Tante Seksi Itu Istriku

Berada Di Pulau Terpencil



Berada Di Pulau Terpencil

2'Ah, lagipula ada ikan lainnya yang masih sehat. Mungkin ini perasaanku saja. Ya, semoga saja tidak akan menjadi masalah serius ke depannya,' pikir Farisha dalam hati. Saat ini, dirinya sedabg dalam prasangka yang tidak ada terbukti. Tapi ia tidak ingin larut dalam pikiran yang macam-macam.     

Anak-anak itu masih terlihat menangkap ikan-ikan yang terbawa ombak itu. Tidak jauh dari tempat itu, pria paruh baya yang bersama dengan mereka pun membawa sebilah pisau untuk membersihkan ikan-ikan yang mereka tangkap. Selain pisau, pria itu juga membawa ember yang ia bawa sebagai wadah dari kelapa yang digunakan untuk membawa umpan kepiting besar dan lobster.     

"Hei, anak-anak sekalian! Bawa sini hasil tangkapan kalian semua!" seru pria itu dengan lantang. Setelah sampai dan menerima ikan-ikan itu, kemudian ia membereskan semuanya. "Biar kucuci semuanya. Di sana ada kayu bakar dan kalian kumpulkan saja dulu!"     

Setelah mendapat perintah itu, anak-anak itu segera berlari meninggalkan pantai. Sementara Usman masih menangkap ikan yang sudah mulai bergerak dengan gesit. Farisha sendiri mencoba menangkap ikan itu tapi nyatanya ikan-ikan itu tidak mudah ditangkap.     

"Hei, Mas. Sekarang tidak mungkin bisa menangkap ikan-ikan itu. Tadi ikan-ikan yang terbawa ombak dan di sini memang sering terjadi hal yang aneh di pantai ini. Kadang ada ikan yang mendadak terbawa ombak dan mabuk. Sampai sekarang pun tidak diketahui sebabnya. Tapi kita beruntung karena ini momennya pas banget. Di sini juga ada ikan-ikan yang masih hidup. Hanya mabuk sebentar dan saat beberapa menit akan kembali sehat. Jadi ini ikannya tidak beracun."     

"Syukurlah kalau begitu. Jadi bisa dimakan," ujar Farisha lirih setelah mendengar penjelasan panjang dari pria paruh baya itu. Rasanya lega karena kekhawatirannya tidak benar.     

Sementara Usman tidak tahu apa yang dikatakan oleh pria paruh baya itu. Di kepalanya hanya tahu kalau dirinya mendapatkan ikan dan bisa dimakan. Itu sudah cukup baginya. Tidak ada hal lain yang ia pikirkan dengan pikiran sederhana itu. Pria itu tahu pemikiran Farisha dan memakluminya. Pria itu juga tidak bisa menjelaskan secara rinci. Hanya saja itu tidak perlu dikatakan. Ia merasa hanya dengan berkata seperti itu pun sudah cukup untuk menjelaskan kondisi saat ini.     

"Kalau begitu, kita ikut anak-anak dulu, Man! Ini pakaian yang kita pakai jadi seperti ini, loh. Semuanya sudah basah karena air laut ini. Kalau begitu, kami akan ke sana duluan, Pak!" pamit Farisha yang menarik sang suami ke daratan.     

"Ya sudahlah ... kalian juga tidak terbiasa di pantai. Sepertinya kamu juga kepanasan karena terik matahari." Sambil menunjuk sebuah pohon besar, ia lanjut berkata, "Kalian istirahat saja di bawah pohon itu. Beberapa menit lagi, ikannya sudah bersih semuanya."     

"Baiklah, Pak. Maaf karena nggak bisa membantu. Eh, di sini nggak ada air tawar, kah? Sungai atau mata air, gitu?" tanya Farisha pada pria yang tengah membelah ikan.     

"Nanti tanya saja sama anak-anak! Ini pulau juga akan berubah posisinya. Mungkin sungainya akan berubah posisi setiap pulau ini terendam. Biasanya sih di sini ada beberapa mata air atau sungai. Tapi nggak tentu juga, airnya akan sedikit terasa asin karena air itu dari dalam laut yang merembes ke permukaan."     

Begitu pria itu menjelaskan semuanya, wanita itu pun membawa sang suami ke tempat yang dimaksud pria paruh baya itu. Mereka berlarian karena saat mereka keluar dari air laut karena mereka merasakan panas mulai menjalar ke seluruh tubuh secara berangsur. Setibanya di bawah pohon besar yang rindang, sudah ada hasil tangkapan berupa kepiting dan juga lobster yang sudah diikat dengan tali rafia dan dimasukan ke dalam ember cat yang berisi air.     

"Wah, ini udang kok gede-gede banget, yah? Kalau dimakan pasti enak, yah. Tapi mengapa orang itu hanya menangkap udang dan kepiting ini? Tidak dengan ikan-ikan yang banyak itu?" Usman senang melihat udang yang ukurannya cukup besar. Sebelumnya ia tidak pernah melihat udang yang sebesar itu. Adapun di desanya ia pernah melihat anak-anak mendapat udang, tidak sampai sebesar kelingking tangannya. Itupun suda sangat jarang karena sungai sekarang sudah tercemar cukup banyak.     

"Karena harganya lebih mahal, mungkin. Jadi orang itu menangkapnya." Farisha hanya berkata lirih sambil melihat Usman yang membuat wanita itu senyum-senyum sendiri.     

Dalam hal apapun, tidak bisa dipungkiri kalau Farisha sangat membutuhkan Usman dan sejak mengenal pemuda di sampingnya, hidupnya perlahan berubah. Sosok lelaki yang tidak sempurna tapi memiliki tanggung jawab yang besar dalam hidupnya. Karena rasa lelah dan pakaian mereka basah, mereka hanya bisa kedinginan di bawah pohon rindang. Walau ditambah cuaca yang panas. Tak lama kemudian, anak-anak sudah selesai mencari kayu bakar. Sepasang suami-istri itu merasa lega dan senang karena siang itu mereka akan makan ikan lagi.     

"Hei, kalian sudah kembali? Di sini apa ada sungainya? Atau yang penting ada air tawarnya? Rasanya haus banget kalau di sini!" Farisha dari tadi sudah merasa cukup haus. Apalagi sengatan matahari membuat dirinya dehidrasi. Ia tidak terbiasa berada di suhu panas seperti saat ini. Berbeda dengan Usman yang sudah merasa biasa karena sudah terlatih panas-panasan. Kulit yang mulai memutih pun kembali menggelap karena panas yang cukup menyengat.     

"Oh, kalau di sini ada mata air. Tapi rasanya agak asin. Tapi itu lebih mending daripada minum air laut langsung. Tapi kalau mau minum, kita bawa air minum. Atau kalau tidak, kita bisa minum kelapa muda. Uhh, pasti lebih segar." Seorang anak menjelaskan dengan semangat.     

"Huuusss ... di sini nggak ada pohon kelapanya, tau! Mana ada pohon kelapa di pulau ini? Kalaupun ada, sudah dari dulu kita bisa minum air kelapa," timpal anak lain yang tidak setuju dengan penjelasan anak yang satunya.     

"Iya, benar! Kalau mau minum, ini minum punya kita saja. Tapi kalau di sana, nggak ada sungai. Hanya ada mata air dan di bawahnya ada telaga di sana! Dan kadang bisa digunakan untuk mandi dan bisa juga buat masak."     

Mendengar penjelasan dari anak itu, membuat Farisha senang. Hari ini rasanya ingin mandi untuk menyegarkan badan. Ia sudah memiliki rencana untuk bisa mandi di tempat yang disebutkan oleh anak-anak tersebut. Wanita itu berdiri dan menepuk pundak Usman.     

"Man, yuk temani aku ke teluk. Rasanya gerah banget kalau di sini. Air lautnya rasanya juga lengket banget. Mungkin di sana kita bisa bersih-bersih sebentar." Farisha lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Usman dan berbisik, "Nanti aku mau mandi nggak pake apa-apa, kamu mau liat, nggak?"     

Bagi Usman bukan apa-apa. Tapi bagaimana juga, ia tidak bisa menolak. Farisha sangat cantik saat ini. Apalagi bau keringat yang bercampur bau parfum, menusuk hidungnya. Membuat perasaan campur aduk dibuatnya. Meski begitu, ia tetap berusaha untuk mengendalikan situasi saat ini.     

"Yah, kalau Tante sama Masnya mau mandi, di sana juga nggak apa-apa, kok. Kami nggak akan ngintip karena kami mau membakar ikannya. Nanti Tante sama masnya juga akan dapat ikan yang sudah dibakar."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.