This is Your Baby, Mr. Incubus! [BL]

Rasa Bersalah



Rasa Bersalah

2Ioan merenung menatap dokumen hasil pemeriksaannya yang tersebar di atas tempat tidur. Ruangan VIP yang ia tempati telah penuh dengan cahaya jingga dari luar jendela, menandakan bahwa hari telah sore dan matahari bersiap-siap untuk kembali ke tempat peristirahatannya.     

Ucapan Damian tadi masih terngiang di benaknya….     

["Ini adalah hasil pemeriksaan tubuhmu dan juga janinmu. Tidak ada alergi obat. Ada sedikit tanda malnutrisi pada tubuhmu jadi untuk operasi pengguguran, aku menjadwalkannya pada 7 hari ke depan. Untuk sementara, kau harus makan lebih banyak untuk menyehatkan tubuhmu agar nyawamu tidak terancam saat proses operasi. Kemudian, untuk janinmu, keadaannya sehat."]     

Jari jemari Ioan menyusuri lembaran-lembaran hasil foto janin yang diberikan dokter itu. Bentuknya masih kecil dan aneh tapi jantung Ioan tidak bisa berhenti berdetak kencang.     

'Benda kecil ini akan menjadi bayi?'     

Ketidakpercayaan memenuhi dirinya, bercampur dengan kesakitan di dadanya yang membuat ia sedikit sesak.     

["…membunuh pelan-pelan."]     

"Membunuh…."     

Ioan merasa mual.     

Tadi, ia masih bisa tanpa ragu dan tegas mengatakan bahwa ia akan menggugurkan bayi ini tapi sekarang, sejak ia mendengarkan mengenai efek obat suntik yang akan diberikan kepadanya itu, ia tidak lagi yakin.     

Walaupun demi mimpinya, apakah benar untuk membunuh nyawa kecil ini?     

Walaupun nyawa kecil ini terbentuk dari sebuah kecelakaan, tapi ini tetap secercah kehidupan yang datang ke dalam perutnya, bersiap untuk melihat dunia. Apakah merenggut kesempatannya untuk hidup di dunia ini adalah sesuatu yang benar?     

Semakin ia memikirkannya, rasa mualnya semakin kuat tapi tidak ada yang keluar dari mulutnya ketika ia berusaha muntah di dalam toilet. Ketika ia keluar dari toilet, suster yang menjaganya sudah berada di dalam ruangan.     

"Aku membawakan makan malam. Setelah kamu makan, aku akan menyuntikkan obat," pesan suster itu. walaupun ia tidak mengatakan identitas obatnya, Ioan sudah tahu dan hal itu membuat kondisi tubuhnya semakin buruk.     

Ia memaksakan diri untuk mengangguk agar suster itu pergi dari ruangannya. Sesaat setelah suster itu pergi, Ioan berjalan keluar dari kamar.     

'Aku perlu udara segar,' batinnya berharap setelah menghirup udara di luar, ia bisa mengatur kembali pikirannya dan memantapkan hati menjalani keputusan yang telah ia ambil.     

Akan tetapi, sebelum ia sempat berjalan menuju rooftop, ia mendengarkan keributan dari lorong lain.     

'Apa yang terjadi?' Terpancing oleh rasa penasaran, Ioan menyusuri lorong yang ternyata dikhususkan untuk persalinan.     

Gerombolan incubus tertangkap pandangannya, berlomba-lomba memasuki sebuah ruang rawat. Sebuah nama tertera pada plat di depan ruang rawat. Pintunya setengah terbuka sehingga Ioan dapat melihat dan mendengar percakapan yang terjadi di dalamnya.     

"Syukurlah! Syukurlah!"     

"Biarkan aku lihat cucuku!"     

Di dalam ruangan, hanya terdapat sebuah tempat tidur yang ditempati oleh seorang wanita incubus. Wanita itu baru saja melewati proses persalinan dan sekarang, di dalam tangannya terdapat sesosok bayi mungil yang terbungkus kain hangat.     

Gerombolan tadi merupakan keluarga besar wanita itu. Semuanya penuh haru dan berlomba-lomba untuk menggendong atau hanya sekedar melihat sosok bayi tersebut.     

Ioan tertegun.     

Keringat dingin membasahi punggungnya.     

Matanya tidak bisa lepas dari sosok bayi mungil itu.     

Kedua tangannya yang gemetar refleks mendekap perut. Hasil foto dari pemeriksaan janinnya kembali terputar di benak.     

'Bola kecil itu akan berubah menjadi bayi imut nan sehat seperti ini….'     

Bayi di dalam dekapan sang ibu menggeliat kecil, memperlihatkan bahwa itu memang sebuah kehidupan baru.     

Ioan kembali mual. Pandangannya jatuh pada kedua tangannya yang gemetar dan detik itu juga, ia muntah tanpa mengeluarkan apapun selain cairan bening.     

Matanya memainkan sebuah ilusi, membuat apa yang ia lihat adalah darah yang mengotori kedua tangannya, bagaikan meneriakkan bahwa ia adalah pembunuh.     

Buru-buru, ia menutup mulutnya lalu berlari pergi tanpa arah. Entah berapa lama ia berlari hingga akhirnya ia berhenti di sebuah lorong gelap yang sepi.     

Punggungnya tertempel pada dinding dingin yang membeku. Tubuhnya segera merosot, terduduk lemas di atas lantai keramik.     

Air mata tak bisa lagi dicegah, mengalir jatuh membasahi wajah.     

Rasa bersalah menusuk hatinya, menghantuinya bagaikan sebuah kutukan.     

'Aku tidak sanggup menanggung ini seumur hidupku….'     

*****     

15 menit kemudian, di ruangan pribadi Steve….     

"Apa? Pria itu tidak ada di ruang rawatnya?" Wajah Steve suram ketika ia mendengarkan ucapan Damian dari balik sambungan telepon.     

Tangannya yang sedang menuliskan laporan medis hari ini segera terhenti. Seluruh fokusnya berpindah pada kegiatan teleponnya.     

"Ya. Suster yang menjaganya mengatakan bahwa ketika ia mengirimkan makan malam, pria itu masih ada. Namun, ketika ia kembali untuk menyuntiknya, pria itu sudah hilang. Makan malamnya pun tidak disentuh sama sekali," jelas Damian yang sepertinya sedang sibuk mencari keberadaan Ioan bersama bawahannya karena terdapat suara-suara teriakan samar dengan kata half-beast terdengar di latar belakang.     

Steve memijit pangkal hidungnya sembari menghela napas lelah. Baru saja ia akan menyelesaikan laporannya lalu mulai melanjutkan penelitiannya dan masalah ini terjadi.     

Buru-buru, ia berdiri lalu mengenakan jas dokternya. Ia khawatir Ioan telah kabur. Bayangan-bayangan ketika kabar mengenai Steve yang menghamili seorang half-beast muncul di media massa membuat pergerakannya semakin cepat.     

"Aku akan—" Baru saja ia ingin ikut dalam pencarian dan memutuskan sambungan telepon, pintu ruangannya terbuka.     

Steve berdecak kesal. "Jam konsultasi sudah ha—"     

"Aku bukan pasien," sela pria tersebut.     

Suara itu terdengar familiar membuat Steve buru-buru menoleh. Ia langsung lega ketika menemukan bahwa Ioan-lah yang telah membuka pintu ruanganya.     

Steve segera menyampaikan mengenai keberadaan Ioan kepada Damian lalu memutuskan sambungan. Dengan ekspresi dingin nan datar seperti biasanya, ia kembali duduk seraya mengulurkan tangannya ke arah kursi di seberangnya.     

"Apa yang kau lakukan datang ke sini tanpa bilang kepada siapa pun? Seluruh rumah sakit sedang kacau karena mencarimu."     

Ioan duduk di kursi itu dengan kepala tertunduk, tidak berniat menjawabnya. Pandangannya masih terfokus pada perutnya sendiri.     

Steve juga tidak mendesak karena ia tidak peduli dengan alasannya. Asalkan Ioan tidak kabur, ia sudah senang jadi ia mengubah pertanyaannya, "Apa yang kau inginkan?"     

Ioan terlihat mengelus perutnya beberapa kali sebelum mengangkat wajahnya. Steve langsung bertemu pandang dengan sepasang mata kuning hijau-keemasan yang penuh tekad dan keyakinan.     

"Aku berubah pikiran. Aku tidak ingin menggugurkan anak ini!"     

Keheningan yang pekat melanda ruangan itu….     

Mata Steve sedikit melebar tapi mulutnya masih tertutup rapat.     

Melihat ekspresi itu, Ioan tanpa sadar menahan napas. Tangannya meremas kain pakaiannya hingga terasa akan robek. Rahangnya mengerat dan bibir bagian bawahnya ia gigit begitu kuat hingga hampir terluka.     

Tiba-tiba, Steve mengernyit.     

Pergerakan kecil itu membuat Ioan tersentak. Jantungnya berdegup kencang, takut bahwa Steve tidak suka dengan ucapannya dan akan memaksanya untuk menggugurkan anak ini. Buru-buru, ia memohon, "Aku akan melakukan apapun yang kau katakan. Aku juga tidak perlu uang. Jadi, aku mohon! Biarkan aku melahirkan dan membesarkan anak ini. Aku tidak butuh apa-apa lagi jika kau mengabulkan ini!"     

Steve masih tidak terlihat akan mengucapkan apa-apa. Jari jemari panjang nan rampingnya mengetuk-ngetuk permukaan meja membuat Ioan yang mendengarnya merasa jantungnya akan copot karena berdetak terlalu kencang.     

Tanpa sadar, ia mulai menggigiti kuku-kukunya sambil memohon sekali lagi, "Aku mohon!"     

Steve tiba-tiba menarik pergelangan tangan Ioan, menjauhkan kuku-kuku yang sudah bergerigi dengan tidak teratur dari mulut Ioan.     

Bayangan horor tiga harinya bersama Steve membuat Ioan refleks menghempaskan tangan itu dari pergelangannya. Ketika ia tersadar, wajahnya langsung pucat pasi. "Ma—maafkan aku!"     

Steve tidak begitu memikirkannya dan hanya menurunkan tangannya kembali pada permukaan meja.     

"Jika kau mau memenuhi beberapa syarat, aku bisa menerima permintaanmu itu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.