yang mengerjap, ia hanya memastikan jika putranya tidak salah orang. Karena itu berdampak buruk, bisa saja nanti banyak wanita yang mengaku-ngaku sebagai putri dari keluarga Wallson.
Menganggukkan kepalanya dengan gerakan mantap, mana mungkin Rio melupakan seseorang yang sudah menjadi segala-galanya nomor dua setelah sang Mommy? Ia adalah pribadi dengan daya ingat yang cukup tinggi, walaupun sudah berpisah cukup lama dengan sang adik, tidak membuat dirinya lupa dengan biodatanya.
"Felia Azruela Wallson, iya kan?"
...
Next chapter