Kembali Ke Kamar
Kembali Ke Kamar
"Excuse me sir. I don't know what to say. But watch your word. He is my husband. And can't speak English. I hope you don't bother us." Farisha berkata pada pria itu untuk tidak menggangunya. Tentu dirinya sering mendapatkan tatapan seperti itu dari pria lain. Bahkan sering mendapatkan pelecehan, kadang menepuk pantatnya atau menyentuh dengan sengaja.
Pria itu tidak percaya dengan perkataan Farisha. Tentu itu bukanlah sesuatu yang bisa membuat dirinya percaya. Orang normal sekalipun, tidak mungkin akan seperti wanita di depannya. Namun ia menghargai ucapan Farisha. Ia tahu wanita itu tidak ingin diganggu. Tapi ia tidak percaya kalau pria kecil yang berusaha melindunginya adalah sang suami.
"Okelah ... hei, bocah. Do you want to money? Duit-duit?" Ia lalu memberikan uang ratusan ribu pada Usman.
"Maaf, aku tidak mau. Terima kasih. Dia adalah istriku dan anda jangan ganggu dia!" ungkep Usman dengan tegas. Sebagai seorang pria, ia memiliki harga diri. Sebagai istrinya, Farisha berhak mendapatkan pembelaan darinya. Walau belum tahu sampai kapan status pernikahan pura-pura itu berlangsung. Tapi ia yakinkan, selama menjadi istrinya, Usman akan selalu menjaga istrinya dengan sekuat tenaga. Dengan nyawanya sendiri.
"Oh, oke-oke ... You can bring your wife. In that case, aku tidak mengganggu." Pria itu menggunakan bahasa campuran. Tapi ia berbicara dengan logat bahasa Inggris. Karena tidak terbiasa dengan logat orang pribumi.
Pria itu agak menjauh dari Usman dan Farisha. Tapi matanya tetap melihat ke arah wanita seksi itu. Farisha pun mengusap kepala suaminya. Ia tersenyum melihat lelaki itu telah memberanikan diri untuk membelanya.
Mereka menunggu sampai ke lantai tujuan. Setelah pintu terbuka, Farisha mendorong Usman untuk keluar. Karena sudah pasti, lelaki itu tidak tahu ke mana mereka harus keluar atau masuk. Usman sendiri memang tidak tahu apapun. Saat berada di hotel, dirinya tidak pernah lepas dari sisi Farisha. Berbeda saat acara sebelum pernikahannya. Mereka berdandan di tempat yang berbeda. Itupun ada orang yang menunjukkan jalannya.
"Kita ke mana, Tante? Aku nggak tahu kamarnya yang mana," tanya Usman. Ia celingukan ke kanan dan ke kiri tapi tidak tahu harus ke mana. Sungguh di dalam hotel, membuatnya sangat bingung. Pikirannya begitu rumit dan tidak terarah.
"Aduh ... jalan ke kanan! Kamu lihat, kamar yang paling pojok sendiri!" tandas Farisha, mendorong dan menunjukkan arahnya dengan tangannya.
Usman baru paham dan mengingatnya. Ia mengangguk dan melangkahkan kakinya menuju ke arah yang harus dituju. Sampailah mereka ke tempat yang dituju. Usman tidak membawa kunci pintu kamar hotel itu. Membuatnya menengok ke arah Farisha.
"Apa? Oh, kuncinya, yah? Ini kamu buka kuncinya!" Farisha mengambil kunci yang ada di dalam tasnya.
Usman menerima dan membuka pintu itu. Ia mempersilahkan istrinya untuk masuk terlebih dahulu. Setelahnya, barulah ia masuk dan menutup kembali pintunya. Melihat Farisha yang merebahkan diri, terlentang di atas ranjang. Sementara Usman tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak ada yang dikerjakan juga bingung. Ia memutuskan untuk melihat-lihat ke jendela. Di sana ia melihat pemandangan, gedung-gedung tinggi di depannya.
Kendaraan bermotor yang terlihat kecil di jalan yang padat merayap. Dari sana juga ia bisa melihat air mancur di tengah-tengah jalan. Sebuah bundaran untuk mengganti arah jalan. Yang merupakan tiga arah yang berbeda. Tidak kalah juga dengan beberapa bendera negara yang berjejer rapi di sepanjang jalan. Usman melihatnya dengan seksama. Tapi agak ngeri juga kalau sampai ia keluar dari kamar dan terjun ke bawah. Tentu ia tidak akan bisa selamat dan tinggal nama saja.
"Kamu lihatin apa, Man?" tanya Farisha penasaran. Ia bangkit dari tempatnya rebahan dan melihat ke arah mana Usman menatap. "Hei, coba aku juga ingin melihatnya," kata Farisha di belakang sang suami pura-puranya.
"Eh ...." Usman lalu menengok ke belakang karena kaget, melihat wanita itu sudah di belakangnya. "Oh, silahkan Tante. Aku bingung mau ngapain. Soalnya aku tidak ada kerjaan di sini. Kalau ada di swalayan, aku bisa bekerja bersih-bersih atau merapikan barang. Tapi di sini bingung. Sapu tidak ada, kain pel juga tidak ada," tuturnya polos.
"Hari ini kamu santai saja, Man. Karena swalayan juga libur, kamu harus diam saja di kamar ini. Aku males juga mau keluar. Enaknya kalau langsung tidur, hoamm!" Farisha lalu menuju ke tempat tidurnya dan naik ke atas. Kamar masih belum dibersihkan oleh petugas kebersihan. Karena ia belum mengizinkannya. Jadi masih ada noda darah dari punggung Farisha karena gigitan Usman.
'Aku harus melakukan apa, hari ini? Sebenarnya juga capek, berdiri terus. Pengennya rebahan kayaknya enak. Tapi, ah, bodo amat,' pikir Usman. Ia menengok ke arah Farisha yang sudah rebahan di atas tempat tidurnya yang luas.
Tentu Usman tidak berani tiduran di samping wanita yang ia nikahi semalam. Ia sadar diri, siapa dirinya yang hanya pemuda desa yang kebetulan diangkat menjadi karyawan dan anak buah seorang wanita seksi yang sangat cantik itu.
'Ah, tidur di lantai saja, lah. Walau dingin, tapi setidaknya ini bersih,' pungkasnya dalam hati. Ia merebahkan dirinya di lantai dari batu granit berwarna krem itu. Tentu itu terasa dingin tapi membuatnya tenang. Ia letakan kepalanya di atas kedua tangan yang disilangkan untuk mengganti bantal. Sementara kaki kirinya ia tekuk dan kaki kanannya ia taruh di atas kaki kiri.
"Mmmm ... kenapa punggung ini perih lagi? Ini karena Usman itu. Hehh ... seumur hidupku, baru kali ini aku tidur bersama lelaki. Usman ... Usman ... kenapa kamu begitu berbeda dari pria yang lain?"
Farisha mengingat perlakuan sang suami kepadanya. Ia tidak tahu mengapa dirinya mulai memikirkan Usman. Padahal ia sendiri sudah bertekad untuk membenci semua pria. Tapi entah mengapa, ia tidak bisa membenci lelaki itu. Bahkan ia mengingat perhatian yang diberikan oleh prianya itu. Bagaikan sosok malaikat yang selalu ada untuknya.
Usman sendiri tidak bisa lepas dari memikirkan Farisha. Ia tidak ingin diburu karena nafsu. Kalau menurutinya, ia mungkin akan menjadi orang yang terbuang. Ia tidak akan dipercaya lagi. Sedangkan ia merasa nyaman berada di kota saat ini. Ia nyaman bekerja menjadi seorang karyawan swalayan milik sang istri. Walau mereka sering kali tutup, karena harga mereka lebih murah dari yang lain, membuat ada saja pelanggan yang rela menunggu atau rela tidak berbelanja kalau masih belum perlu.
Farisha menoleh ke tempat di mana tadinya Usman berada. Tapi di sana tidak ada lelaki itu. Ia bangkit dan duduk, masih berada di tempat tidurnya. Melihat Usman sedang merebahkan diri di lantai dengan posisi kakinya yang bebas.
"Ngapain tiduran di lantai? Kalau mau tiduran, ke sini saja! Tiduran di sampingku!" panggil Farisha yang langsung membuat Usman bangun. Farisha melambaikan tangan pada lelaki itu.
***