Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Ruang Ganti



Ruang Ganti

0"Kamu yakin ga mau siapin keperluan kamu ke Aussie? Kamu bisa pulang duluan." aku bertanya pada Kyle saat kami memasuki area parkiran sebuah penyewaan lapangan olahraga.     

Astro sudah menyewa dan membayar satu lapangan basket indoor untuk sparringnya bersama Zen. Dia melakukannya untuk memastikan aku menciumnya di depan Zen dan mamanya tanpa membuatku merasa gugup jika ada orang asing.     

Di rumah Denada tadi, aku dan Mayang membantu Denada mengepak semua keperluannya selama lima hari ke dalam satu koper. Aku tahu jika Mayang merasa ada sesuatu yang terjadi yang sedang kusembunyikan karena menatapku berkali-kali tanpa mengatakan apapun. Aku hanya berpura-pura tidak menyadarinya.     

Astro dan Kyle berbincang dengan mama Denada selama aku dan Mayang membantu Denada. Entah mereka membahas apa.     

"Kyle bisa siapin itu nanti setelah nemenin kalian pulang ke Surabaya. Nona ga perlu khawatir." ujar Kyle dengan senyum menawan di bibirnya.     

Aku menoleh untuk menatap Astro saat mobil kami sudah terparkir untuk meneliti ekspresinya. Namun aku justru menatap keluar jendela di sebelah Astro. Ada mobil Zen yang sudah terparkir di sebelah kami. Sepertinya dia sudah datang lebih dulu.     

Astro mengecup bibirku, "Aku cemburu kamu liatin mobil dia, kamu tau?"     

Aah laki-laki ini benar-benar....     

Aku menghela napas, "Cepet turun. Udah ditungguin."     

"I can't wait (Aku ga sabar)."     

Kurasa aku tahu apa maksudnya. Astro memang menantikan momen aku menciumnya di depan Zen untuk membuat Zen patah hati. Aku hanya berharap dia tak akan terlalu bertingkah nanti.     

Aku mendorong bahunya menuju pintu untuk memaksanya keluar, "Cepet ih. Ga sopan bikin orang nunggu."     

"Cium aku dulu." ujarnya yang bergeming di tempatnya.     

Aku menatapnya dengan tatapan kesal dan mengecup bibirnya, "Udah. Cepet keluar."     

Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, lalu mengamit tanganku dan mengajakku turun. Dia mengajakku berjalan ke bagasi untuk mengambil sebuah tas berisi pakaian dan sepatu.     

Kyle mengunci mobil da mengikuti kami di belakang. Dia bersikap seolah tak melihat aku dan Astro baru saja berciuman. Sepertinya dia juga tak akan memberi tahu opa tentang hal itu. Kyle memang pernah berkata kami tak boleh terlalu mesra di area publik, tapi entah bagaimana sepertinya dia berubah pikiran.     

Kami berjalan melewati beberapa lapangan futsal dan volley sebelum sampai di lapangan indoor basket yang sudah disewa oleh Astro. Jantungku berdetak kencang saat melihat Zen, mamanya dan Reno sedang berbincang di salah satu sudut kursi penonton. Zen sudah memakai kaos dan celana basket berwarna biru laut, sepertinya dia sudah siap memulai sesi sparringnya bersama Astro.     

Aku hampir saja menghentikan langkah, tapi genggaman tangan Astro menarikku untuk mengikutinya. Aku bisa melihat ketiga orang yang kami tuju menunggu kami sampai di sisi mereka.     

Astro menoleh padaku dengan tatapan tajam walau ada seulas senyum di bibirnya, "Jangan coba-coba kabur, Honey. Aku ga akan maafin kamu kalau kamu ga tepatin janji kamu."     

Astro membuatku takut hingga aku tak sanggup mengatakan apapun.     

Astro menyalami dan mencium tangan mama Zen saat kami sampai di sisi mereka, lalu melepas genggaman tangannya dan segera memeluk pinggangku tepat sesaat setelahnya. Sepertinya dia sengaja menahanku tetap di sisinya agar mama Zen tak bisa memelukku saat aku menyalaminya. Dia bahkan tersenyum lebar saat menyalami Zen dan Reno, benar-benar membuat mereka menjaga jarak dariku dan hanya memberi sedikit anggukan kepala padaku.     

"Ngapain kamu di sini?" aku bertanya pada Reno setelah menyalami mama Zen. Mama Zen melepas ganggaman tangan kami dengan canggung karena Astro tak membiarkanku lepas darinya.     

"Jadi wasit buat mereka." ujar Reno.     

Aku mengangguk mengerti walau ada sensasi berputar di perutku saat membayangkan Reno juga harus melihatku mencium Astro. Ini benar-benar terasa memalukan.     

"Aku ganti baju dulu ya." ujar Astro yang langsung berbalik sambil membawaku bersamanya menuju ruang ganti.     

"Ngapain aku ikut?" aku bertanya dengan suara pelan. Aku berharap tak ada seorang pun yang mendengar kalimatku selain kami berdua.     

Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Aku ga akan biarin kamu sendirian di sana. Lagian kamu bisa bantu aku ganti baju."     

"Seriously?"     

Astro hanya mengangguk dengan mantap, yang justru membuatku lebih waspada padanya. Aku tahu dia akan bertingkah sangat menyebalkan jika suasana hatinya berubah menjadi buruk.     

Tak ada orang lain di dalam ruang ganti selain kami, tapi Astro membawaku masuk ke salah satu kubikal. Dia mulai melepas pakaiannya di depanku dengan sengaja dan memberiku isyarat untuk membantunya mengambil pakaian ganti di tas.     

Astro menyodorkan handphone dan dompetnya yang diambil dari kantong celananya padaku. Aku memasukkan handphone dan dompetnya ke saku jaketnya, lalu memakainya di tubuhku.     

Aku membuka tas, lalu menyodorkan sepasang kaos tanpa lengan dan celana sepanjang lutut berbahan paragon yang berwarna maroon padanya. Aku melipat pakaian yang tadi dia pakai dan menyimpannya ke tas, lalu menyodorkan sepatu basket padanya dan menyimpan sepatu kets yang tadi dia pakai ke dalam tas.     

Aku mengecup bibirnya setelah dia memakai sepatu basketnya, "Awas kamu kalau kalah."     

"Kamu harusnya nyium aku di depan Zen, Honey. Bukan di sini, yapi aku rela kok dihukum manjain kamu kalau aku kalah." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa      

Aku memberinya tatapan sebal, "Kamu harus besihin rumah seminggu kalau kamu kalah."     

"Fine." ujarnya sambil mengelus bibirku. Lalu mengamit tanganku menuju keluar ruang ganti, dengan tas di tangannya yang lain.     

Mama Zen mengelus bahuku saat Astro melepasku untuk duduk di sampingnya, tapi lagi-lagi, Astro bersikap begitu defensif dengan memelukku di perutnya dan mengelus puncak kepalaku.     

"Aku pemanasan dulu." ujarnya sambil mengecup puncak kepalaku. "Aku titip tas ya, Honey"     

Aku hanya sanggup mengangguk dengan jantung berdetak kencang. Bagaimana aku bisa menciumnya di depan Zen dan mamanya jika dikecup olehnya saja aku sudah merasa sangat malu?     

Astro menyusul Zen yang sedang melakukan pemanasan di tepi lapangan. Reno sudah siap dengan sebuah buku kecil dan bola basket di tangannya, juga sebuah peluit yang tergantung di lehernya.      

Mereka terlihat berbincang, tapi tak terdengar olehku apa yang mereka bicarakan. Namun aku bisa melihat dengan jelas raut wajah Astro yang berseri, sangat kontras dengan Zen yang terlihat dingin.     

Aku memberanikan diri untuk menoleh ke arah mama Zen. Ada senyum pengertian di bibirnya yang membuatku semakin merasa buruk dengan diriku sendiri. Apa yang harus kukatakan padanya untuk mencairkan suasana?     

"Mama boleh peluk?"     

Aku tersenyum dan mengangguk. Aku tahu pelukan ini terasa canggung sekali, tapi aku menghargai usaha mama Zen untuk tetap bersikap ramah walau Astro jelas-jelas bersikap defensif sesaat lalu.     

"Faza udah terima titipan Liana?"     

"Udah, Ma. Makasih banyak, Faza lupa mau ngabarin kak Liana kalau boneka kangurunya udah Faza terima. Faza chat dulu deh." ujarku sambil mengeluarkan handphone dari saku.     

Mama Zen menahan lenganku, "Nanti aja. Ga pa-pa kok. Kita nonton sparring sambil ngobrol aja sekarang."     

Aku mengangguk dan meletakkan handphone kembali ke saku sambil berpikir, apakah mama Zen mengetahui tentang alat perekam yang disembunyikan di dalam boneka kanguru pemberian kak Liana? Namun auh di dalam hatiku, aku berharap mama Zen tidak mengetahui tentang alat perekam itu.     

"Faza betah di Surabaya?"     

"Betah, Ma."     

"Udah jalan-jalan ke mana aja?"     

"Masih sekitaran apartemen aja sih, Ma. Belum jalan-jalan jauh soalnya kerjaan Faza sama Astro lumayan banyak." ujarku sambil memperhatikan Astro yang sedang berlari keliling lapangan.     

"Iya sih. Faza kan sibuk ngurusin macem-macem ya? Jangan telat makan ya. Surabaya kan jauh. Kalau sakit nanti ga ada yang bantu jagain Faza."     

Aku tersenyum, "Ada Astro kok, Ma. Astro pasti tau harus gimana kalau Faza sakit. Dia jago masak juga. Nasakannya lebih enak dibanding Faza. Jadi Faza ga khawatir."     

Aku menoleh ke arah mama Zen saat aku selesai mengatakannya. Ada kesedihan yang berusaha disembunyikan walau bibirnya tersenyum. Aku hanya berusaha terlihat tak menyadari perasaannya dengan mengalihkan tatapanku kembali ke Astro. Sepertinya aku baru saja menggoreskan luka.     

=======     

Semoga readers selalu sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-     

Kalian bisa add akun FB ku : iamno     

Atau follow akun IG @nouveliezte     

Akan ada banyak spoiler bertebaran di dua akun di atas, jadi kalian bisa follow aku di sana yaa..     

Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, kasih rank di setiap chapter, tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini yaa.. Luv u all..     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.