Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Kwetiau



Kwetiau

3  Setelah tiga hari sosialisasi melalui mading dan website resmi sekolah, pemilihan pengurus OSIS yang baru memenangkan Zen sebagai Ketua OSIS dan Beni sebagai Wakil Ketua OSIS yang baru. Membuat jurusan bahasa menjadi populer sebagai pilihan bagi kelas sepuluh yang akan melanjutkan minat dan bakatnya saat naik ke kelas sebelas.    

  Kelas kami merayakan kemenangan Zen dengan membuat banyak permintaan. Ada yang meminta dibuka stand baru di kantin yang menjual makanan khas korea, ada yang meminta perpustakaan menyediakan layanan online hingga tak perlu menunggu lama saat akan meminjam buku karena petugas perpustakaan yang akan mengantarnya pada kami, bahkan ada yang meminta disediakan layanan antar jemput khusus dari sekolah seperti taksi online.    

  "Emangnya sekolah ini tiba-tiba berubah jadi punyaku mentang-mentang aku jadi Ketua OSIS yang baru?" Zen memprotes permintaan teman-teman kami yang berkumpul di dekat mejanya sesaat setelah pengumuman resmi pengurus OSIS dilakukan.    

  Kalimat protesnya membuatku mengingat Astro. Sepertinya Astro tak pernah merasa terganggu dengan permintaan tak masuk akal dari siapapun walaupun dia adalah anak pemilik yayasan yang menaungi sekolah kami.    

  Hal ini membuatku berasumsi bahwa mungkin memang tak ada seorang pun yang tahu bahwa Astro adalah anak pemilik yayasan. Mungkin memang sudah takdirnya menjadi murid populer bahkan tanpa membawa pengaruh kekuasaan siapapun di belakangnya.    

  Bel istirahat kedua yang baru saja berbunyi membuat kerumunan di sekitar kami menghilang dengan cepat. Setertarik apapun teman-teman kami pada posisi baru Zen, sepertinya mereka lebih tertarik untuk mengisi perut mereka di kantin dan meninggalkan Zen yang masih bersungut-sungut di mejanya.    

  "Selamat ya, Zen." ujarku karena aku belum sempat memberinya selamat.    

  "Kalau kamu ikut daftar jadi kandidat pengurus mungkin kamu yang jadi wakil ketuanya."    

  "Random banget isi pikiran kamu, Zen. Hahaha ... aku ga mungkin ikut ngurusin OSIS. Kerjaanku di luar sekolah ada banyak. Sorry ya, ga bisa bantu."    

  Hubunganku dan Zen mengalir secara natural setelah dia memindahkan mejanya di sebelahku. Kami akan saling berbincang banyak hal dari yang penting sampai hal-hal yang aneh yang terlintas di kepala kami.    

  Dia juga bersikap lebih baik padaku setelah tahu aku yatim piatu. Dia berjanji akan merahasiakan hal itu bahkan tanpa aku memintanya. Seandainya ada pemilihan kandidat teman paling menyenangkan, kurasa aku akan memilihnya.    

  Aku menoleh dan mendapati sosok Astro sedang memandangiku dari jendela saat menyadari tatapan Zen terpaku ke sana. Astro sedang menyandarkan tubuhnya pada teralis seperti biasa.    

  "Duluan ya, Zen." ujarku sambil memberi isyarat pada Zen karena Astro menungguku di luar. Zen hanya mengangguk dan mulai berkutat dengan handphonenya.    

  "Sejak kapan dia duduk di sebelah kamu?" Astro bertanya dengan ketus saat aku sampai di sisinya.    

  "Seminggu ini kayaknya. Kamu kan jarang ke sini belakangan ini. Mau ke kantin?"    

  "Aku mau pindahin mejaku ke sebelah kamu aja biar dia jauh-jauh." ujarnya sambil membuntutiku menyusuri koridor.    

  "Seriously?" ujarku dengan tatapan tak percaya.    

  "Aku serius."    

  Kurasa aku akan mengabaikannya. Mana mungkin dia bisa tiba-tiba berubah jurusan dan muncul di kelasku hanya dengan alasan aneh seperti itu?    

  "Kamu pakai sampo dariku?" Astro bertanya.    

  Aku menghentikan langkah kakiku tiba-tiba karena baru saja akan menegurnya, tapi dia sepertinya tak mengetahui hal itu. Kepalaku terbentur dagunya dan sekarang terasa sakit. Aku mengusap bagian yang terbentur dengan tanganku untuk berusaha menghilangkan rasa sakitnya.    

  "Sorry, Za." ujarnya sambil mengangkat tangannya, sepertinya berniat berusaha membantuku mengusap kepalaku. Namun sedetik kemudian dia menahannya dan tak jadi menyentuhku. "Kamu kenapa tiba-tiba berhenti sih? Kan bahaya."    

  "Aku mau negur kamu, jangan cium aroma orang sembarangan begitu." ujarku sambil menatapnya sebal.    

  "Look who's talking (Coba liat siapa yang ngomong begitu)? Kan kamu duluan yang nyium aroma orang sembarangan."    

  Aah sial....    

  Dia benar. Aku mengedarkan pandangan di sekitar kami, untunglah tak ada siapapun. Aku baru saja akan memprotesnya saat menyadari hal seperti ini sebaiknya tak dibicarakan di tempat umum. Namun kurasa aku akan menganggap percakapan kami sebelum ini tak pernah ada hingga aku melanjutkan langkah kami menuju kantin dalam diam, dengan masih mengusap kepalaku sesekali.    

  Aku terbiasa keramas saat malam hari, karena aroma sampo membuatku mendapatkan pengalaman tidur lebih baik. Seingatku sampoku sebelum ini tidak mengeluarkan aroma yang begitu intens hingga ada orang lain yang sanggup mencium aromanya.    

  Apakah sampo pemberian Astro memang memiliki aroma yang lebih kuat? Jika memang benar, rasanya tak mengherankan jika aku bisa mengingat aroma itu menguar dari topi yang dipakainya bukan?    

  "Mau makan apa? Aku pesenin." Astro bertanya setelah aku duduk.    

  "Mau kwetiau pedes."    

  "Jangan makan itu sering-sering, nanti kamu sakit."    

  "Kwetiau terakhirku kan kamu yang makan. Aku minta ganti." ujarku dengan sebal.    

  Astro terlihat berpikir sesaat, "Kali ini aja ya."    

  Aku hanya menganggguk dan mengambil handphone dari saku. Seingatku sebelum aku berbincang dengan Zen, aku sedang berkirim pesan bersama Mayang dan Denada tentang acara menginap kami di rumah Denada sabtu ini.    

  Mayang : Nanti aku bawa madu buat kita maskeran. Bulan kemarin aku nemu resep masker, aku udah nyoba sekali. Kulitku jadi kenyel gitu. Aku suka banget!    

  Denada : Di rumah ada madu kok. Kemarin mama bawa pulang lima botol pas pulang dari Riau    

  Aku : Nanti aku bawa brownies ya    

  Denada : Iih Faza bikin ngiler! Harusnya ga usah bilang, kan aku jadi kebayang brownies bikinan kamu!    

  Aku : Sabar ya. Nanti aku bikin dua deh    

  Tiba-tiba terasa ada sesuatu yang dingin menempel di kepalaku, tepat di tempat yang terasa sakit karena terkena dagu Astro sesaat lalu. Aah ... bagaimana dengan dagunya?    

  "Pegang." terdengar suara Astro memintaku mengambil alih kaleng dingin yang sedang membantu rasa sakit di kepalaku perlahan reda.    

  Aku memegangnya dengan hati-hati. Aku ingat tadi dia menahan diri untuk tak menyentuh kepalaku. Aku tak ingin dianggap sengaja menyentuhnya kali ini.    

  "Kwetiaunya ya, Den." ujar pak Bagas yang sedang membantu Astro membawa dua porsi kwetiau pesanan kami.    

  "Makasih, Pak." ujarku. Aku merasa sungkan jika sampai dibantu mengantar seperti ini karena biasanya kami akan membawa makanan kami masing-masing.    

  "Ga pa-pa. Den Astro tangannya ga muat kalau bawa semuanya." ujar pak Bagas. Saat itu aku baru menyadari Astro baru saja menaruh dua gelas es semangka ke atas meja. "Mari, Den, Mbak Faza."    

  "Makasih, Pak." ujarku saat pak Bagas beranjak pergi.    

  Saat itu aku menyadari di meja kami sudah ada dua porsi kwetiau pedas, dua gelas es semangka dan satu kaleng minuman isotonik yang sudah terbuka. Sepertinya kaleng isotonikyang sudah terbuka itu adalah milik Astro.    

  "Coba liat siapa yang bilang jangan makan makanan pedes sering-sering?" ujarku yang berusaha memprotes kalimat Astro beberapa saat lalu.    

  "Ga ada waktu buat pesen yang lain, keburu masuk kelas." ujarnya yang mulai mengunyah makanannya.    

  Alasan yang akan cukup masuk akal bagi siapapun yang mendengarnya, tapi aku tahu Astro memang menyukai kwetiau pedas itu. Coba lihat bagaimana dia memakannya dengan begitu lahap.    

  =======    

  Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-, readers..    

  Kalian bisa add akun FB ku : iamno    

  Atau follow akun IG @nouveliezte    

  Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..    

  Btw, kalian bisa panggil aku -nou-


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.