Aira
Aira
"Dimana kau tinggal?"
"DImana desa Nourma itu?
"Apa yang kau lakukan untuk bertahan hidup?"
Tiga pertanyaan dari tiga prajurit wanita yang berbeda. Aira kemudian kembali bercerita sebagai jawabannya.
"Desa Nourma berada di ujung Selatan Barat negeri persei, desa kecil yang berpotongan langsung dengan negeri Claen. Desa kami tidak diakui, Raja Elf bahkan hanya sekali untuk berkunjung. Itu yang kudengar dari orangtuaku dahulu."
"Setelah aku ke pusat wilayah Selatan, aku tinggal di sebuah tempat kecil di dekat pasar dan membantu warga untuk mengurus dagangan. Itulah yang dapat kulakukan karena aku tidak memiliki keahlian apapun." Aira meminum minumannya. Dia sudah selesai makan namun makanan ringan masih tersedia banyak.
"Lalu kenapa kau sampai tidak bisa membeli makanan? Bukankah kau mendapat upah dari pekerjaanmu?" tanya Corea.
"Aku baru saja berhenti bekerja karena aku terpaksa mencuri hasil kebun untuk mengobati luka di kakiku."
Dengan spontan, Corea, Cane dan Diya melihat kearah bawah lebih tepatnya pada kaki Aira yang tertutup baju panjang.
"Ada apa dengan kakimu?" ujar Diya sambil mengerutkan dahi.
Aira semula sungkan untuk menunjukkan lukanya, namun dia kemudian mengangkat sedikit bagian pakaiannya hingga menampakkan luka yang masih basah. Seketika ketiga prajurit wanita yang ada di dekatnya itu mengernyitkan dahi.
"Aku pernah terjatuh saat dalam pengejaran penyihir wanita itu, kurasa ini adalah luka akibat sihir yang tidak mudah disembuhkan. Hanya terasa membaik setelah ku beri ramuan buah yang banyak mengandung air, ataupun aloevera. Namun itu tidak bertahan lama, ini akan kembali sakit dan membuatku sangat tidak nyaman." Aira menunjukkan luka pada betisnya yang terlihat parah dan mengerikan.
"Kau mencuri aloevera milik penduduk?" Tanya Cane penasaran. Aira mengangguk sebagai jawabannya.
Aloevera memanglah tanaman yang mahal di negeri Persei, sehingga sangat masuk akal jika petani sangat marah ketika ada yang ketahuan mencurinya.
Corea terlihat hendak mengatakan sesuatu, namun Cane kembali mengalihkan topic. Dia hanya menduga kalau peri lembah itu akan memberikan ijin pada Aira untuk mendapatkan perawatan dari kerajaan.
"Kau sudah selesai dengan makananmu? Ingin istirahat? Kau bisa menggunakan kamar tadi untuk tidur," ujar Cane.
Corea melirik saudarinya itu. "Kau juga bisa meminta bantuan pelayan untuk lukamu," ucapnya kemudian.
Cane berdecak kesal. Dia bahkan bersikap sama dengan Corea, sikap yang tidak ingin dia lakukan pada orang asing. Terlalu baik.
Diya bersama dengan seorang pelayan menemani Aira menuju kamarnya untuk istirahat. Diya juga kembali membagi buah berry pada wanita itu untuk dijadikan makanan ringan sembari mengistirahatkan tubuhnya.
"Hey! Tidakkah kita terlalu baik padanya? Bukankah memberinya pakaian dan makanan sudah cukup? Kenapa kita membiarkannya untuk istirahat dan mendapatkan perawatan?" Cane menepuk bahu Corea.
"Apa yang salah dengan semua itu?" tanya Corea dengan polosnya.
"Bagaimana kalau dia ternyata orang jahat? Dia bahkan seorang pencuri. Walau hanya aloevera, aku khawatir dia memanfaatkan kebaikan kita untuk kepentingan pribadi."
Corea mengangguk samar. "Aku juga merasa ada yang aneh dengannya. Tapi bukankah akan lebih baik dia berada di kerajaan? Kita tidak perlu memburunya lagi," ujarnya kemudian.
"Bagaimana jika Raja marah?"
"Kau pernah melihat Wedden marah karena kita membantu seseorang?" Corea menatap Cane.
Cane lalu mehela napas panjang.
"Tenanglah. Kita jauh lebih kuat darinya bahkan jika dia melawan. Lagipula dia cidera, tidak akan lebih cepat dari kita jika melarikan diri," ujar Corea menenangkan.
"Sebenarnya apa yang kau khawatirkan, Cane? Raja marah karena kita menerima tamu tanpa sepengetahuan dia. Ataukah karena wanita itu cantik? Kau khawatir Raja menyukainya?" goda Corea.
"Ah sialan kau! Aku tidak mengatakan itu!" Cane kesal, namun wajahnya memerah karena malu.
"Ha ha lihatlah dirimu yang malu itu! Ahh menyebalkan sekali!" Corea merangkul Cane. "Tenang saja. Raja tidak mudah tertarik pada wanita yang cantik. Lagipula, kau lebih menarik karena jago bertarung," imbuhnya lagi seraya mengajak Cane pergi menuju halaman belakang.
Cane masih menggerutu kesal pada Corea, namun peri lembah itu masih terus menggodanya hingga ia lelah tertawa.
Sementara itu, Diya dan Aira masih berbincang di kamar tamu. Mereka menjadi semakin akrab karena Diya sangat tertarik dengan dialek asli dari Aira.
"Ah maafkan aku mengganggu waktu istirahatmu, Nona. Terimakasih karena telah mengajariku untuk mengenali bahasa kalian. Aku akan ke belakang sekarang. Nanti setelah kau selesai istirahat temui saja pelayan." Diya berpamitan pada Aira.
Wanita berambut abu itu mengangguk seraya tersenyum ramah. Dia merasa sangat senang karena bertemu dengan tiga prajurit wanita yang sangat baik padanya.
Aira juga merasa canggung dan sungkan, hanya saja dia tidak akan menyia-nyiakan kebaikan yang ia dapat begitu saja.
Aira ppergi ke seluruh sudut ruangan kamar tempat ia istirahat. Seketika memorinya tentang keluarga dan rumahnya di masa lalu kembali terputar hingga membuatnya merasakan lagi kerinduan yang telah lama terpendam.
Aira lalu merebahkan tubuhnya pada tempat tidur, memejamkan mata dan beristirahat.
*
*
Di ruang perawatan. Egara telah bangun dan menikmati makanan yang diantar oleh pelayan. Jeo dan Han sedang bertugas untuk berkeliling kerajaan.
Egara menikmati makanannya dengan tanpa memikirkan apapun, namun ketika ia mendengar suara Corea dan Cane yang sedang berbincang, dia merasa kesal dan bergegas kembali berpura untuk belum sadarkan diri.
"Ada apa, Tuan?" tanya pelayan yang masih membereskan ruangan.
Egara terdiam, sialnya adalah dia melupakan pelayan itu. "Bisakah kau diam saja dan mengatakan kalau aku belum sadarkan diri jika ada yang bertanya?"
Pelayan itu bingung.
"Kau tidak boleh menolak permintaanku, mengerti?" Egara kembali merebahkan tubuhnya dengan nyaman. Dipejamkan kedua matanya dan bersiap untuk memainkan sebuah peran.
Namun ternyata kedua prajurit wanita itu hanya melewati ruang perawatan, tidak singgah, juga tidak menjenguk keadaan ketua Pasukan itu.
"Ah sial. Mereka mengganggu sekali," gumamnya. Dia kemudian kembali duduk dan mengambil nampan yang berisi makanan.
Masih dengan pikiran kosong, Egara menghabiskan makanannya yang hanya tersisa sedikit.
Klek!!
"Hey, kau sudah sadar?"
***