My Husband from My First Love

kotak misterius



kotak misterius

3Sinta menunggu Daffin untuk bicara, namun suara perawat terdengar dari balik pintu.     

Daffin yang mau bicara pun langsung melupakannya dan dia bersamaan dengan Sinta kearah kearah pintu secara bersamaan.     

Perawat pun datang dan menghampiri mereka bertiga.     

Kakek Wijaya mendekati Daffin dan Sinta yang masih berpelukan.     

"Daff, sepertinya sudah selesai. Kapan mau di makamkan? Ini sudah malam, apa mungkin besok saja supaya lebih nyaman," ucap kakek Wijaya sambil menepuk bahu Daffin.     

Daffin menoleh dan mengangguk.     

"Kakek benar, lebih baik besok pagi saja kita makamkan, oh ya kakek! Kenapa kakek bisa tahu jika kami ada disini? Siapa yang memberitahu kakek?" Tanya Daffin, dia sudah terlalu lelah hingga semua ingatannya tiba-tiba hilang.     

Kakek Wijaya menepuk dahinya dan menjawab, "Daff, kamu masih muda tapi kamu sudah pikun. Bukannya kamu sendiri yang menghubungi kakek, kamu yang cerita semuanya. Jadi kakek secepatnya datang kemari. Oh Tuhan! Daff kamu baru umur tiga puluh tapi otak kamu seperti umur enam puluh saja," ucap kakek Wijaya sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali.     

Daffin mengingat-ingat dan dia akhirnya tertawa bodoh.     

"Oh, hahahaha … aku benar-benar melupakannya. Aku terlalu banyak pikiran jadi lah Seperti ini, maaf kakek. Aku sempat melupakanmu," ucap Daffin, dia tertawa sendiri sambil menggaruk kepalanya. Perawat itu pun melihat ketiganya dan datang hanya untuk memberitahukan tentang jenazah nenek yang sudah selesai diurus.     

Setelah itu perawat itu pun langsung pergi dan meninggalkan mereka bertiga lagi.     

Sinta menatap Daffin dan melihat raut wajah Daffin yang terlihat kuyu dan pastinya dia benar-benar sangat lelah.     

"Sayang, kita pulang saja dulu. Kamu harus istirahat, aku minta maaf karena sudah banyak merepotkan kamu," ucap Sinta dengan nada sedih.     

Daffin tersenyum dan memeluknya lebih erat.     

"Jangan mengatakan seperti itu. Aku suami kamu, aku akan melakukan apapun asalkan kamu bahagia. Sayang, kamu yakin ingin pulang ke rumah?" Tanya Daffin sambil mengecup puncak kepala Sinta.     

"Hhhmm … iya! Aku mau pulang saja. Di rumah akan jauh lebih aman daripada disini. Tapi pemakaman nenek memangnya tidak apa-apa kalau ditunda besok pagi?" Tanya Sinta sambil menatap Daffin dengan tatapan sedih.     

"Tidak apa-apa, besok kita langsung ke pemakaman dan semuanya sudah mereka urus. Baiklah, ayo kita pulang," ucap Daffin. Dia melepaskan pelukannya dan Sinta mencoba turun dari ranjang rumah sakit.     

Kakek Wijaya masih saja tertawa mengingat Daffin yang mendadak pikun.     

Setelah menyelesaikan semuanya.     

Mereka bertiga pun pulang bersama dan malam ini kakek Wijaya juga menginap di rumah Daffin.     

***     

Keesokan harinya.     

Sinta menangis didepan pusaran milik neneknya. Dia berjongkok dan mencium papan nisan yang baru saja dipasang disana.     

"Nenek, terima kasih karena sudah menjaga aku, terima kasih karena nenek sudah merawat aku selama ini. Hiks … hiks," ucap Sinta. Air matanya terus mengalir deras dan suara isak tangisnya bergema di pemakaman itu.     

Semua orang pun sudah pergi dan tersisa hanya mereka bertiga.     

Aisyah tidak bisa datang karena dia harus bekerja jadi dia akan berziarah saat sore nanti setelah pulang bekerja.     

Daffin memeluk bahu Sinta dan mengusap lembut rambutnya.     

"Sayang, kamu harus ikhlas dan nenek sudah tenang dialam sana. Sekarang kamu harus mengingat pesan nenek. Kamu ingatkan apa yang dikatakan nenek sebelum dia pergi?" Ucap Daffin, sejak semalam dia tidak bisa tidur dan pesan dari neneknya Sinta terus bergema didalam telinganya. Seolah-olah pesan itu datang dari arwah nenek Sinta yang terus berbisik ditelinga Daffin.     

Sinta menoleh sambil menghapus air matanya.     

"Pesan? Pesan apa sayang? Ada banyak pesan yang nenek katakan sebelum dia meninggal," ucap Sinta. Pikirannya masih dalam keadaan kalut sehingga dia merasa sangat kesulitan untuk mengingatnya.     

Daffin mendesah pelan dan berkata, "Kamu benar-benar melupakannya, sayang! Ini tentang orang tua kandung kamu, kamu bisa melupakannya begitu saja!" Ucap Daffin sambil menepuk dahinya.     

Sinta langsung terkejut, dia menatap Daffin dengan serius.     

"Oh iya, aku baru ingat! Sayang, ayo kita cari tahu tentang itu. Kata nenek ada di lemari ya? Lemari, iya lemari nenek! Sayang, bukankah kamu sudah memindahkan semua barang-barang ku di rumah lama? Dimana lemari nenek?" Tanya Sinta, dia langsung bangun dan memegang dahinya. Dia mendadak panik.     

Daffin ikut bangun dan menarik tangan Sinta dengan lembut.     

"Tenangkan diri kamu sayang, aku akan membantu kamu," ucap Daffin yang mencoba menenangkan Sinta yang terlihat sudah panik.     

"Ta … tapi sayang, kamu kan pernah mengatakan kalau semua barang-barang di rumah lama aku sudah kamu pindahkan, jadi barang-barang milik nenek juga …," Sinta menghentikan ucapannya karena Daffin langsung menyelanya.     

"Aku tidak membawa barang - barang milik nenek dari rumah lama kamu, hanya barang-barang milik kamu saja sayang yang aku bawa," ucap Daffin dia menghela nafas pendek dan melanjutkan ucapannya, "Jadi, lebih baik kita pergi ke rumah lama kamu sekarang. Kunci masih ada di kamu kan?" Tanya Daffin sambil melihat kearah Sinta.     

Sinta mengangguk dan mengeluarkan kunci itu dari dalam dompetnya.     

"Ini, aku selalu membawa kunci cadangan ini kemana pun aku pergi, baiklah! Ayo kita pergi sekarang juga," ucap Sinta dan dia menarik tangan Daffin untuk segera pergi dari tempat itu sekarang juga.     

Sinta merasa sangat penasaran dengan identitas aslinya dan kenapa neneknya selama ini terus menyembunyikannya dengan alasan keamanan dirinya.     

Bukan hanya Sinta tapi Daffin juga merasa penasaran.     

Sedangkan kakek Wijaya, dia hanya bisa menunggu Sinta dan Daffin di rumah, karena dia hanya bisa menunggu kabar selanjutnya dari Daffin.     

Mereka pun segera masuk ke dalam mobil dan secepatnya melaju menuju rumah Sinta.     

Dan tidak membutuhkan waktu yang lama, mereka pun sampai di rumah lama Sinta.     

Daffin dan Sinta pun turun dari mobil. Mereka pun berjalan secepatnya menuju rumah itu dan setelah sampai Sinta pun langsung membukanya.     

Kreekkk ...     

Pintu pun terbuka, rumahnya terlihat kumuh karena sudah cukup lama tidak dia tempati menjadikan banyak debu dan sarang laba-laba ada disana.     

Sinta dan Daffin pun masuk dan berjalan menuju kamar nenek.     

Setelah sampai, Sinta mencari barang yang dikatakan neneknya didalam lemarinya.     

Daffin pun membantunya dan menghabiskan waktu cukup lama dan mereka hampir merasa putus asa.     

"Sayang, aku tidak menemukannya. Bagaimana dengan kamu," tanya Daffin sambil mengusap dahinya yang basah oleh keringat.     

Sinta juga tidak menemukannya.     

"Aku juga tidak menemukannya. Dimana dia ya? Atau mungkin sudah tidak ada?" Ucap Sinta yang masih mencari barang itu disekitar kamar nenek.     

Namun, saat Sinta selesai bicara, dia melihat kotak berwarna coklat. Kotak yang tertutup rapat dan itu terlihat misterius.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.