Terbelalak
Terbelalak
Astro berusaha menyamakan langkah kakiku, sementara Om Chandra berusaha mengejar Abidzar lebih cepat. Kami berkejaran di tengah hawa dingin dan berpuluh pohon di hutan keramat ini.
Abidzar masih memegangi bahunya yang terkena luka tembak dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya terkulai tak berdaya sambil mengucurkan darah ke tanah seolah sedang sengaja memberi jejak padaku untuk mengikutinya.
Entah berapa lama kami berlari melewati hutan. Napasku tersengal saat Abidzar akhirnya berhenti di tepi jurang. Aku mengarahkan senapanku padanya saat dia berbalik dan menatapku.
"Harusnya kamu mati delapan tahun lalu!" teriak Abidzar.
"Oh bagus, kan, aku masih hidup sampai sekarang. Aku jadi punya kesempatan balas dendam keluargaku!"
Astro mengamit tangan kiriku yang bebas dan mendesis tepat di telingaku, "Kamu ga serius mau bunuh dia, kan?"
"Aku serius, Astro! Orang ini udah bunuh keluargaku!" teriakku sambil membidik dan menembakkan peluru yang mengenai pergelangan kaki Abidzar hingga dia terjatuh. "Gimana rasanya jadi buruan? Anak sial*n ini ga akan biarin anda hidup lebih lama!"
"Faza! Denger!" Astro berteriak dan membuatku menoleh padanya. "Kita mau pindah sebentar lagi!"
"Dan akan ada orang yang beresin mayatnya nanti." ujarku dengan nada lambat dan intonasi kuat sambil menoleh pada Om Chandra.
Om Chandra mengangguk padaku dan Astro, "Serahin itu ke Om."
Aku tersenyum lebar sambil menatap Abidzar yang kesakitan dan terpuruk di tepi sana dan mengulang pertanyaanku, "Anda mau anak sial*n ini nembak kepala atau jantung? Mau pakai pistolku atau pistol anda sendiri? Tapi sebelumnya, apa bener bundaku masih hidup?"
Abidzar meludah di tanah dan menatapku dengan tatapan nyalang, "Apa peduli kamu anak sial*n? Ana udah hilang bertahun-tahun dan baru sekarang kamu nyari dia?!"
"KARENA ITU BUNDAKU!" teriakku sambil menembak tanah tepat di depan kaki Abidzar. Aku memang sengaja menembak ke arah itu hanya untuk memberinya peringatan. "JAWAB! Apa bundaku masih hidup? Kalian sekap di mana bundaku sebelum kabur?"
"Buat apa kamu nanya di mana Ana di sekap? Ana ga keliatan lagi di manapun setelah kabur! Harusnya kamu pakai sumber daya warisan kakek kamu buat nyari Ana!!"
Abidzar benar dan ini menyebalkan. Namun tak ada seorang pun yang tahu di mana bundaku berada kecuali Opa. Aku menahan napas dan menghembuskannya perlahan, lalu mengencangkan peganganku pada senapan dan membidik kepala Abidzar.
"Bisa kamu kasih satu permintaan terakhir buat orang yang mau mati?" Abidzar bertanya dengan senyum dipaksakan.
Aku mendengus, "Apa anda ngasih kesempatan ke Ayah dan dua adikku buat ngucapin satu permintaan sebelum mereka jatuh ke sungai? Jangan ngarep sesuatu yang ga bisa anda kasih ke orang lain, dasar brengs*k!!"
Abidzar membeku dengan mata terbelalak sebelum rubuh ke belakang. Tepat ke tepi jurang dan tubuhnya menghilang karena terjatuh. Pemandangan ini terjadi di depan mataku dengan gerakan lambat sebelum aku sempat menembaknya.
Om Chandra menghampiri tepi jurang dan menundukkan kepala untuk mencari keberadaan Abidzar sebelum menoleh padaku, "Dia pasti mati dari ketinggian ini, tapi ga keliatan dari sini. Gelap."
Aku masih menatapi tanah tempat Abidzar terpuruk beberapa saat lalu dan mengerjapkan mata beberapa kali sambil mengutuk diriku sendiri. Aku gagal membunuhnya.
Astro memelukku dari samping dan memegang wajahku untuk menatapnya, "Udah cukup."
Aku menatapnya dalam diam sambil menurunkan senapan. Aku tak tahu harus bagaimana menanggapinya karena aku tahu dia sudah melarangku membunuh Abidzar sejak awal. Aku hanya begitu marah hingga tak mempedulikan apapun selain membalas dendam.
"Cukup, Honey. Ayo pulang." ujar Astro sambil menggiringku menjauh.
Aku menoleh kembali ke tepi jurang dan mengedarkan pandangan sambil mengikuti langkah kaki Astro. Aku yakin sekali terjadi sesuatu pada Abidzar sebelum dia jatuh ke jurang karena matanya terbelalak. Seolah ada sesuatu yang mengenainya yang membuatnya tak mampu bergerak sebelum tumbang.
"Kalian duluan. Pegang pistol kalian baik-baik dan jangan cerita apapun tentang Abidzar, bilang aja kita kehilangan jejak." ujar Om Chandra sambil mengamit handphone dari saku.
Aku bisa mendengar Om Chandra bicara dengan entah siapa melalui handphone saat Astro mengajakku kembali. Aroma darah di tanah menjadi petunjuk bagi kami untuk kembali ke tempat semua orang berkumpul.
Angin selimir yang sejak tadi tak kusadari keberadaannya kini membelai tubuhku, seolah sedang memberikan penghiburan bahwa yang kulakukan tidak sia-sia. Setidaknya Abidzar mungkin sudah benar-benar meninggal karena terjatuh di tebing itu, walau bukan karena aku.
Astro mengelus puncak kepalaku dan mengecupnya. Dia tak mengatakan apapun, begitupun denganku. Kami hanya berjalan dalam diam. Mungkin kami sedang berkutat dengan pikiran kami masing-masing atau terlalu lelah untuk membahas apapun. Aku tak tahu yang mana, tapi ada sesuatu yang mengganjal di dadaku dan yang terbayang di pikiranku adalah Bunda.
Sekarang aku yakin sekali bundaku masih hidup. Namun jika orang-orang kepercayaan Opa dan orang-orang Abidzar tak mampu menemukannya, lalu ke mana aku harus mencari bundaku saat ini? Ini terasa seperti sebuah jalan buntu yang lain. Lagi.
Saat kami sampai di tempat semua orang berkumpul, sudah ada lebih dari setengah lusin orang terikat termasuk Donny, kakeknya, dan orang yang dua minggu lalu memintaku diserahkan padanya. Aku menghampiri mereka dan mengabaikan Ibu yang berlari ke arahku.
Aku mengacungkan senapanku pada orang yang dua minggu lalu memintaku diserahkan padanya, "Kamu siapa? Aku tau kamu orang yang nungguin aku di tengah hutan dua minggu lalu."
Dia menatapku dengan tatapan jijik yang sama dengan yang Abidzar berikan padaku. Namun dia tak mengatakan apapun.
"JAWAB!"
"Papanya Gon." ujarnya dengan tatapan nyalang.
Aku memukul wajahnya menggunakan senapan di tanganku. Saat aku menarik tanganku kembali, dia sudah terkulai lemah dengan hidung mengeluarkan darah. Sepertinya dia pingsan.
"Udah, Faza. Udah." ujar Ibu sambil memelukku dan menarikku mundur, lalu Astro memelukku erat dan mengajakku menjauh dari kumpulan orang-orang tangkapan itu.
Kami berjalan menuju sebuah mobil yang terparkir di tepi jalan beraspal. Mobil ini adalah mobil yang dipakai oleh Jian beberapa saat lalu. Sudah ada Eboth yang duduk sebagai pengendara di belakang kemudi.
"Berangkat sekarang?" Eboth bertanya setelah Astro, aku dan Ibu duduk di jok tengah. Sedangkan Ayah duduk di depan, tepat di samping kemudi. Ayah hanya mengangguk dan mobil melaju kencang menembus jalanan beraspal di tengah hutan.
"Kalian berhasil ngejar Abidzar?" Ayah bertanya.
Astro menoleh padaku dan menggeleng, "Dia kabur."
"Chandra di mana?" Ibu bertanya.
"Masih penasaran sama Abidzar. Om Chandra minta kita balik duluan." ujar Astro dengan lancar. Begitu lihainya laki-laki ini berpura-pura bahkan pada orang tuanya sendiri.
Ibu menghela napas lega dan memegangi wajahku dengan kedua tangannya, "Faza udah aman sekarang."
Aku menggeleng, "Gimana Oma?"
Ibu menatapku dilema hingga menatap Ayah sebelum menatapku kembali, "Oma di rumah sakit Lusi. Faza bisa ketemu oma nanti. Kita ga bisa bawa kalian ke rumah sakit kalau kalian keliatan begini. Orang-orang bisa curiga."
=======
NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING, di google play kalian masing-masing karena dia udah MALING novel ini.
TUTORIAL LAPORANNYA BISA KALIAN LIAT DI AKUN FESBUK: NOU. Thank you atas bantuannya ♡
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Kalau kalian mau baca novel nou yang lain, bisa follow akun Wattpad @iamnouveliezte
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-