Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

ExtraPart [53]



ExtraPart [53]

3Astro bangkit dan mencoba mengamit tangan Ibu, tapi Ibu menepisnya. Entah apa yang harus kulakukan di situasi ini. Aku bahkan tiba-tiba tak sanggup bergerak dari tempat tidur pasien karena merasa sesak.     

"Kamu sama sekali ga kasihan sama tante (oma)? Bertahun-tahun tante nyari kamu. Berharap kamu masih ...."     

Aku berusaha menggapai tangan Ibu yang terkulai walau hanya sanggup memegang jari kelingkingnya, "Bu, Faza yakin kok Oma tau. Oma cuma tetep diem karena udah berhenti berharap."     

Ibu menoleh padaku dan seperti ingin mengatakan sesuatu walau tak mampu mengatakan apapun pada akhirnya. Air matanya terus mengalir dengan tatapan sangat kesal.     

Bunda menatapku penuh perhitungan, "Bunda ga pernah ngaku ke oma. Oma ga mungkin tau."     

Aku menghirup napas dalam-dalam, "Oma kan yang ngelahirin Bunda. Mana mungkin Oma ga tau?"     

Bunda terlihat terguncang walau mampu menguasai diri dengan baik, "Ga mungkin."     

Aku menghembuskan napas perlahan, "Ibu akhirnya tau Bunda dari mana?"     

"Tahi lalat di belakang telinga." ujar Ibu dengan suara tercekat. "Ana punya dua tahi lalat kecil di belakang telinga kiri. Pas di lipatan, jadi hampir ga keliatan. Ibu tau karena dulu kita sering tukeran anting."     

Bunda menoleh pada Ibu dengan tatapan terkejut, "Oh, ya?"     

"Selama di sini aku ga pernah liat kamu ikat rambut, tapi tadi aku liat tahi lalat itu waktu kamu rapihin rambut jadi aku langsung tarik kamu balik ke sini."     

Aah ....     

Aku menarik napas panjang sambil berusaha menarik Ibu mendekat padaku dan memintanya duduk di kursi yang tadi diduduki Astro, "Opa udah lama tau Bunda masih hidup dan sengaja ga pernah dateng buat nemuin karena Abidzar ada janji mau terus ganggu hidup Bunda. Opa sengaja ga ngasih tau Oma karena ga mau Oma kepikiran."     

Ibu menatapku dengan pupil bergetar, "Opa ...?"     

Aku mengangguk sambil melepas tangan Ibu untuk mengelus perutku karena janinku merangsek turun, "Kayaknya Opa tau waktu main catur sama Zen. Faza ga tau kapan waktu pastinya, tapi kemungkinan Zen juga ga nyadar kalau dia bocorin informasi penting soal Bunda. Itu sebabnya Opa punya proyek pembangunan rumah sakit sama Papa Zen. Buat balas budi."     

"Balas budi?" Ibu bertanya dengan tatapan tak percaya.     

"Keluarga Zen yang bantu aku selama ini. Aku udah dianggap saudara sendiri. Dulu aku sempet amnesia, tapi ga lama inget lagi setelah ada anak yang dateng ke sentra manggil namaku." ujar Bunda.     

Aku memejamkan mata sambil menelan ludah untuk membasahi tenggorokanku. Entah bagaimana ekspresi Ibu saat ini. Aku sedang mencoba menahan rasa sakit karena janinku terus merangsek turun.     

"Maaf Astro ga kasih tau Ibu. Bukan karena Astro lebih mihak Bunda, tapi emang Bunda lebih baik pakai identitas baru." ujar Astro.     

"Tapi oma ...."     

Aku membuka mata dengan paksa, "Faza mohon, tetep rahasiain ini dari Oma. Abidzar emang udah ga ada, tapi kita ga tau ada siapa aja yang ngincer Bunda. Bunda lebih aman pakai identitas yang sekarang."     

Ibu menatap Bunda gamang dengan air mata yang terus mengalir, "Kamu bahagia?"     

Bunda tersenyum, "Kenapa harus sedih? Kita sebentar lagi nimang cucu."     

"Tapi dia ga mungkin manggil kamu 'nenek'."     

"Mungkin. Nanti aku minta dia manggil aku 'nenek'. Ya, kan?" ujar Bunda sambil menoleh ke arahku.     

Aku mengangguk tanpa mengatakan apapun. Sepertinya janin di perutku ini benar-benar tak sabar melihat dunia. Andai dia tahu dunia bisa menjadi sangat mengerikan untuknya, mungkin dia akan berharap tak pernah dilahirkan.     

Ibu menghentakkan kaki dengan kesal, "Jadi, gini aja? Aku harus ikut-ikutan jaga rahasia?"     

Aku dan Bunda saling bertatapan. Kami memang tak memiliki pilihan lain. Sepertinya pemain peran kami bertambah satu.     

Astro menghampiri Ibu dan memijat bahunya dari belakang, "Ibu anggap aja Tante Ana ini sahabat baru. Oma ga mungkin curiga. Lagian dari masih di Kanada dulu oma baik-baik aja di deket Bunda."     

Ibu menatap kami tak percaya, "Yang bener aja?"     

Aku membenahi posisi duduk ke arah samping sambil mengelus perut karena kontraksi mulai reda, "Kalau Ibu ga bisa jaga rahasia, semuanya bisa berantakan."     

Bibir Ibu terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu padaku, tapi kembali menutup. Ibu mengusap wajah dengan kedua tangan dan menggumam entah apa karena tak terdengar olehku.     

"Nanti Astro minta Kyle ngurus surat perjanjian buat Ibu." ujar Astro yang masih memijat bahu Ibu.     

Ibu menepuk tangan Astro yang berada di bahunya dan menatapnya tajam, "Berani-beraninya maksa Ibu bikin perjanjian?!"     

"Terpaksa. Mau gimana lagi?"     

"Kamu ...."     

"Tolong, Bu. Faza mohon." ujarku dengan suara lirih. Entah apakah Ibu mendengarnya, tapi Ibu menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti.     

Ibu menatap Bunda tajam, "Yakin mau begini?"     

Bunda mengangguk sambil duduk di tepi tempat tidur, lalu memijat kakiku perlahan, "Kalau ga ada yang sadar aku masih hidup, masalah kalian berkurang satu. Cucu kita hampir lahir. Lebih bagus buat dia kalau masalahnya juga berkurang satu."     

Hening di antara kami. Aku memejamkan mata karena merasa mengantuk sambil melihat jam di dinding, pukul 21.58. Tanganku terus mengelus perut sambil berusaha menajamkan pendengaran jika ada yang bicara. Namun napasku berubah lebih lambat dan dalam.     

Kelebatan di mataku berubah. Ayah mengusap kepalaku dengan senyum lebar, "Siapa nama cucu Ayah?"     

"Reagan, mungkin?" ujarku sambil mengusap perut yang bulat. Anehnya perutku terasa ringan.     

Ayah mengangguk sambil kembali melempar kail. Wajahnya berseri seolah dunia adalah miliknya.     

Tatapanku beralih ke sekeliling. Ini adalah dermaga yang sama yang kudatangi bertahun lalu saat bertemu dengan Ayah dan aku tahu ini hanya mimpi walau orang-orang lalu-lalang dan aroma laut yang kuat di sekitarku membuatnya terasa sangat nyata.     

Aku mengamit tangan Ayah dan menciumnya dengan air mata mengalir. Aku ingin berkata aku sudah bertemu Bunda, tapi mungkin Ayah sudah mengetahuinya, bukan?     

Ayah memeluk bahuku dan menyandarkan kepalaku di lengannya sambil mengusap air mataku dengan lengan. Aku terisak tanpa mampu mengatakan apapun. Aku sangat merasa bersalah karena pernah berpikir untuk menggugurkan calon bayi ini dan tak sanggup sekadar membuka suara untuk meminta maaf.     

Suara kapal yang akan berangkat berlayar menggema di telingaku. Aku menoleh untuk menatap Ayah dan mencoba mengingat segalanya; aromanya, hangat tubuhnya, juga tatapannya. Tak ada kata lain yang terucap di antara kami, yang terasa membekas saat aku membuka mata adalah kecupan Ayah di dahiku, bersamaan dengan kontraksi di perutku yang terasa menyakitkan.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senjarat -Twilight Connoisseurs-" ini TIDAK DICETAK. Tersedia EKSKLUSIF di website & aplikasi WEBNOVEL. Pertama kali diunggah online tanggal 2 Juli 2019 dan TAMAT tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVEL secara gratis, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN karena seharusnya chapter itu BERKOIN dan nou SANGAT TIDAK IKHLAS kalian baca di sana.     

SILAKAN KEMBALI ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi, dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung dengan nulis komentar & SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya.     

Banyak cinta untuk kalian, readers!     

-nouveliezte-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.