55| The Best News
55| The Best News
Meraih gagang telpon yang tersambung dengan telepon yang berada di dapur juga, berniat menghubungi Bara untuk meminta sesuatu yang dapat menenangkan hati.
Setelah menekan tombol telepon, ia menaruhnya tepat di daun telinga. Mendengar tiap dering yang sangat khas sampai akhirnya tersambung dengan seseorang yang berada di seberang sana.
"Halo, Bara." ucapnya langsung to the point karena tidak ingin banyak basa-basi.
Di seberang sana terdengar deheman kecil, sepertinya Bara baru selesai bersih-bersih dapur yang memang selalu dilakukan jika selesai bekerja. Kebersihan tetap nomor satu, menjaga tempat kerja supaya tetap nyaman bekerja. "Halo Tuan Leo, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan nada sangat sopan.
Arah mata Leo menatap ke bingkai foro yang berada di atas mejanya, yang tadinya terdapat foto cantik Azrell dengan pose yang sangat menggiurkan kini sudah berganti menjadi foto Felia yang berada di Paris bersamanya kemarin. Mendapatkan sebuah perbedaan, kalau wanita seperti Felia.. adalah hal yang patut untuk di jaga karena belum rusak.
"Tolong bawakan saya sup hangat, apa saja. Dan minuman yang juga bisa menghangatkan tubuh, Bara. Saya tunggu di ruang kerja," ucapnya sambil tersenyum. Bukan senyuman yang diperuntukkan Bara, namun senyum karena melihat wajah lugu Felia yang hanya menampilkan pose sedikit tegang dengan senyuman tipis mengarah ke kamera.
"Baik, Tuan. Saya akan sediakan sekitar lima belas menit kemudian,"
"Masuk saja ke dalam kamar saja, tidak di kunci sama sekali dan bisa langsung ke ruangan saya."
"Baik, Tuan saya buatkan."
"Terimakasih, saya tunggu."
Pip
Panggilan diputuskan oleh Leo, langsung menaruh gagang telepon itu pada tempatnya semula. Ia merenggangkan otot-otot tangan, lalu mengumpulkan niat untuk berkutat kembali dengan dokumen-dokumen yang berada di layar laptopnya.
"Kembali bekerja dan tenang..."
Tidak sadar kalau kini jam sudah menunjukkan waktu masuknya kantor di Luis Company, ia seakan-akan cuti namun tetap bekerja di kantor. Sebenarnya sih ia tidak kelelahan, bahkan bisa saja setelah pulang dari Paris langsung menginjakkan kaki di kantor. Tapi... ia belum puas dan sedikit tidak rela meninggalkan Felia.
Awalnya memang berniat untuk bekerja, namun justru tangannya menekan sebuah file kenangan yang ternyata masih terdapat banyak sekali foto-foto Azrell di dalamnya.
"Kenapa saya masih menyimpan ini?"
Tangannya bergerak untuk melihat satu persatu foto tersebut, wajah cantik yang terukir sangat sempurna pantas saja banyak laki-laki yang menginginkan dia. Sayangnya, wanita cantik tidak sebanding dengan sifatnya.
Ia menaikkan sebelah alisnya ketika melihat sebuah vidio yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, dengan penasaran menekan tombol play untuk menontonnya.
"Hai Leo kesayangan aku, aku Azrell cuma mau bilang terimakasih sudah jadi laki-laki paling hebat di hidup aku. Terimakasih juga buat semua harta yang kamu kasih tanpa pamrih sedikitpun. Aku harap, kalau nanti kita pisah tetap memiliki pemikiran yang dewasa dan menjalin pertemanan. Aku di sini mau bilang, aku sayang kamu."
Vidio berdurasi singkat yang hanya menampilkan wajah Azrell dengan view tepat di ruang kantornya, wanita itu mengambil vidio mungkin saat dirinya keluar dari ruangan tersebut duduk di kursi kebanggaannya.
Tidak terkejut lagi dengan apa yang di katakan Azrell dalam vidio tersebut. Ia beralih ke vidio lainnya dimana... tunggu sebentar kenapa ada dirinya juga di sana? Lagi-lagi ia menekan tombol play untuk mengetahui isinya.
"Leo, kamu sayang aku gak?"
"Sayang, buktinya saya melakukan apapun untuk kamu, Azrell."
"Iya juga sih, tapi kamu pernah ada pikiran gak buat ninggalin aku?"
Leo melihat jika dirinya tengah tiduran di paha Azrell, wanita itu memvideokan dari atas.
"Ada, saya orangnya bosenan jadi saya lebih baik jujur daripada nanti kamu sakit hati."
"Kalau semisalnya aku yang pergi duluan, gimana?"
"Saya gak akan pernah kejar kamu lagi, atau memberikan kesempatan kedua."
Dulu, Leo merasa kalau Azrell adalah pasangan yang paling tepat karena biasanya para wanita hanya menjadi one night stand-nya atau terkadang pacaran dalam jangka waktu singkat. Tapi ia salah, justru Azrell lah yang membuang kepercayaannya begitu saja.
Mencari wanita yang mau dengan Leo itu mudah, tapi jarang sekali wanita yang bertahan dengan kesibukannya.
Sudah tidak ingin memutar semua itu yang baginya adalah omong kosong belaka, ia mengeluarkan tampilan layar laptop yang menunjukkan vidio tadi. Kini, terlihat deretan foto dengan dirinya yang sedikit enggan kalau satu frame dengannya. Berbagai macam latar tempat menjadi daya pikat tersendiri, entah itu di Menara Pisa, Menara Eiffel, Big Ben, bahkan tempat-tempat terkenal lainnya yang sudah mereka jumpai.
Sebenarnya, waktu bersama Azrell dulu membentuk gumpalan kenangan yang menyenangkan. Bahkan jika bisa di berikan rekor, wanita itu yang paling berhasil membuat dirinya memiliki banyak memori tentang percintaan.
"Kenapa aku jadi lihat-lihat semua ini? lagipula tidak penting banget di simpan, masa lalu cuma bisa di buang tanpa perlu di pungut lagi."
Setelah itu, ia menghapus seluruh foto bersama dengan Azrell, tidak menyisakan sedikitpun.
Memang begini ya, memiliki mantan satu tempat kerjaan yang hobinya masih ikut campur ke dalam urusan percintaannya, menyebalkan.
Drtt...
Drtt...
Mengalihkan pandangannya dari layar laptop, Leo langsung saja mengambil benda pipih yang layarnya menyala tak jauh dari pandangannya. Tercetak jelas nama Azrell di sana, membuat ia menghembuskan napas jengah. Namun, jarinya tetap saja menarik tombol untuk menjawab panggilan tersebut.
"Hai, Leo. Bagaimana kabar mu? cepat masuk kantor, aku tidak ada teman berbicara."
"Dan kamu menelepon saya supaya ada teman bicara, begitu?"
"Yups, aku cukup bosan dengan suasana koridor di lantai ini yang sepi."
Leo cukup paham dengan hal itu, resiko karena yang bekerja satu lantai dengannya hanya Azrell. Dan tentu saja kalau ia mengambil cuti, wanita tersebut hanya bekerja sendirian karena karyawan lain berada di lantai bawahnya. "Saya juga harus bekerja, bukan berarti cuti bisa bersantai dan menanggapi ucapan telepon dari mu yang sangat tidak penting." ucapnya dengan nada datar.
"Ah iya aku hanya ingin bilang, bisa kita mulai semuanya dari awal?"
"Maksud mu?"
"Aku mau berhenti ngejar yang tidak pasti, Leo."
Mengerjapkan kedua bola matanya, Leo pikir pasti Azrell kesambet sesuatu soalnya tidak mungkin wanita itu tiba-tiba mengalah pada takdir. Ia lebih memilih untuk bergeming supaya Azrell dapat mengatakan lebih perinci lagi.
"Aku punya calon suami, Leo."
"Bukannya kemarin kamu menuduh saya tentang kehamilan mu?"
Sungguh, terasa ingin dipermainkan tapi justru Azrell sendiri lah yang mengakhiri semuanya begitu saja tanpa kejelasan. Bukannya ia tidak senang, justru sangat senang. Tapi... ah entahlah!
"Iya, maaf. Tadinya aku tidak menerima laki-laki itu karena masih ingin mengejar mu dan akhirnya membuat tuduhan palsu, maaf." nada bicara Azrell di seberang sana terdengar sangat memprihatinkan karena volumenya yang pelan seperti mirip dengan lirihan membuat Leo merasakan kalau dirinya salah.
"Iya, maafkan saya juga yang tidak bisa memberimu kesempatan kedua."
"Itu bukan salah mu, yang terpenting aku sudah menemukan laki-laki yang benar-benar sayang padaku dan bertanggung jawab."
"Apa yang bisa buat saya percaya kalau kamu sudah ingin menjauh dari saya?" Jujur saja dari dalam hati yang paling dalam kalau Leo sedikit risih dengan tindakan Azrell yang sama sekali belum merelakan kepergiannya.
Dari seberang sana, terdengar suara kekehan geli yang seperti menertawakan apa yang diucapkan oleh Leo. "Hei, memangnya kapan aku tidak serius dan mengingkari perkataan ku? walaupun aku wanita yang haus uang, tapi perkataan ku itu selalu bersungguh-sungguh." ucapnya. Terdengar suara ketikan, sepertinya ia menelepon Leo sambil mengerjakan pekerjaan yang memang menumpuk.
Untung saja Leo mengosongkan jadwal meeting jika laki-laki itu mengambil cuti, selain supaya meringankan beban pekerjaan Azrell ia juga tidak ingin mengadakan meeting tanpa adanya presentasi yang ia lihat.
"Iya, saya percaya. Kalau kamu melanggarnya siap-siap akan di tendang dari Luis Company tanpa pengecualian,"
Kejam? iya, Leo sedikit kejam jika ada seseorang yang tidak memegang kebenaran dari apa yang di janjikan. Ia bisa saja menjadi sosok tak mempunyai sisi kemanusiaan karena sudah menaruh pemikiran tertutup tentang orang tersebut.
"Tidak masalah, lagipula keluarga Wallie akan menerima ku dengan senang hati."
Menaikkan sebelah alisnya, tentu saja Leo tidak asing dengan marga keluarga tersebut. Ia bekerja sama dengan berbagai macam perusahaan terkenal, tapi.. "Lethuce Fabrio Wallie?" gumamnya.
"Iya, benar. Dia ternyata kolega yang waktu itu berkunjung ke Luis Company dan kebetulan aku sedang sakit dan memutuskan untuk tidak menemui dirinya, dan ya ternyata rencana Tuhan itu indah."
"Iya indah, orang uangnya juga banyak seperti saya."
Lagi-lagi terdengar kekehan di seberang sana, "Itu termasuk. Tapi untuk kali ini aku ingin bersungguh-sungguh mencintai, daripada berujung pahit sama seperti dengan mu."
"Salah sendiri kenapa kamu membuang saya." jawabnya dengan nada yang sedikit menyadarkan Azrell dari kenyataan bahwa apa yang dikatakannya itu benar adanya.
Dia yang membuang, setelah yang dibuang itu menemukan rumah kembali malah ingin di pungut. Dan ya, tindakan Azrell saat ini sangat bagus karena memilih untuk berdamai dengan keadaan.
Leo menatap layar laptopnya yang mati, lalu memasukkan sandi ke dalamnya supaya kembali menyala. Lalu tertampil wallpaper potonya dengan Felia, sudah terdeteksi kalau dirinya benar-benar bucin akut.
"Sudah ah jangan membahas hal yang tidak penting, terimakasih untuk semua jasanya ya Tuan Leo, Azrell mau lanjut kerja dulu."
"Baik kalau begitu terimakasih sudah meng-handle perusahaan untuk saya."
"Oke Tuan terimakasih kembali, sampai jumpai."
Padahal Azrell yang ingin menyudahi pembicaraan tapi Leo lah yang mematikan sambungan telepon mereka. Langsung saja menaruh ponselnya ke tempat semula, dan ya... lagi-lagi kembali merenggangkan otot-otot jemarinya.
"Gimana? jadi... kita udah bisa bahagia, iya kan Tuan?"
...
Next chapter