Dunia Para Dewa
Dunia Para Dewa
Di depan sebuah istana, Leluhur Manusia sedang berbincang-bincang dengan seorang anak. Pemandangan itu terlihat menenangkan, sangat kontras dengan perang yang saat ini terjadi di tujuh dunia utama.
Pada saat ini, sebuah gelombang kekuatan yang dahsyat menyebar dari arah langit. Leluhur Manusia mengangkat kepalanya untuk memandang ke atas sebelum melihat seberkas cahaya suci melesat turun ke Istana Ilahi Manusia, dan seseorang mendarat tepat di hadapannya.
Saat itu juga, Leluhur Manusia menepi dan membungkuk hormat.
Seorang pemuda tampan dan menakjubkan muncul di tempat dimana cahaya suci itu jatuh. Tubuhnya perlahan-lahan memadat, dan dia muncul dari bayangan yang buram tersebut. Rasanya seolah-olah tubuhnya tidak terbuat dari daging dan darah.
Anak itu memandang pemuda tersebut dengan penuh rasa ingin tahu dan tampak sedikit bingung oleh kehadirannya. Dia memandang Leluhur Manusia dan bertanya-tanya mengapa dia begitu menghormati pemuda ini. Bukankah Leluhur Manusia adalah penguasa dari Dunia Manusia?
"Tuan," Leluhur Manusia membungkuk dan menyapanya, bersikap sangat hormat. Tampaknya pemuda itu adalah pemimpin sejati dari Dunia Manusia.
"Tuan, anda siapa?" anak itu menatap pemuda tersebut dan bertanya.
Tubuh pemuda itu terlihat semakin memadat, dan dia menatap anak itu sambil tersenyum lembut. Dia pun berkata, "Aku adalah Leluhur Manusia."
"Leluhur Manusia!" Anak itu menatapnya, lalu mengalihkan pandangannya kepada Leluhur Manusia lain di sebelahnya, dan bertanya dengan ragu-ragu, "Lalu siapa dia?"
"Dia juga Leluhur Manusia," jawab pemuda itu, "Leluhur Manusia bukan hanya satu orang—ada banyak Leluhur Manusia di dunia ini. Karena itulah kami dianggap sebagai nenek moyang dari umat manusia."
Anak itu menggaruk kepalanya, masih merasa bingung. Dia tidak tahu apa yang dibicarakan oleh pemuda itu.
Pemuda itu berjalan ke arah anak itu dan mengusap kepalanya. Dia membungkuk dan berkata sambil tersenyum, "Ketika aku masih muda, aku sama sepertimu, orang biasa yang selalu mengalami penindasan. Itu adalah era ketika kekuatan ilahi memegang kendali, ketika para dewa mengendalikan tatanan dunia. Manusia dianggap seperti serangga, dan mereka hanya bisa mengagumi para dewa."
"Di Zaman Para Dewa, berbagai macam dewa memegang kekuasaan tertinggi. Ketika para dewa bertarung, bahkan langit pun ikut hancur, dan banyak orang tewas terbunuh. Orang tua, istri, dan anak-anakku termasuk di antara orang-orang yang meninggal dunia, tetapi bahkan ketika mereka meninggal dunia, mereka tidak mendapatkan simpati yang layak karena para dewa tidak peduli dengan kematian umat manusia. Di hadapan para dewa, manusia hanyalah kawanan semut di permukaan tanah. Tidak ada yang akan meminta maaf kepada semut, dan mereka juga tidak harus menanggung konsekuensi atas tindakan yang mereka lakukan pada semut-semut itu. Tapi untungnya, para dewa tewas terbunuh ketika Bencana Agung menghancurkan semua dewa. Bahkan para dewa tertinggi juga tidak luput dari kematian."
"Itu adalah era yang penuh dengan ketakutan dan kebencian. Itu adalah era terburuk, tetapi juga yang terbaik. Ketika semua dewa binasa, segala sesuatu yang ada di dunia ini akan diatur ulang. Tanpa adanya dewa, manusia menjadi pusat perhatian bagi dunia ini."
Pemuda itu berbicara dengan tenang, seolah-olah dia sedang menceritakan sebuah kisah dari masa lalu.
"Dewa bukanlah siapa-siapa; mereka hanya manusia biasa yang mengendalikan pasukan-pasukan besar. Mereka bisa mati, dan mereka memiliki emosi seperti orang lain. Mereka berpikir seperti manusia, jadi manusia adalah dewa, dan semua orang bisa menjadi dewa."
"Apakah aku juga bisa melakukannya?" tanya anak itu dengan polos, menatap pemuda itu dengan penuh harap.
"Tentu saja," pemuda itu mengangguk pelan. "Baik itu dewa dan manusia, keduanya adalah keberadaan yang sama."
Setelah mengatakan hal tersebut, dia mengulurkan tangannya dengan setetes air di telapak tangannya dan bertanya, "Coba tebak, apa ini?"
"Setetes air," jawab anak itu.
Tetesan air itu melayang ke udara, dan di tetesan air tersebut, terciptalah sebuah kekuatan yang mengerikan, dan tetesan air itu mulai berputar. Kemudian, tetesan air itu terbang di udara, dan sebuah bangunan di kejauhan langsung runtuh dan hancur, berubah menjadi tumpukan debu dalam sekejap.
"Lihatlah, bahkan setetes air bisa memiliki kekuatan yang luar biasa di dalamnya, tetapi esensinya tetaplah air." Pemuda tersebut memandang anak itu dan melanjutkan kata-katanya, "Sama halnya dengan manusia. Tidak ada perbedaan mendasar antara manusia dan dewa, karena mereka adalah keberadaan yang sama. Apakah kau bisa memahaminya?"
Anak itu menggelengkan kepalanya.
Pemuda itu tersenyum sambil mengusap kepala anak itu lagi. Dia berdiri dan melanjutkan, "Tidak masalah jika kau belum bisa memahaminya. Semua orang di dunia ini bodoh karena mereka dikendalikan oleh emosi dan ambisi mereka, serta tidak pernah bisa lepas dari cengkeraman mereka. Inilah alasan kenapa dunia ini perlu ditata ulang."
"Tapi bagaimana caranya?" Anak itu bertanya dengan penuh rasa ingin tahu sementara tatapan matanya masih terpaku pada pemuda itu. Kedua matanya terlihat sangat polos.
Pemuda itu menatapnya sambil tersenyum, "Membuat dunia bagi para dewa."
"Dunia para dewa," gumam anak itu; dunia macam apakah itu?
Tetapi pada saat berikutnya, dia tidak lagi memikirkan hal tersebut. Tubuh pemuda itu berubah menjadi seberkas cahaya yang menyilaukan dan langsung menerobos masuk ke dalam tubuhnya. Tatapan mata anak itu terlihat sedih, dan wajahnya terdistorsi. Dia memandang sosok buram di hadapannya dan membuka mulutnya, seolah-olah meneriakkan sesuatu. Ada keputusasaan dan ketakutan di matanya saat air mata mengalir di pipinya. Dia mengulurkan tangannya yang gemetar, mencoba meraih sesuatu, tetapi pada akhirnya, dia tidak bisa melakukan hal tersebut.
Tidak lama kemudian, cahaya suci menyelimuti sekujur tubuhnya, dan sorot mata anak itu berubah, penuh dengan hawa dingin serta kebencian yang membuatnya tidak peduli akan apa pun, seolah-olah tidak ada emosi di dalam dirinya.
Setelah itu, dia melenturkan tangannya secara perlahan, mengamatinya, dan terlihat puas.
"Tidak buruk," ujarnya dengan suara pelan.
"Selamat, Tuan," ujar Leluhur Manusia di sebelahnya.
"Aku adalah sosok yang sama denganmu," ujar anak itu. Mendengar hal ini, Leluhur Manusia langsung memahami apa yang dimaksud olehnya dan mengangguk pelan.
...
Istana Ilahi Manusia terlihat damai dan tenang untuk saat ini, tetapi perang yang sedang berlangsung di tujuh dunia menjadi semakin sengit. Perang ini telah menyapu tujuh dunia utama dengan kecepatan yang luar biasa. Pada saat ini, masih ada aliran kultivator yang melakukan perjalanan melintasi berbagai macam wilayah untuk berpartisipasi dalam perang.
Saat ini, sebuah pertempuran yang sangat sengit sedang berlangsung di Western Heaven. Pasukan gabungan dari Dunia Kegelapan dan Dunia Empty Divine telah menyapu Western Heaven. Pertempuran ini merenggut banyak korban dan menodai tempat suci dari Sekte Buddha ini dengan darah. Suara rapalan sutra Buddha bisa terdengar dimana-mana, seolah-olah mereka mencoba untuk mengampuni dosa orang-orang yang tewas terbunuh.
Namun, tepat ketika perang mencapai puncaknya, terjadi sebuah peristiwa yang mengejutkan. Pasukan dari Dunia Kegelapan yang menyerbu Western Heaven tiba-tiba berhenti berperang melawan kultivator-kultivator Buddha. Mereka sekarang mengalihkan perhatian mereka kepada para kultivator dari Dunia Empty Divine, dan pembantaian yang terjadi secara tiba-tiba ini membuat para kultivator ini lengah; mereka tidak punya kesempatan untuk bereaksi terhadap apa yang baru saja terjadi pada mereka.
Bahkan para kultivator dari Western Heaven benar-benar dibuat tercengang dan tidak memahami apa yang sedang terjadi. Kenapa Dunia Kegelapan dan Dunia Empty Divine tiba-tiba menyerang satu sama lain dan mulai berselisih?
Para kultivator Buddha tidak bisa bereaksi untuk beberapa saat. Mereka hanya bisa berdiri di tepi medan pertempuran, membiarkan kultivator lain bertarung satu sama lain.
Tidak butuh waktu lama bagi medan perang di Western Heaven untuk mengalami perubahan-perubahan yang mampu mengguncang bumi. Karena perang internal yang terjadi antara Dunia Kegelapan dan Dunia Empty Divine, para kultivator Buddha mulai bergerak untuk mengurangi kekuatan dari kedua dunia ini, sehingga perang sekarang berubah menjadi pertempuran tiga arah yang sangat kacau.
Namun, di medan perang utama, Western Heaven masih memiliki keunggulan mutlak, sehingga membuat para kultivator dari dua dunia lainnya terus-menerus menderita kekalahan dan dipaksa untuk mundur. Tidak perlu diragukan lagi bahwa jika situasi ini terus berlanjut, Dunia Kegelapan dan Dunia Empty Divine pada akhirnya akan mengalami kekalahan di medan perang ini.
Karena alasan inilah, Evil Emperor pergi ke Gunung Ilahi Kegelapan secara pribadi!