Gatal Karena Getah
Gatal Karena Getah
"Kapan mereka akan datang, sih? Atau mereka berbohong padaku? Tapi tidak masalah. Aku hanya perlu mencabuti rumput-rumput di sini, kan? Apa mungkin mereka juga akan mencabuti rumput-rumput ini? Heh, orang kaya, ngapain repot-repot cabutin rumput? Kan bisa nyuruh orang," beber Usman.
Ia menengok ke kanan dan ke kiri akhirnya melihat dua orang yang ditunggu. Mereka terlihat memakai perlengkapan tidak sepertinya yang memakai celana pendek dan kaos saja. Sebenarnya Usman juga tidak tahan dengan beberapa jenis tanaman yang membuat gatal. Kadang akan muncul ruam di kulit karena ia tidak tahan untuk menggaruk badannya yang terasa gatal.
"Tuh, anak itu sudah rajin mencabuti rumput. Bukankah anak itu cukup rajin, Sayang?" ujar Rinto, bertanya pada istrinya yang ia gandeng. Ia memegang bahu sang istri dan berjalan bersama.
"Eh, itu biasa saja, Mas. Tapi kenapa dia hanya pakai kaos saja, yah? Itu kenapa hanya pakai celana pendek? Nanti kalau gatal-gatal, bagaimana? Dasar anak itu sangat ceroboh," keluh Menik. Ia menggelengkan kepalanya melihat Usman yang berpakaian terbuka.
Bukan karena pakaian Usman pendek yang membuat Menik marah. Ia tidak habis pikir dengan anak itu. Bagaimana kalau nanti gatal-gatal kulitnya karena bersentuhan dengan beberapa jenis tanaman yang bisa membuat gatal? Seperti getah pohon kamboja atau kadang ada rumput liar yang tumbuh. Bentuknya seperti tanaman bandotan. Itu bisa membuat gatal di kulit. Juga kadang ada ulat bulu yang berseliweran di daun.
"Lah, jangan kamu anggap Usman orang yang lemah. Dia kan laki-laki, pasti tidak akan gatal-gatal, lah. Kamu terlalu khawatir seperti itu. Dan untuk berpakaian seperti itu, kelihatannya cukup nyaman. Agak susah kalau kita pakai pakaian seperti astronot ini. Kalau di desa, orang berkebun bahkan sampai kotor dengan lumpur. Di sini kan tidak ada lumpur. Kalaupun ada, akan senang jika bermain lumpur."
"Kita ini sudah tua, Mas. Masa masih saja main lumpur. Kalau sudah tua, kita main yang lain. Main gundu, kek. Mau main di ranjang atau berenang. Nah, kamu malah mau main lumpur. Itu kan kotor, Mas." Menik cemberut karena suaminya. Ia tidak ingin membayangkan ataupun melakukan hal seperti itu. Jelas-jelas tubuhnya akan gatal-gatal karena hal itu.
"Iya, aku tahu kalau itu. Ya sudah, kita ke Usman dulu, yuk. Hari ini kita bebas mau ngapain saja. Kamu mau menanam tanaman buah atau biji bunga atau apapun itu. Ini harimu, Sayang." Rinto mengusap rambut Menik dan mereka datang ke arah di mana Usman berada.
"Iihh, kamu malah pakai celana pendek! Nanti kalau kamu gatal-gatal, bagaimana? Kamu minta pakaian ke bik Maemunah, sana! Kalau mau berenang, tidak apa-apa, pakai pakaian seperti itu juga boleh. Tapi di taman ini banyak ulatnya bulunya. Tanaman di sini juga banyak yang bisa bikin gatal!" maki Menik dengan berkacak pinggang.
"Sudahlah ... dia juga tidak akan gatal-gatal. Itu kamu saja yang terlalu khawatir. Kamu lihat aku, aku juga sering di sini tapi tidak merasa gatal. Usman juga pasti sama denganku. Apalagi dia datangnya dari desa. Iya kan, Usman?" Rinto ingin istrinya tidak terlalu khawatir tentang anak muda di depannya. Kekhawatiran yang berlebihan juga membuatbya merasa aneh. Tapi ia tahu mungkin itu adalah insting seorang ibu yang merasa khawatir. Walau itu bukan anaknya, tetap Usman masih seorang anak bagi mereka.
"Kamu kenapa terus membantah, Mas? Ya sudah, kalau nanti terjadi apa-apa dengan anak ini, aku tidak akan membantu, yah. Biar kamu saja yang mengurusnya. Aku juga sudah memperingatkan pada kalian. Ya sudah, kamu bisa memanjat atau tidak?"
"Eng ... enggak bisa sebenarnya, Bu. Tapi kalau untuk pohon yang rendah, mungkin bisa. Memangnya ada apa, Bu? Apa ada yang bisa aku kerjakan?"
"Kamu panjat pohon kamboja. Karena saya ingin memperbanyak pohon itu. Tapi kamu ambil peralatan dulu di gudang. Kamu bisa berkebun, kan? Saya mau kamu potong beberapa ranting pohon itu," tunjuk Menik ke arah tangkai pohon kamboja.
"Iya, nanti saya akan ambil peralatan dulu ya, Bu. Permisi ..." pamit Usman. Ia membungkukan badannya karena melewati kedua orang itu. Segera Usman menuju ke tempat yang ditunjuk oleh nyonya majikannya.
Sementara Rinto masih tidak percaya. Ia sudah diberitahu oleh semua pekerja di rumah yang mengatakan tentang kecerobohan Usman. Tidak tahu nanti aka yang akan diambil. Apakah itu gergaji atau apapun itu. Dilihat dari cabutan rumput, ia menyadari kalau memang terlihat jelas tentang kecerobohan Usman.
Benar-benar di luar pemikiran Usman. Setelah sampai di gudang, ia melihat berbagai alat. Mulai dari gunting yang berukuran besar, cangkul dan arit. Serta ada tali rafia dan barang-barang lainnya. Usman mengambil parang yang memiliki sarung. Karena akan memotong pohon, ia memilih parang untuk bisa digunakan memotong ranting.
"Tuh anak. Kenapa hanya membawa parang saja? Apakah dia tidak berpikir untuk membawa peralatan lainnya? Ya sudahlah ... kita lihat baik-baik. Semoga kita bisa mengandalkan anak bodoh itu." Menik mengatai Usman bodoh. Tetapi tidak rela sendiri ketika mengatakan itu.
"Kamu sudah ambil parangnya? Sekarang kamu potong sesuai perintahku!" ujar Menik. Dengan segera, ia menyuruh anak muda tersebut. "Kamu bisa panjat ke sana, kan? Kamu kumpulkan beberapa saja. Jangan banyak-banyak memotongnya, yah. Kita perlu beberapa saja!"
Usman melihat pohon kamboja yang tingginya sekitar tiga meter. Sebenarnya ia juga takut kalau sampai terjatuh. Tetap saja bagaimanpun juga, orang jatuh pasto akan sakit. Pemuda itu segera naik ke pohon dan memotong beberapa ranting yang diperlukan untuk diperbanyak. Badan terasa gemetar ketika Usman sudah berada di atas. Dengan parang di pinggangnya, ia masih belum berani memotong satupun. Apalagi pohon kamboja termasuk yang mudah tumpah ketika masih muda. Dan itu juga yang membuat Usman panik. Tiba-tiba ia terjatuh dari pohon setelah berpegangan dengan dahan yang sudah keropos dan mengering.
"Aaakkh! Bughh!" Walau hanya tiga meter, sudah membuat rasa takut muncul. Apalagi ia sudah mematahkan dahan yang besar dan kering.
"Mas, tolongin dia! Dia jatuh dari pohon, cepat!" Segera saja Menik menarik tangan Rinto. "Cepat tolong dia karena habis terjatuh!"
"Aku tidak apa-apa, Buk. Hanya sakit di punggung saja. Aaww! Kenapa rasanya gatal banget, yah?" keluh Usman setelah ia menyadari kulitnya sudah ada getah pohon kamboja.
"Tuh, kan? Kenapa kamu garuk-garuk leher kamu? Itu tangan kamu juga gatal, kan? Itu kamu yang tetap ngeyel dan tidak percaya denganku. Makanya gatal sendiri," cibir Menik. Meskipun ada rasa khawatir, tidak berani mendekat karena takut tertular gatal.
***