Bundar
Bundar
"Aman Kyle. Kita lagi jalan ke rumah sakit. Hmm, okay." ujar Jian yang segera menoleh pada kami dan menaruh handphone kembali ke saku. "Di sana aman."
Sesuatu di dalam dadaku bergolak dan membuat bibirku bergerak dengan sendirinya, "Ga ada yang ... mati kan?"
Jian menggeleng, "Cuma luka tembak. Yang luka udah diangkut ke beberapa rumah sakit yang beda."
Kelegaan luar biasa menjalar di setiap aliran darahku. Donny selamat. Entah kenapa aku bersyukur. Selama ini aku tak pernah benar-benar menyukainya, tapi sikapnya tadi membuatku berpikir mungkin saja dia memang sudah berubah. Aku akan menceritakan tentangnya pada Opa nanti.
Aku tahu Opa dan Kakek sudah mempersiapakan segala sesuatunya dengan baik. Kejadian ini tak akan muncul di media manapun kecuali hanya sebatas ledakan gedung dan mereka sudah menyiapkan skenario untuk itu. Aku hanya berharap tak ada satu tamu pun yang sempat menyadari ada sesuatu yang terjadi di antara kami dan Zenatta sebelum segala kerusuhan terjadi.
Astro mendekapku erat di dadanya, dengan bibirnya menempel di dahiku. Sepertinya dia benar-benar berniat tak akan melepasku.
"Ada yang mau jelasin ke aku, sebenernya ada apa?" akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya.
Aku tahu andai saja Om Neil tak menembakkan gas air mata lebih dulu, maka resepsi pernikahan kami tak akan seburuk ini. Aku bahkan tak yakin akan mendapatkan jawaban sekarang. Aku hanya ingin melepaskan rasa frustrasi karena sepertinya hanya aku yang tak mengetahui apa-apa.
Teana menatap Astro dan memberinya tatapan tajam sebelum memberiku tatapan yang lebih ramah, "Tunggu kakek yang jelasin ke kamu ya."
Aku menghela napas dan memejamkan mata. Entah kenapa rasanya lelah sekali, "Kalian tau apa hubungan Donny sama Zenatta?"
Tak ada yang menjawab, membuatku membuka mata dengan enggan. Teana dan Jian sedang menatapiku dengan tatapan khawatir hingga aku mendongak untuk menatap Astro. Mungkin dia tahu sesuatu.
"Kamu tau apa hubungannya Donny sama Zenatta?" aku bertanya pasa Astro.
"Om Neil punya kerja sama mebel sama Abidzar. Donny yang akan jadi penerus mebel papanya, jadi setauku Donny emang deket sama Om Neil. Tadi pagi Donny emang ngasih tau aku kalau Om Neil dateng belakangan. Kayaknya dia tau kalau mereka mau bikin gerakan. Sayangnya ... aku ga percaya sama dia. Aku minta maaf."
Aku menatapnya dalam diam. Kurasa akan percuma jika aku bertanya lebih dari ini karena semuanya pasti berhubungan dengan masalah antara keluarga Astro dan keluarga Zenatta. Aku menelan semua pertanyaan yang hampir terlontar. Aku tahu aku hanya harus bersabar sebentar lagi.
Perjalanan dari gedung ke rumah sakit milik Tante Lusi seharusnya hanya berjarak sekitar satu jam, tapi pengamanan mengarahkan pilihan rute memutar untuk menghilangkan jejak dan mengambil jalan perbukitan yang berkelok.
Dua setengah jam kami tempuh untuk sampai di rumah sakit. Dua setengah jam ini juga terasa lama sekali untukku. Bahkan aku bisa membayangkan suara detakan jarum jam menggema di telingaku dalam keheningan.
Saat kami sampai di depan rumah sakit, matahari sudah menggantung sangat rendah. Hanya aku, Astro dan Teana yang turun dari mobil. Mobil yang kami tumpangi pergi sesaat setelahnya.
"Tuan udah nunggu." ujar penjaga gerbang yang biasanya menunggui gerbang bambu menunggu di akses masuk rumah sakit. Penjaga itu tersenyum dan mengajak kami berjalan kaki menuju gerbang bambu.
Astro dan Teana mengangguk dan berjalan di kedua sisiku. Astro menggenggam tanganku dan mengelusnya perlahan. Penjaga gerbang membukakan gerbang rumah kamuflase saat kami sampai dan mempersilakan kami masuk.
Kami menyusuri deretan pohon karet yang mulai gelap dengan hati-hati. Cahaya jingga pekat yang menerobos masuk melalui batang-batang pohon karet mengingatkanku pada warna darah yang tumpah di aula resepsi. Aku selalu suka senja dan senja hari ini adalah senja paling buruk dalam hidupku.
Tak ada kehangatan yang kurasakan di dadaku saat ini. Yang ada hanyalah rasa kesal yang mungkin akan bisa meledak kapan saja. Aku bahkan mulai merasa takut pada diriku sendiri.
Bagaimana jika aku kehilangan kendali?
Cahaya lampu menghiasi mansion tua yang menjadi tempat tinggal Kakek. Astro mengelus jariku saat kami akan masuk.
Aku menoleh padanya dan menatapi raut wajahnya, "Nanti aku bisa nanya apa aja kan?"
Astro mengangguk dengan tatapan serius. Wajahnya terlihat jauh lebih baik. Matanya memperlihatkan warnanya yang biasa. Bahkan irama napasnya adalah iramanya yang biasa.
Teana mengarahkan kami ke ruang keluarga, lalu menggeser sebuah patung kucing di satu sudut yang memunculkan tangga menuju bawah tanah tepat di sebelahnya. Entah kenapa aku tak merasa terkejut melihatnya. Bahkan, aku memang sudah memperkirakan hal ini akan terjadi.
Teana menatapku untuk meneliti ekspresiku sebelum melangkah menuruni tangga dalam diam. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan tentangku. Aku bersyukur karena kami tak menghabiskan waktu dengan membicarakan yang tak perlu.
Ada banyak foto dan lukisan berderet di sepanjang dinding di samping tangga. Aku mengenali beberapa di antaranya adalah keluarga Astro. Mungkinkah ini adalah wajah-wajah keluarga sebelum generasi Kakek Arya? Banyak foto dan lukisan yang terlihat sudah sangat tua. Mungkin lebih dari seratus tahun?
Suasana di sini lebih gelap, tapi cukup terang untukku bisa melihat semua sudut dengan jelas. Ada deretan rak buku di setiap sisi dinding dengan buku memenuhi setiap raknya. Juga empat kursi kayu panjang berbentuk seperempat lingkaran di tengah ruangan, dengan sebuah meja bundar di tengahnya.
Ruangan ini mengingatkanku pada perpustakaan di galeri Om Hanum, hanya saja ukurannya jauh lebih besar. Ada Kakek, Ayah, Ibu, Ray dan kedua orang tuanya, juga orang tua Teana yang sudah duduk berkeliling.
Teana berlari kecil menghampiri kedua orang tuanya dan memeluk mereka erat dengan tatapan khawatir walau tak mengatakan apapun. Kemudian mengambil duduk di antara keduanya.
Astro mengajakku menyalami dan mencium tangan semua orang. Kemudian mengajakku duduk di sisi kursi yang kosong, tepat di sebelah Kakek.
Aku memperhatikan keadaan semua orang. Lengan kiri Ayah diperban, dengan beberapa bagian wajah lebam. Ibu terlihat lelah sekali walau aku tak melihat ada luka di tubuhnya. Om Ganesh yang biasanya tegap, sekarang terlihat mungkin akan sanggup tidur kapan saja. Untunglah Kakek, kedua orang tua Teana dan Tante Olla (Mama Ray) baik-baik saja.
"Astro minta maaf. Tadi Donny udah ngasih tau kalau Om Neil dateng belakangan, tapi Astro ga percaya." ujar Astro memecah keheningan.
Mereka semua terlihat terkejut dan menatapku dengan tatapan khawatir, tapi tetap diam. Sepertinya kami memang menunggu Kakek bicara.
Kakek menatapku penuh pertimbangan, "Kakek mita maaf harus ada kejadian seperti tadi di acara sakral kalian. Bisa kasih Kakek waktu untuk bahas cerita lama?"
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini TIDAK DICETAK. Tersedia EKSKLUSI.F di aplikasi W.EBNOVEL. Pertama kali diunggah online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung dengan nulis komentar & SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya.
Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-