Hamparan
Hamparan
Axelle berkali-kali menggumam seorang diri seolah sedang membaca mantra agar tak turun hujan. Meteor yang kami tunggu datangnya masih berjam-jam ke depan, sebelum tengah malam.
Astro memelukku dan mengusap bahuku, "Dingin?"
Aku menggeleng dan menyandarkan kepala di bahunya. Bagaimana mungkin aku merasa kedinginan jika dia terus menempel padaku? Api unggun yang padam pun tak akan membuatku kedinginan karena dirinya selalu di sisiku.
Bertahun lalu jika kami sedang menjelajah, kami hanya akan saling duduk berhadapan. Ayah akan memainkan gitar dan Ibu menyanyi bersama kami. Kami tak berani saling menyentuh karena Ayah dan Ibu memberi peringatan tentang itu sejak kami beranjak remaja. Namun saat ini, Ayah tak repot-repot untuk sekadar memberi kami tatapan tajam karena kami sudah menikah.
"Coba ada Ibu ya." ujar Ayah tiba-tiba sambil merebahkan tubuh di tanah.
"Kasihan yang jomblo kalau Ibu ikut." ujar Astro.
Aku melirik pada Axelle. Dia sedang menoleh pada kami dengan rahang mengeras, sepertinya dia tersinggung.
"Sabar ya, Axe. Empat tahun lagi. Nanti Om temenin kamu ngelamar Mayang." ujar Ayah.
Astro tertawa, "Itu kalau Mayang mau sama kamu."
Aku mencubit pipi Astro untuk memberinya peringatan, tapi dia justru tertawa semakin kencang. Tawa yang lepas seolah sedang sengaja membuat bukit ini tak terlalu hening. Harus kuakui bukit ini terasa berbeda, seolah sedang ada entah siapa mengawasi kami di tengah kegelapan. Mungkin Om Chandra benar saat berkata area ini memang angker.
Axelle melempar Astro dengan sebuah batu kecil yang tepat mengenai kepala, "Berisik!"
"Aku serius. Kamu harus latihan lebih ramah kalau mau dapetin Mayang. Mayang mana mau sama es kutub kayak kamu." ujar Astro dengan senyum menggodanya yang biasa yang terlihat jelas di depan mataku walau sekitar kami gelap sekali.
Axelle menatap sinis pada kami walau segera mengalihkan tatapannya ke langit. Harus kuakui langit terlihat cantik. Bintang yang terlihat di sini jauh lebih banyak, walau aku yakin jika kami mendatangi tempat yang lebih terpencil mungkin kami akan mendapati hamparan bintang tak terbatas di atas kepala kami.
"Kalian udah bisa buka laptop sama hape peninggalan opa?" Ayah bertanya.
"Belum, Yah. Astro sibuk ujian seminggu kemarin. Faza juga sibuk karena ngurusin banyak kerjaan. Belum lagi yang chat kita banyak banget setelah opa meninggal. Kita belum sempet ngapa-ngapain laptop sama hape itu." ujar Astro.
"Mau Ayah bantu?"
"Ga usah. Nanti kita coba cari cara buka kalau udah pulang ke Surabaya."
"Axe jadi nempatin apartemen kan kalau kalian pindah?"
"Jadi." ujar Axelle yang hampir tak terdengar. Andai aku tak terbiasa dengan cara bicaranya yang cepat, mungkin aku hanya akan menganggapnya angin lalu.
Astro memberi tahu Axelle apa saja yang ada di sekitar apartemen. Tempat berbelanja bahan makanan, mal, juga taman dan kolam renang. Dari pembicaraan itu kurasa Axelle akan menyukainya karena dia memperlihatkan sedikit antusias walau sikapnya tetap dingin.
Kami membahas segala hal yang terjadi selama masa kecil Astro dan Axelle di dalam mansion setelah Nenek Pita meninggal. Mereka biasa menghabiskan waktu di sekitar hutan karet setelah pulang sekolah.
Ya. Axelle pernah bersekolah hingga kelas dua SD. Namun ada sebuah kejadian yang membuat Axelle menarik diri dari pergaulan sosial. Sayangnya tak ada seorang pun yang berniat membahasnya.
Saat Astro bertemu denganku yang menjalani pendidikan dengan sistem homeschooling, sebetulnya dia sudah terbiasa dengan sistem itu karena Axelle juga menggunakannya. Dia bahkan belajar mandiri dan hanya dibantu dengan berbagai literatur pendukung. Berbeda denganku yang masih menggunakan jasa seorang guru untuk membimbing proses belajarku.
Saat yang dinanti tiba dengan sebuah isyarat oleh Axelle pada kami. Dia mulai berbaring di tanah agar bisa melihat hujan meteor dengan leluasa, lalu menunjuk ke satu arah.
"Hujan meteor paling banyak muncul dari arah rasi Perseus, di sana. Di sebelah timur laut sampai utara." ujar Axelle setelah kami semua berbaring dan memperhatikan langit.
Kami terdiam hingga satu-persatu meteor datang dari arah yang ditunjuk oleh Axelle. Walau ada juga yang datang dari arah lain, tapi hujan meteor ini cantik sekali.
Aku menoleh pada Astro yang berbaring di sisiku dan mengecup pipinya sambil berbisik, "I love you."
Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa dan membalas kecupanku sambil berbisik, "I love you too."
Tiba-tiba terdengar suara benturan keras di telingaku. Aku dan Astro saling menatap sambil mendengarkan dengan lebih seksama, lalu terdengar benturan lain. Kami berdua bangkit dari tanah bersamaan dengan Ayah dan Axelle.
"Kalian denger?" Ayah bertanya.
Kami semua mengangguk dalam diam.
"Bawa ransel kalian. Biarin aja tendanya di sini. Kita ga punya banyak waktu." ujar Ayah yang langsung bangkit.
Kami menuruti instruksi Ayah dan mengamit ransel kami dari tanah, lalu memakainya. Kami berlari menuruni bukit untuk kembali ke mobil yang terparkir di ujung jalan.
Sepanjang perjalanan dari bukit kami mendengar suara gaduh dan beberapa kali suara tembakan. Kami mencoba berkomunikasi dengan Ibu dan Om Chandra yang berada di penginapan, tapi tak ada jawaban dari mereka.
Jantungku berdetak kencang sekali. Aku bahkan sudah menyiapkan diri jika aku harus mengamit senapan yang kusembunyikan di belakang punggungku. Namun entah kenapa rasanya mobil ini lambat sekali sampai ke penginapan.
"Cepet, Axe!" ujarku karena tak sabar.
Axelle hanya melirikku dari spion tengah dan tersenyum dingin tanpa mengatakan apapun. Aku tahu rencananya melihat meteor berantakan karena di penginapan ada pengganggu, tapi seharusnya dia tahu di sana ada satu-satunya keluargaku yang terhubung darah denganku. Oma.
"Hati-hati, ada lima orang di halaman." ujar Om Chandra yang tiba-tiba terdengar di telingaku.
"Ibu sama Oma di lantai dua. Di kamar yang Astro tempatin." ujar Ibu dengan napas tersengal.
"Kalian kenapa? Ada siapa?" Ayah bertanya.
"Ibu ga tau. Ga ada orang yang Ibu kenal, tapi mereka bawa pistol. Kayaknya mereka terlatih."
"Oma?" aku bertanya.
"Oma sama Ibu. Kalian harus minta bantuan."
"Nia ngomong apa?" terdengar suara Oma yang samar di ujung sana, tapi suara Ibu tak terdengar lagi.
Saat aku menoleh pada Ayah, Ayah sudah menggenggam sebuah senapan di tangannya. Axelle pun sama, hingga aku tak perlu repot-repot bertanya apakah dia sudah memiliki lisensi atau belum.
Aku menoleh pada Astro. Dia terlihat sedang sangat waspada. Dia mengetik dengan sebelah tangan dan mengirimkan pesan itu ke Kakek, lalu mengecup puncak kepalaku.
Terdengar suara orang berteriak walau samar di telingaku. Sepertinya orang itu sedang memanggil kami ke luar dari persembunyian sambil membuat gaduh di penginapan, lalu terdengar sebuah tembakan dan teriakan perempuan. Teriakan Oma dan suara tertawa seorang laki-laki entah siapa.
Kami saling menoleh dengan waspada, tepat saat sebuah tembakan lain terdengar nyaring di telingaku. Aku mengamit senapan dari belakang punggung dan menggenggamnya. Persetan dengan lisensi. Aku akan menembak siapapun yang berniat melukai keluargaku.
=======
NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING, di google play kalian masing-masing karena dia udah MALING novel ini.
TUTORIAL LAPORANNYA BISA KALIAN LIAT DI AKUN FESBUK: NOU. Thank you atas bantuannya ♡
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Kalau kalian mau baca novel nou yang lain, bisa follow akun Wattpad @iamnouveliezte
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-