Last Boss

Chapter 110 - Penyesalan gadis ajin



Chapter 110 - Penyesalan gadis ajin

2Api menyulut dan membakar sebagian hutan Sankta, ribuan prajurit Kekaisaran dan Aliansi baru bertempur habis-habisan; pepohonan hancur tak terelakan demi tujuan mereka menguasai hutan itu, sebab segalanya akan berubah jika salah satu pihak menguasai hutan itu dengan cepat.     

Lalu di tempat lain di hutan sankta jauh dari medan perang, pertemuan yang seharusnya tidak pernah terjadi dilakukan oleh mereka. Iblis berambut perak dengan jubah Kaisar Agung bersama dengan dua orang kepercayaannya berdiri dihadapan seorang manusia yang dapat merubah takdir dunia.     

Dua Iblis di sampingnya menarik senjata mereka, namun tidak dengan Iblis itu. Iblis berambut perak itu hanya berdiri menatapnya dikala situasi mereka semakin menegang dan semakin memburuk.     

"Kenapa ..."     

Iblis itu menyeringai tipis penuh kepalsuan kala mendengar dan melihat manusia itu dihantam rasa bingung yang luar biasa.     

"Ed ..."     

"Beginilah kenyataannya ... Takdir tidak bisa berubah, seperti inilah seharusnya kita bertemu ... Sekarang, apa yang akan kau lakukan?"     

Bagai mantra ilusi, semua kenyataan yang manusia itu lihat terasa tidak nyata. Tetapi, kala ia mencengkram pedangnya, ia masih ingat emosi dan amarah atas apa yang menimpanya di masa lalu. Ditengah napasnya yang memburu, manusia itu mengangkat pedangnya. Dalam separuh kedipan mata, manusia itu berada tepat di depannya seraya mengayunkan pedangnya menebas leher Iblis itu.     

"Takdir tidak bisa berubah ... Ya."     

**     

"Tidaaaak!"     

Pekikan yang amat nyaring menggema di kamar itu, tangannya terulur kedepan dan tubuhnya terduduk di atas ranjang secara tiba-tiba. Napasnya terengah-engah seraya matanya menyisir ke seluruh ruangan dengan cat merah itu.     

"Aku ... Dikamar?" tanya gadis ajin kecil itu kebingungan sejenak, tangannya juga perlahan turun dengan kepala yang ikut tertunduk "Begitu ... Aku mimpi buruk," ucap gadis ajin itu, kemudian ia mengatur kembali napasnya.     

Jantungnya berdegup kencang, raut wajahnya kembali ketakutan kala mengingat mimpi buruk itu. Mimpi yang terasa begitu nyata.     

"...?"     

Pintu kamarnya diketuk seseorang membuatnya langsung mengangkat wajah manisnya itu.     

"Roxine? Apa kamu baik-baik saja?" tanya seorang perempuan yang suaranya tak asing lagi di telinganya.     

Dirinya menjawab seraya turun dari ranjangnya "Ah, iya," kemudian berjalan dan membukakan pintu untuk perempuan itu.     

Sesosok perempuan berambut hitam pendek sebahu dibalik pintu itu, menatap dirinya dengan bingung kemudian bertanya "Roxine, kamu baik-baik saja? Aku tadi mendengar dirimu berteriak?"     

Suara pekiknya amat keras hingga menembus pintu dan menggema di lorong depan kamarnya. Roxine terkejut dengan wajah malu-malu, kemudian tertunduk seraya berbicara "Ma—maaf, Scintia. Aku hanya bermimpi buruk."     

"Ah begitu," balas Scintia, tiba-tiba dirinya menarik gadis ajin itu dan memeluknya dengan hangat.     

"Ah ..."     

Terkejut dirinya tiba-tiba di dekap, namun rasa nyaman yang ia rasakan membuatnya tak mungkin untuk memberontak. Scintia mengelus kepala gadis ajin itu dengan begitu lembut bagaikan seorang kakak yang mencoba menenangkan adiknya.     

"Bagaimana? Sudah lebih tenang?" tanya Scintia sembari menyungingkan senyuman kepada gadis ajin itu.     

Rasa nyaman yang begitu merayunya membuat Roxine tak sadar sudah terlalu lama ia dipeluk, hingga pertanyaan itu menyadarkannya.     

Ia melepaskan diri dengan sedikit menjauh seraya berkata "A—aku baik-baik saja. Terima kasih."     

Tawa pelan keluar dari mulut Scintia, kemudian dirinya membungkuk seraya mengusap pelan kepala gadis ajin itu dengan lembut.     

Meskipun hari itu–ketika dirinya bersama Void di perpustakaan, ia sudah menganggap jika dirinya bagian dari Kekaisaran, tetapi rasa canggung kala berinteraksi dengan Iblis lain di Istana terkadang masih ia rasakan hingga membuatnya malu dan segan dengan semua orang.     

"Kamu tidak perlu sungkan untuk meminta apapun kepada kami, Paduka sudah meminta kami untuk memperlakukan mu seperti kerabatnya jadi jangan sungkan."     

Kata-kata itu sering ia dengar meski beragam cara mereka menyampaikannya. Bahkan saat ini pun saat Scintia mengelus kepalanya, sekali lagi Scintia berkata kepadanya untuk tidak perlu sungkan kepadanya. Hanya anggukan kecil yang Roxine berikan untuk menjawab pertanyaan.     

"Kalau begitu bagaimana sekarang kamu bersihkan tubuhmu lebih dulu, setelah itu baru sarapan, ya," ucap Scintia dengan sangat lembut.     

Sekali lagi anggukan kepala pelan menjadi respon dari Roxine untuk ucapan pelayan pribadi sang Kaisar itu. Ia kembali di bawa ke dalam kamarnya dimana kamar mandinya juga berada di dalam. Scintia menyiapkan air hangat untuk gadis ajin itu sementara dirinya hanya melihat dari belakang dengan tatapan penasaran.     

Mengutak-atik keran biru dan merah, lalu memasukan sedikit tangannya ke dalam bak hingga dirinya berkata "Ya, sepertinya ini sudah cukup," menjadi tanda jika bak mandi gadis ajin itu sudah siap.     

Mata Roxine berkilauan untuk sesaat kala melihat Scintia dengan lihai menyiapkan bak mandi untuknya. Rasa ingin melakukannya juga, tetapi rasa ragu dan sungkan membuatnya sulit untuk melakukan itu.     

Sampai Scintia menyadari tatapannya yang penasaran "Roxine, ada apa?" tanya Scintia.     

Terkejut dirinya hingga menggelengkan kepala dengan panik seraya berkata "A—aku tidak apa-apa."     

Tetapi mata Scintia tidak dapat tertipu begitu saja, dirinya menyeringai dan berlutut–menyamakan tingginya dengan Roxine "Sepertinya daritadi aku merasa kamu terus menatapku, ada apa?" ucapnya sembari tersenyum.     

"Ah ... Itu ..."     

"Hmm?"     

Scintia semakin mendekat, seakan memaksanya untuk berbicara terus terang kepadanya. Hingga hal itu pun berhasil dilakukannya.     

Dengan raut wajah yang sedikit memerah, gadis itu berterus terang.     

"A—apa boleh aku yang menyiapkan bak mandiku sendiri?" pinta gadis itu dengan suara yang amat manis bagai gulali.     

Scintia tak dapat berkata-kata untuk sesaat merasakan syok singkat mendengar ucapan Roxine, kemudian dirinya tertawa pelan seraya menjawab "Baiklah, kalau begitu akan aku ajarkan, ya."     

Bagai seorang ibu yang mengajari anaknya, Scintia memberitahu secara perlahan dari cara kerja dua keran yang menghasilkan air dengan suhu yang berbeda. Keran biru pertama menghasilkan air bersuhu biasa sedangkan keran dengan warna merah menghasilkan air panas.     

Scintia kemudian memintanya untuk memutar air dengan bersuhu panas lebih dahulu dengan air yang tidak sampai setengah bak, bahkan saking sedikitnya membuat Roxine menatap Scintia dengan keheranan.     

"Kenapa airnya sedikit?" tanya Roxine dengan polos.     

Scintia pula langsung menjawabnya "Karena airnya sangat panas, walau kamu menyamakannya dengan air yang tidak panas, air itu tidak akan menjadi hangat."     

Roxine kemudian menyaut dengan cepat "Ah! Kalau begitu air biasa harus lebih banyak daripada air panas?"     

Scintia tertawa pelan sembari menjawab "Benar sekali, Roxine cepat belajar, ya. Kalau begitu ayo buka keran birunya."     

"Um!"     

Setelah perintah itu, Roxine membuka keran biru. Mengalir dengan deras hingga perlahan-lahan hampir memenuhi bak, dengan sigap Roxine menutup keran biru dan ia menyentuh dengan begitu perlahan dan waspada air itu.     

"Ah! Jadi hangat!" ucap Roxine dengan senyuman yang melebar di wajahnya.     

"Hmm! Kerja bagus, Roxine. Kalau begitu sekarang bersihkan tubuhmu, aku akan menunggu diluar," sahut Scintia.     

Dirinya kemudian berjalan menjauh, berniat keluar dari kamar mandi. Ketika tangannya baru menyentuh gagang pintu, suara sejernih kristal itu memanggil namanya.     

"Scintia."     

Hingga membuatnya menoleh kebelakang dengan tatapan bingung, gadis itu juga tampak gelisah untuk alasan yang tidak ia ketahui. Tetapi kemudian ia menyadarinya.     

"Te—terima kasih karena sudah mengajari ku!" tambah gadis ajin itu dengan suara terbata-bata.     

Scintia tak berkata apa-apa mendengar ucapannya, dirinya hanya tertawa melihat kegelisahan karena rasa malu gadis itu, ia mengangguk pelan lalu berjalan keluar.     

Sosok yang menjadi pelayan pribadi sang Kaisar, kini juga menjadi penjaganya atas perintah sang Kaisar langsung. Setiap kali Roxine menatapnya, seribu pertanyaan selalu muncul dikepalanya. Namun tidak ada satupun pertanyaan yang bisa keluar dari mulutnya, hanya bergetar tiap kali ia mencoba untuk bertanya tentang Scintia.     

Merendam seluruh tubuh hingga menyisakan kepalanya, Roxine bermain air sembari memberishkan ekornya yang menjadi tipis kala terendam oleh air. Setelah selesai, dirinya hanya membasuh muka kemudian menatap langit-langit kamar mandi seraya memikirka banyak hal.     

'Meski belum ada satu bulan, tetapi Roxine merasa begitu lama sekali berada disini. Paduka baik hati menyelamatkan Roxine meski Roxine hampir melukai bawahan paduka, bahkan Scintia juga menjadi sangat baik meski Roxine pernah menyerangnya. Roxine selalu bertanya, kenapa mereka itu selalu baik kepada Roxine? Roxine seharusnya tidak bisa tinggal disini ... Tapi, paduka tidak ingin Roxine berkata seperti itu. Apa tidak masalah jika Roxine menerima ini semua? Roxine sama sekali tidam mengerti.'     

Jalan pikirannya bagai medan perang, beribu rentetan pertanyaan dalam kepalanya terus menyerang hingga menciptakan kebingungan yang tak terbatas. Pertanyaan yang sama terus keluar seakan meyakinkan dirinya jika ia sama sekali tidak pantas berada di tempat ini.     

Beberapa menit berlalu, Roxine keluar dari baknya. Diluar kesadarannya, ekornya mengibas dengan cepat membuang semua air yang ada di ekornya hingga listrik statis karena gesekan buku ekor membuat ekornya kembali mengembang seperti semula. Mengerikan tubuhnya dengan handuk, kemudian melilitnya setelah itu ia melangkah keluar.     

Dibalik pintu, Scintia telah menyiapkan pakaian yang sampai sekarang ia belum terbiasa memakainya. Sebuah gaun putih tanpa lengan yang begitu cantik dan sangat indah, hingga Roxine selalu merasa tidak pantas jika memakai gaun bak putri Kekaisaran. Namun itu adalah gaun yang telah disiapkan, merasa tak enak pula Roxine bila harus menolaknya.     

Ia mendekati Scintia dan setelahnya Scintia mengurus 'tubuh' Roxine. Dimulai dari pakaian, sepatu bahkan hingga rambut yang bila ia bercermin membuat Roxine tak mengenali dirinya sendiri. Bagaikan kutukan yang tak bisa dihilangkan, pertanyaan itu kembali muncul dikepalanya. Pertanyaan yang perlahan-lahan menbuatnya takut jika ia akan dibenci jika bertanya kepada orang lain di Istana.     

Namun tanpa melajukan itu, Scintia melihatnya dengan jelas melalui pantulan cermin. Ekspresi begitu gelisah disertai rasa takut tak beralasan, seraya menyapu rambut perak gadis itu dengan sisir, Scintia bertanya kepadanya "Roxine, kalau ada yang ingin kamu katakan, katakan saja."     

Seakan kesadarannya baru kembali, Roxine terkejut sesaat seraya membalas "Ti—tidak, aku baik-baik saja."     

Scintia tertawa pelan "Kamu tidak bisa membohongiku, jadi katakan saja selagi hanya ada kita berdua di ruangan ini ... Atau apa itu hal yang tidak boleh aku tahu?"     

Mendorong sedikit demi sedikit untuk membuatnya bicara, meski gadis itu masih menggelengkan kepalanya dan menolak berbicara. Sapuan sisir yang Scintia lakukan pun berhenti tiba-tiba hingga membuat Roxine menoleh, namun sebelum itu terjadi Scintia sudah memeluknya dari belakang.     

Sorot mata dan senyuman Scintia memantul melalui cermin yang mereka lihat, Roxine pula tak dapat memalingkan wajahnya kemanapun sebab lengan Scintia menghalanginya.     

Sekali lagi pelayan sang Kaisar itu bertanya "Kenapa?"     

Sorot matanya beralih ke berbagai arah debgan kebingungan, ia ingin berbicara tetapi amat sulit hingga mulutnya gemetar. Semakin ia memaksanya justru semakin kesulitan ia berbicara.     

Tiba-tiba Scintia kembali tertawa pelan, lalu bertanya "Apa kamu masih meragukan keberadaan mu disini?"     

Napas gadis itu tercekat hingga langsung menoleh ke atas, melihat wajah Scintia langsung dengan ekspresi bingungnya. Pertanyaan itu tepat sasaran.     

"Hahahaha sepertinya aku benar," ucap Scintia dengan senyuman lebar di wajahnya, meski Roxine memasang wajah sebaliknya. Sebelah tangannya berpindah ke kepala gadis ajin itu, perlahan ia mengelusnya lagi "Kamu masih memikirkan hal seperti itu, ya? Padahal paduka sudah berkata kalau kamu tidak perlu memikirkan hal seperti itu. Istana ini adalah tempat tinggal barumu sekarang, jadi kami tidak perlu sungkan atau segan untuk berbicara atau meminta kepada kami semua," tutur Scintia secara perlahan.     

Meski ekspresi Roxine tak berubah sedikit pun. Kegelisahannya sedikit berbeda dibanding dengan apa yang biasa ia rasakan, sesuatu yang hanya ia rasakan setiap kali Scintia berada di dekatnya juga menjadi penyebab kenapa pertanyaan itu kembali muncul di kepalanya.     

Dengan sekuat tenaga, gigi Roxine mengerat lalu mengeluarka pertanyaan yang selama ini ia tahan "Apa Scintia tidak masalah?"     

"Hmm?"     

"Hari itu aku hampir membunuh Scintia, tapi sekarang paduka merawat Roxine dan memberikan tempat tinggal untuk Roxine. Apa Scintia tidak marah kepada Roxine?" tanya Roxine dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.     

Kegelisahan yang ia rasakan kini sedikit berbeda dari sebelumnya, apa yang ia rasakan adalah rasa bersalah yang masih tidak bisa ia maafkan. Tinggal bersama dengan orang yang hampir ia bunuh, terlebih orang itu kini melayaninya dan menemaninya dengan ramah, membuat Roxine bimbang dengan berbagai alasan yang berdasar rasa bersalahnya.     

Tetapi bukannya merasa marah atau jengkel, pelayan pribadi sang Kaisar itu justru tertawa tanpa ditahan sama sekali.     

"Begitu, jadi itu yang kamu pikirkan," ucap Scintia setelah berhenti tertawa, kemudian ia melepas pelukannya dan kembali menyisir rambut perak gadis ajin itu "Kamu meremehkan ku, hanya dengan seperti itu aku tidak akan terbunuh. Kalau boleh menyombongkan diri, aku dapat mengalahkan mu dalam wujud monster. Jadi jangan berpikir dan merasa bersalah kalau aku hampir terbunuh, karena hal itu tidak akan terjadi," tambahnya terdengar sangat angkuh akan kekuatannya.     

Roxine hanya tertunduk terdiam mendengar kata-kata itu seakan ia sudah tahu jika itu yang akan dikatakan Scintia.     

Kemudian Scintia kembali berkata "Aku juga melakukan ini bukan hanya karena perintah paduka, tetapi aku benar-benar ingin melakukannya,"     

Kepala gadis ajin itu terangkat, ucapannya yang itu membuatnya terkejut sedemikian rupa.     

"Kenapa?" tanya Roxine.     

"Karena ... Kau mirip dengan ku," balas Scintia dengan sangat pelan namun terdengar oleh telinga Roxine hingga membuat matanya membulat, Scintia kembali berbicara "Aku juga sama seperti mu, aku berada di tempat ini karena kebaikan paduka Void."     

"Eh!?"     

"Itu sudah lama sekali, mungkin sekitar 50 tahun yang lalu? Aku sudah lupa ahahaha. Tapi, aku masih ingat jelas apa yang terjadi hari itu," tambah Scintia, ia menaruh sisir di atas meja rias, lalu mengambil beberapa jepit rambut yang dihiasi oleh permata Ruby seraya dirinya kembali bercerita "Saat itu di Ibukota Kekaisaran, hujan sangat lebat dan aku tidak memiliki tempat untuk pulang ... Bahkan meski aku pulang, aku tidak tahu apakah orang tuaku menerima ku kembali atau tidak. Hingga suatu hari, paduka Void yang sedang berjalan di Ibukota menemukan ku. Dia mengulurkan payung untuk melindungi ku dari hujan, lalu dengan tangan lainnya paduka memberiku sebuah roti," Scintia terkekeh sesaat membuat jeda dalam ceritanya "Saat itu aku tidak tahu kalau itu paduka Kaisar, jadi dengan cerobohnya aku mengambil makanan itu dan memakan semuanya di depan paduka ... Ah benar-benar memalukan," tambahnya seraya menutupi wajahnya dengan kedua tangannya menahan malu sendiri mengingat apa yang ia lakukan hari itu, kemudian menyingkirkan kedua tangannya dan kembali bicara "Lalu, saat itu paduka bertanya paduka, apakah aku mau ikut dengannya dan paduka menjanjikan ku tempat tinggal dan kehidupan yang berbeda. Hasilnya adalah seperti sekarang, diriku yang malang perlahan berubah hingga menjadi Iblis yang bisa melayaninya. Aku diberi tempat tinggal dan pelatihan agar bisa bekerja di Kekaisaran. Kurang lebih sama sepertimu, karena itu aku tidak bisa marah karena Roxine dan aku memiliki nasib yang sama, kita sama-sama diberikan kesempatan untuk hidup oleh paduka jadi aku tidak akan marah atau kesal kepada Roxine," Scitnia perlahan memeluknya kembali dari belakang.     

Pelukan yang jauh lebih erat dan lebih hangat dari sebelumnya, air mata tanpa sadar menetes dari matanya. Kegelisahan yang menghantuinya perlahan lenyap, perasaan lega memenuhi hatinya hingga mengeluarkan air mata dari pelupuk matanya.     

"Karena itu jangan pernah sungkan. Sejak paduka memutuskan, tempat ini sudah menjadi tempat tinggal mu, karena itu jangan pernah memikirkan hal seperti itu lagi. Aku yakin semuanya juga menerima mu disini," tutur Scintia seraya menyapu air mata, kemudian ia memindahkan rambut bagian depan yang tersisa ke samping dan menggunakan penjepit rambut itu "Baiklah sudah selesai," tambah Scintia sembari tersenyum lebar.     

Mata Roxine membulat sempurna, rambutnya yang berantakan dalam sekejap menjadi rapih dan membuatnya menjadi sosok yang amat berbeda.     

"Kalau begitu ayo, sudah terlambat untuk sadapan, Roxine," ucap Scintia seraya mengulurkan tangannya.     

Dengan ekspresi cerah, Roxine meraih uluran tangan Scintia. Seraya bergandengan, mereka melangkah bersama menuju ruang makan untuk sarapan. Pintu terbuka, berbaris banyak kursi di dekat meja panjang, namun hanya ada satu kursi yang di depannya terdapat sepiring makanan.     

"Paduka masih belum kembali, Uksia bilang kalau paduka akan kembali sore nanti," ucap Scintia pada gadis ajin yang merasa sedikit cemas karena tidak hadirnya sang Kaisar.     

Meski terasa enak dilidahnya, tetapi terasa hampa. Setelahnya ia tidak meniliki kegiatan kain, hingga ia pun meminta kepada Scintia "Scintia, apa boleh aku ke perpustakaan?"     

Tawa pelan kembali menghiasi Scintia kala ia mendengar ucapan Roxine yang jauh lebih lancar dibandingkan biasanya "Tentu saja, tapi apa ada buku yang ingin anda baca?"     

Tanpa berkata-kata, Roxine hanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan.     

"Baiklah," balas Scintia lagi.     

Melangkah bersama tanpa bergandengan, mereka menuruni tangga menuju lantai pertama sebelum menuju perpustakaan yang berada di belakang Istana–dekat taman belakang Istana. Ketika melewati aula utama, seseorang memanggil Scintia hingga membuat langkah mereka terhenti.     

"Nona Scintia!" panggil orang itu.     

Tubuh Roxine bergetar seketika kala ia melihat sosok itu, sosok dengan zirah lengkap hingga helm besi yang diberi garis lubang pada bagian mulut ia kenakan. Sosok itu mendekati mereka dengan berjalan sedikit cepat.     

"Jenderal Astaroth? Apa anda ingin menemui paduka? Tapi sayang sekali paduka masih belum kembali," tutur Scintia yang tampak sudah memahami tujuan Astaroth datang.     

Namun dengan santai Astaroth menyangkalnya "Ah tidak, aku datang untuk menemui Tuan Owl ... Ah," begitu ucapannya berakhir, matanya tertuju tepat ke arah gadis ajin yang amat cantik bagaikan putri.     

Sekali lagi tubuh Roxine mengejang kala helm besi itu tertunduk–tertuju ke arahnya.     

"Ooooh! Anda ... Uh, Nona Rosi!"     

Tebakannya salah.     

"Roxine,"     

Scintia membenarkannya. Dengan sigap Astaroth kemudian berlutut dan semakin mendekat.     

"Ah benar, Nona Roxine. Senang bertemu dengan anda, mungkin anda pernah melihat saya saat makan malam bersama kemarin tetapi izinkan saya memperkenalkan saya. Nama saya adalah Astaroth, salah satu Jenderal Iblis Kekaisaran," ucapnya sembari mengelurkan tangannya tiba-tiba.     

Pertama kali dirinya diperlakukan seperti itu membuat Roxine kebingungan dengan sendirinya, ia menoleh kesana kemari dan kemudian meraih tangan Astaroth karena panik.     

"Ro—Roxine," ucapnya sangat pelan.     

"Senang bertemu dengan anda Rox–. Aw! Aw!"     

Astaroth seketika berdiri kala Scintia mengetuk-ngetuk helmnya dengan sangat keras hingga membuat gema di aula.     

"Nona Scintia! Jangan mengetuk helm saya!" tanya Astaroth mengajukan protes seraya menegangi helmnya.     

Scintia langsung membalas dengan tegas "Kalau begitu jangan membuat Roxine ketakutan, kalau sampai dia menangis akan saya laporkan kepada paduka."     

"Itu berlebihan!" bantah Astaroth langsung.     

Mereka bertengkar, namun tampak begitu dekat satu sama lain, seperti itulah yang Roxine lihat disaat mereka beradu mulut. Hingga, tawa menghiasi gadis ajin itu. Tawanya begitu keras hingga perhatian dua Iblis itu teralih kepadanya.     

"Ah!" Roxine langsung menutup mulutnya, lalu menunduk "Ma—maafkan aku," katanya tampak menyesal.     

Penyesalan yang teramat manis, kedua Iblis itu tertawa pelan setelah mendengarnya berkata seperti itu.     

"Tidak apa, Roxine. Jika itu jenderal Astaroth, kamu tidak perlu meminta maaf. Karena dia memang suka di tertawakan!" ucap Scintia terdengar dengan senyumannya.     

"Mana ada!" bantah Astaroth langsung, helaan napas lelah terdengar dari dalam helm besinya itu kemudian ia berkata "Maaf kalau saya menakuti anda. Sekali lagi, senang bertemu dengan anda, Nona Roxine. Saya senang Kekaisaran kedatangan gadis manis seperti anda," tambahnya lagi seolah-olah dirinya tersenyum dari balin helm besinya itu.     

Roxine pula membalas senyumannya seraya mengangguk tanpa berkata apa-apa.     

"Tadi anda bilang ingin bertemu dengan Tuan Ink Owl?" tanya Scintia lagi memastikan.     

"Ah benar, apa dia ada?" balas Astaroth dengan bertanya.     

Scintia menggelengkan kepalanya dan menjawab dengan jelas "Tuan Ink Owl sedang pergi bersama Kaisar ke Kerajaan Abyc.".     

Terdengar terkejut Astaroth mendengarnya "Heeeh? Bukankah Kerajaan Abyc itu kerajaan manusia yang berbatasan dengan Negeri Elf, kan? Kenapa paduka disana ... Ah apa mungkin paduka mulai melakukan pendekatan dengan manusia seperti yang paduka bilang hari itu?"     

To be continue     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.