BUKU SIHIR SANG RAJA ELF

Seluruh Negeri Berdarah



Seluruh Negeri Berdarah

3Egara masuk ke kamar prajurit untuk beristirahat. Di dalam, terdapat enam tempat tidur susun dimana seluruh rekannya sudah terlelap karena kelelahan setelah berlatih ekstrim.     

Ruangan yang tidak begitu luas itu menjadi sangat pengap saat gelap. Hanya ada satu penerangan, lentera kecil di dekat pintu adalah sumber cahaya di kamar itu.     

Egara melepas pakaian prajuritnya lalu merebahkan tubuh dan mencoba untuk memejamkan mata.     

Samar masih dapat didengar olehnya suara dengkuran rekannya dari tempat tidur yang berbeda. Lalu suara gerombolan semut di sudut ruangan yang sedang merebutkan potongan sisa makanan yang sengaja diberikan oleh salah seorang prajurit saat mereka makan.     

Perlahan suara itu mulai menghilang. Egara hanya menduga kalau dirnya sudah semakin jauh menuju alam mimpi, namun dia masih dapat berpikir banyak dan sama sekali tidak merasa tidur. Hingga dia mengerutkan dahi dan menggerakkan tubuhnya.     

Kaku, dia tidak dapat merasakan tubuhnya bergerak. Seolah aganya terikat oleh tempat tidur sementara jiwanya masih ingin memberontak.     

Perlahan dan sangat lirih, pendengaran Egara mulai menangkap sebuah suara. Semula ia mendengar suara angina yang menyapa tirai jendela, pelan. Lalu suara itu menjadi semakin kencang hingga membuat suara rebut.     

Egara mulai merasakan sekitarnya menjadi semakin gelap dan sesak. Dia berusaha untuk memiringkan kepalanya agar dapat bernapas dengan menggunakan udara yang bersih.     

Tik tik tik.     

Egara dapat merasakan tubuhnya basah. Gerimis membasahi seluruh permukaan bumi dengan diiringi angina kencang. Udara di sekitar yang sangat pengap membuat Egara kesulitan untuk bernapas. Selain itu tetesan air terus mengenai wajahnya dan membuatnya semakin tidak tenang.     

"Bangunlah! Kita harus bertarung dan merebut kembali kemenangan."     

Suara berat nan serak terdengar jelas di telinga Egara. Dia masih belum bisa membuka matanya, namun suara itu sangat tidak asing untuknya.     

"Siapkan pasukan untuk menyerahkan nyawanya. Latih mereka dengan baik agar kita menang," ucap suara itu lagi.     

"Raja Wedden? Kau kah itu? Kau dimana? Disini sangat berkabut aku tidak dapat melihat apapun," ucap Egara yang masih berusaha membuka mata dan mengatur penglihatan dalam kegelapan.     

"Apa kau mendengarku?" ucapnya lagi. Dia segera menyentuh tenggorokannya yang bergetar untuk memastikan kalau dirinya benar-benar mengeluarkan suara.     

DARRR!!     

Ledakan nyaring terdengar hingga menggetarkan tempat tidur Egara. Segera saja dia beranjak dan mengambil pakaian serta perlengkapan perangnya.     

Seluruh rekannya telah bersiap lebih dulu beberapa detik sebelum dirinya.     

Semuanya berhamburan memencar untuk melindungi Kerajaan dari seluruh sisi.     

Egara bersama dua rekannya yang lain menuju kamar Cane dan Corea. Betapa terkejutnya mereka saat mengetahui kalau kedua kamar itu dalam keadaan terbuka dan kosong.     

Kembali memencar, namun tidak ada satupun yang dapat menemukan dua per itu. Raja Wedden juga tidak ditemukan.     

Egara marah dan memaksa semua pasukannya untuk menemukan Wedden, Cane dan Corea.     

"Aku jelas mendengar suara Raja. Temukan dia dan pastikan keadaannya baik-baik saja!" perintahnya sangat nyaring.     

Hujan badai kembali terjadi setelah sekian lama. Guntur saling bersahutan dari segala sisi membuat suasana malam menjadi semakin mencekam.     

Bukan hanya suara petir juga badai, namun atap kerajaan mendadak bocor dan membuat seluruh ruangan basah karena derasnya air hujan yang turun. Hal itu membuat semua orang panic dan menyelamatkan diri juga rekan yang lain.     

Egara mengecek bagian luar kerajaan. Dia kembali dikejutkan dengan keadaan yang sangat mengerikan. Halaman kerajaan porak poranda, seluruh taman hancur dengan pepohonan yang ambruk ke segala arah.     

Ia segera menutup pintu depan rapat-rapat dengan dibantu oleh beberapa prajurit lainnya. Mereka mengecek semua pintu dan jendela, memastikan tidak akan ada angin kencang yang dapat menyusup dan dapat menyelamatkan semua orang yang ada di dalam bangunan.     

Hal yang paling membuat Egara terkejut sekaligus marah adalah, disaat keadaan sedang tidak baik-baik saja, para prajurit bertarung satu sama lain dengan saling menghujamkan pedang juga menendang satu sama lain.     

Beberapa telah tergelatak bersimbah darah, itu sungguh lebih brutal dari Egara selama ini. Saat Egara hendak melerai, nampaklah sosok Putri Leidy di sisi yang lain sedang menyaksikan pertumpahan darah antar prajurit itu.     

Putri Leidy lalu menoleh pada Egara lalu tersenyum dengan anggunnya. Sama sekali tidak terlihat takut maupun panic seperti biasa saat ia mendengar tentang pertarungan berdarah.     

Egara mengerutkan dahinya, heran. Tuan Putri bahkan meninggalkan tempat itu begitu saja dan tidak kembali Nampak saat Egara kembali disibukkan dengan para penghuni kerajaan yang mencari tempat untuk berlindung karena atap bangunan sungguh rusak parah karena serangan badai.     

.     

.     

"Egara! Ketua!" seorang prajurit menggoyangkan tubuh pria berambut gondrong coklat itu beberapa kali hingga membuatnya membuka mata dengan pandangan kosong.     

Kedua tangannya dikepalkan seperti saat ia siap untuk menyerang musuh.     

Hening sejenak, para prajurit melangkah mundur untuk menghindari serangan dari Ketua mereka yang belum sepenuhnya kembali sadar.     

"Kau baik-baik saja?" Tanya seorang prajurit bernama Nide yang memberanikan diri mendekat.     

Egara mengedipkan kedua matanya perlahan, lalu dia memandangi semua rekannya yang berkumpul. Detik berikutnya dia turun dari tempat tidur dan bergegas keluar dan mengecek seluruh ruangan.     

Tentu saja itu membuat prajurit lain kebingungan. Nide dan dua orang lainnya menyusul langkah ketua mereka dan mengikuti dari kejauhan.     

Egara hanya mengenakan pakaian tipis, meninggalkan lencana bahkan senjatanya di dekat tempat tidur. Ia menuju ruangan Raja yang masih tertutup rapat dan dijaga oleh prajurit yang bertugas malam itu.     

"Raja di dalam?" tanya Egara.     

"Raja belum kembali sejak kemarin, Ketua."     

Egara terdiam mendengar jawaban dar prajurit itu. Lalu dia kembali menuju kamar Cane dan Corea. Dia mendapat jawaban kalau kedua peri wanita itu sedang beristirahat karena matahari masih belum saatnya untuk terbit.     

Berlanjut hingga ke ruang rawat para prajurit, Egara mendapati para pelayan yang masih tertidur dengan semua prajurit yang juga terlelap diatas tempat tidur masing-masing.     

Semuanya sangat aman dan baik-baik saja. Egara lalu menuju kamar yang tidak pernah sebelumnya dia inginkan untuk kunjungi, yaitu kamar Putri Leidy.     

Berhenti di depan pintu kamar yang berada di bangunan bagian belakang, Egara segera disusul oleh Nide yang mengkhawatirkan ketuanya.     

"Ada apa, Ketua? Apa yang sedang kau cari hingga harus memasuki semua kamar?" tanyanya penasaran.     

Egara berbalik dan menatap anggotanya itu. "Apakah aku tertidur dengan aneh?" tanyanya.     

"Emm kurasa kau hanya mengigau," ujar Nide.     

"Badai?" ucap Egara lirh.     

"Tidak. Kau hanya mematung dengan sesekali bersikap seperti ketakutan dan bersiap untuk bertarung. Apa semuanya baik-baik saja?"     

Egara segera menarik napas panjang. Dia harus menerima kenyataan kalau hal yang membuatnya sangat panic barusan hanyalah buah pikirannya yang terpresentasikan lewat mimpi.     

Semuanya terasa sangat nyata, Egara bahkan masih dapat mengingat peristiwa berdarah itu. Aroma anyir darah segarpun masih melekat diingatannya. Hal ini terlalu nyata untuk sebuah mimpi.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.