Energi Terkuat Lenyap
Energi Terkuat Lenyap
Semua orang terkejut.
"Sial!" geram Egara.
Dia kembali memacu kuda dan bergegas turun untuk mengecek seluruh sudut kerajaan. Dia memerintah pasukan untuk tidak lengah pada satu jengkalpun karena seluruh wilayah Kerajaan harus tetap baik-baik saja.
Prajurit dan para pelayan yang masih berada di Kerajaan juga telah berada di luar bangunan guna menghindari hal yang tidak diinginkan. Menurut penuturan mereka, tidak ada suatu apapun yang terjadi sebelumnya, namun mereka merasakan udara yang sangat panas di sekitar mereka.
Egara menuju sumber api dengan ditemani oleh beberapa prajurit juga diikuti oleh Ley dan Corea.
Tidak ada satu tempatpun yang mengeluarkan asap, sangat aneh. Corea bahkan berkali-kali mengecek perapian juga dapur untuk memastikan tidak ada api di dalam bangunan.
Langkah Egara tertuju pada pintu batu raksasa yang sebelumnya pernah ia kunjungi bersama dengan Ley.
Tanpa basa basi lagi, mereka segera membukanya dengan bersama-sama.
Baru juga terbuka, mereka telah dikejutkan dengan hawa panas yang keluar dan membuat beberapa prajurit merasakan kulit yag terbakar.
Asap tebal mengepul dari dalam. Egara segera mengetahui apa yang terjadi.
Ley menyiapkan diri, tanpa persetujuan dari Egara dia telah memegang pedang panjangnya dan akan menyerang apapun yang akan dia temui nantinya.
Ding! Ding! Ding!
Srrrkkk!
Blub bub blub.
Berbagai suara nyaring terdengar sangat jelas. Hawa di ruang bawah tanah itu sangat panas dan sangat tidak baik untuk siapapun karena selain panas, di dalam juga sangat minim oksigen sehingga dapat membunuh seorang manusia walau tanpa adanya pertarungan.
Grrrrr!
Erangan nyaring yang dikenali oleh Ley menggema di seluruh ruangan. Seketika bulu kuduk Ley meremang, dia mendekatkan diri pada Egara yang masih berjalan dengan tegaknya menghampiri sumber semua bunyi itu.
"Dia melakukannya," gumam Egara sesaat setelah dia menghentikan langkah.
Ley menatap ke depan. Ini adalah pertama kali baginya melihat pemandangan yang sungguh mengerikan. Dia sebelumnya hanya mendengar dari beberapa kisah yang diapun menganggapnya hanya dongeng.
Makhluk kegelapan yang berukuran raksasa yang semula berwarna agak gelap kini berwarna merah menyala seperti tanah yang dibakar lama. Tubuhnya juga berasap dan hawa panasnya membuat Ley berpeluh walau hanya dari kejauhan.
Bukan diam saja, makhluk itu sedang menempa besi juga membakar besi lain yang akan dijadikan senjata. Pandangan Egara dan Ley tertuju pada deret besi yang setengah jadi, ada pula beberapa parang berukuran besar yang mengkilap karena sangat tajam.
Napas Ley terengal, jantungnya berdebar tidak keruan. Namun tidak dengan Egara yang justru merasa senang karena rupanya makhluk itu masih mengingat tugasnya dengan baik.
Ley melangkah mundur ketika ia melihat Egara mengeluarkan pedangnya.
"kalian tunggulan di luar, aku akan menyelesaikan ini sendiri." Egara bicara pada para prajuritnya.
Ley memegangi pedangnya, dia juga bersiap namun Egara menatapnya lekat. "Kau pergilah juga. Aku akan berteriak jika membutuhkanmu," ujar Egara.
Egara segera melangkah maju, lebih dekat dengan monster api itu.
Peluhnya telah bercucuran, kedua manik matanya nampak menyala karena kilau yang menyala di dekatnya.
Egara menarik napas panjang. Lalu dia mencoba untuk menggunakan kekuatan milik Corea. Dia menghembuskan angin yang cukup kencang hingga mengejutkan monster itu.
"Ayo kita akhiri semuanya sekarang," ucap Egara nyaring pada monster yang berbalik padanya.
Keduanya saling bertatapan, jelas terlihat adanya amarah dari keduanya yang siap untuk diluapkan.
Monster itu merasa terganggu dengan serangan tiba-tiba Egara, rupanya dia juga merasa bingung karena semula Egaralah yang memintanya untuk kembali bekerja namun sekarang Egara juga yang menghalanginya.
"Huh ini akan sangat menyenangkan," gumam Egara. Dia mehala napas panjang dan kembali menyerang dengan beberapa sabetan pedangnya.
Pertarungan yang terlihat sangat tidak imbang. Beruntung Egara berhasil mengendalikan kekuatan dalam dirinya dan berhasil terus menghindari dari lemparan-lemparan api serta besi panas.
Monster yang bodoh, begitulah kenyataannya sehingga Egara mudah mencari titik lemah makhluk itu.
Egara menyiapkan ancang-ancang beberapa saat sebelum akhirnya dia berhasil melompat tinggi pada bagian meja batu lalu menancapkan pedang panjangnya pada bagian kepala monster api itu.
Arrghhhhh.
Grrrrr.
Grrrrr.
Getaran pada seluruh dinding ruangan terasa hingga bagian luar tempat para prajurit juga Ley menunggu.
Napas Egara tersengal, monster itu tidak kunjung mati, justru mampu bergerak lebih brutal membuat ketua pasukan Selatan itu tepental cukup jauh.
Egara mulai lelah, dia lalu kembali menggunakan kekuatan anginnya untuk mengangkat batu besar yang kemudian dia lempar kea rah monster itu.
Sekali lagi, Egara naik ke meja batu lalu melompat ke tubuh monster untuk menarik pedang dan menusuknya beberapa kali pada bagian tubuh monster itu.
"Argh!" Egara berhasil membuat makhluk itu terjatuh dengan pedangnya menusuk tepat di bagian dada.
Dengan napas yang masih tersengal, Egara meanrik pedangnya. Lalu dia perlahan menyentuh monster itu dengan telapak tangannya.
Panas.
Namun dia tahu sumber kekuatan makhluk itu ada di dalam bagian jantungnya, karena disanalah dia menemukan titik lemahnya.
Egara meyakinkan diri lalu dia meninju bagian dada makhluk itu dengan sangat keras hingga tangannya menembus lapisan terluar dari makhluk itu.
"Argh!" Egara kesakitann karena tubuh makhluk itu yang masih merah panas.
Detik berikutnya, Egara mengumpulkan energy dan mencoba fokus. Perlahan, tangannya tidak lagi merasakan panas justru tubuh makhluk itu yang mengeluarkan kepulan asap persis api yang disiram air.
Cukup lama, namun tubuh makhluk itu berhasil kembali pada warna semula dan tidak lagi memberi perlawanan karena telah kehilangan banyak energy dan kekuatan.
Egara mengangkat tangannya, terdapat luka bakar namun tidak seberapa. Dia merasakan tubuhnya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Detak jntungnya menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Samar, ia mulai tersenyum karena apa yang abru ia lakukan.
"Ketua! Kau baik-baik saja?" para prajurit menghampiri Egara bersama dengan Ley. Merea dibuat terpana karena keadaan Egara yang tanpa cidera dan monster yang mati.
Api abadi masih menyala, namun tiu bukan masalahnya karena itu merupakan bagian dari Kerajaan yang tidak dapat dimusnahkan. Lagipula itu tidak berbahaya.
"Kau sungguh melenyapkan sisa kegelapan seorang diri?" ucap Ley kagum.
Egara tidak memberikan respon. Dia hanya mehela napas panjang.
"Bisakah kalian bereskan semuanya? Bawa saja senjata yang suah jadi ke gudang senjata, lalu semua yang setengah jadi simpan saja. walau tidak akan ada perang algi, setidaknya kita memiliki kenang-kenangan," ujar Egara pada prajuritnya.
Terdengar ringan seolah dia tidak baru saja bertarung dengan makhluk hebat.
Egara menepuk pelan bahu Ley lalu dia berjalan keluar dari ruang bawah tanah itu.
"Kau baik-baik saja?" Corea menunggu di pintu depan.
Tanpa basa basi, Egara segera memeluk wanita itu dengan erat. "Aku akan selalu baik-baik saja," ucapnya.
***