The Alchemists: Cinta Abadi

Dua Belas Tahun Yang Lalu



Dua Belas Tahun Yang Lalu

2Orang-orang yang menyaksikan peristiwa perkelahian di terminal bandara dan penganiayaan seorang wanita cantik itu sangat terkejut karena mereka tak dapat menyebarkan video ataupun menayangkan live peristiwa tersebut ke media sosial Splitz.     

"Ada apa ini? Apakah internet sedang bermasalah?" Mereka saling bertanya-tanya.     

"Aku tidak akan mengampunimu lagi, Sophia," kata Alaric dengan suara sedingin es. Sophia memukul-mukul tangan Alaric yang mencekik lehernya tapi tidak berhasil membuat Alaric terpengaruh sedikit pun.     

Para petugas keamanan bandara yang dipanggil orang yang berkerumun menyaksikan keributan itu, segera datang dan berusaha melerai, tetapi saat mereka berhadapan dengan Alaric yang menatap mereka dengan sorot mata menyala-nyala, entah kenapa mereka berempat mengkerut ketakutan.     

"Sophia!" Karl yang melihat dari sudut matanya Sophia hampir kehabisan napas, segera mengayunkan pukulan ke arah Mischa dengan sekuat tenaga dan kemudian berlari sekuatnya ke arah Sophia saat lawannya menghindar.     

Alaric segera membanting tubuh Sophia ke lantai dan berdiri menghadapi Karl. Untuk sesaat keduanya berhadapan.     

"Kau harus membayar perbuatanmu," kata Alaric tanpa berkedip. "Aku akan memastikan kau mendapatkan hukuman yang paling mengerikan, yang akan membuatmu menyesal telah dilahirkan."     

Karl menatap lekat-lekat lelaki yang telah bertanggung jawab atas kematian kakaknya yang sangat ia sayangi. Ia sangat ingin membunuh Alaric dan membalaskan dendamnya. Mengakhiri semuanya hari ini juga.     

"Kau tahu apa tentang aku?" tanya Karl dengan nada sama dinginnya.     

Ancaman Alaric yang mengatakan bahwa ia akan membuat Karl menyesal telah dilahirkan, sama sekali tidak membuat nyalinya ciut. Karl memang selalu menyesali kelahirannya.     

Ia tidak pernah minta dilahirkan. Begitu ia lahir, orang tuanya membuangnya di rumah sakit. Kalau bukan karena keluarga Neumann, ia tidak akan pernah bertahan hidup. Kalau bukan karena Friedrich, ia tidak akan pernah tumbuh menjadi lelaki yang kuat seperti sekarang.     

Setelah Friedrich meninggal, Karl juga tidak pernah merasa hidup karena setiap detik matanya terbuka, ia hanya memikirkan balas dendam. Seluruh hidupnya diabdikan untuk membalas kematian Friedrich.      

Setelah hal itu tercapai.. maka tujuan hidupnya sudah tidak ada lagi.     

Orang yang tidak pernah benar-benar hidup, tidak akan menyesali kematian. Kematian adalah hal yang absolut baginya. Ia hanya menunggu waktu.     

"Aku memasang bom di tempat ini. Kalau kau tidak melepaskan kami, maka kita semua akan mati," kata Karl sambil menyeringai tipis. "Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kalau aku dan Sophia mati, tidak akan ada yang merindukan kami. Tetapi kau...."     

Ia menatap Alaric tanpa takut. Walaupun sepasang mata ungu pria itu berkilat berbahaya, Karl sama sekali tidak terintimidasi. Kebenciannya telah berakar begitu dalam, membutakannya dari rasa takut kepada mantan pembunuh profesional ini.     

Alaric mengerling ke arah Mischa yang berdiri di belakang Karl. Pemuda itu mengangguk dan segera bicara kepada anak buahnya untuk segera memeriksa kebenaran ancaman Karl.     

Mereka segera memeriksa semua rekaman video sejak satu jam yang lalu untuk mencari tahu apakah Karl memang menanam bom dan di mana lokasinya.     

Karl menggeleng-geleng dan berkacak pinggang. "Kalian tidak akan menemukannya di tempat lain. Bomnya ada di tubuhku."     

Ia membuka kancing kemejanya sedikit dan menunjukkan di lehernya menggantung tali kulit yang memiliki bandul bulat. Karl mengangkat lengan kanannya dan menunjukkan jam tangannya.     

Dengan senyum sinis ia memencet sebuah tombol di pinggiran jamnya dan tiba-tiba saja bandul di lehernya menyala dengan warna lampu merah kecil yang berkedip-kedip.     

"Begitu bom ini kuaktifkan, hanya kode sandi dariku yang dapat menonaktifkannya. Kalaupun kau membunuhku sekarang, kalian tidak akan dapat menghentikannya. Begitu ia tidak mendeteksi detak jantungku... bomnya akan segera meledak."     

Alaric merasa sangat terkesan. Tindakan Karl ini mengingatkannya akan para pembunuh profesional yang biasanya akan membawa racun untuk membunuh diri mereka sendiri jika mereka tertangkap, agar tidak dapat diinterogasi atau disiksa oleh musuh.     

Rupanya, Karl selalu membawa-bawa bom yang bisa ia aktifkan sewaktu-waktu, jika kondisinya terdesak, seperti sekarang ini. Sekarang, ia akan menggunakannya untuk mengancam musuh agar melepaskannya, kalau tidak, ia akan bunuh diri dan menghancurkan semua orang yang ada bersamanya.     

"Apa yang kau inginkan?" tanya Alaric.     

Ia tidak peduli dengan kerumuman orang-orang bodoh di terminal ini yang malah berkerumun menyaksikan keributan, dan bukannya segera kabur. Tetapi ia sendiri tidak ingin mati konyol. Ia tidak ingin meninggalkan istrinya sendirian.     

Ia ingin kembali pulang kepada keluarganya. Ia juga ingin kembali memeluk istri dan anak-anaknya.      

Karena itulah, Alaric mengalah. Ia akan membiarkan Karl pergi agar tidak meledakkan bomnya di sini. Nanti, Alaric akan dapat kembali mengejarnya. Biar pun ke ujung dunia, ia pasti akan dapat menemukan orang ini kembali.     

"Aku minta pesawat dan pilot yang akan membawa kami ke tempat yang kami inginkan. Dan aku ingin jaminan," kata Karl. "Kau harus ikut aku."     

Begitu mereka mengangkasa, Karl akan meledakkan diri dan membawa Alaric mati bersamanya.     

Dengan begitu, ia akan dapat memenuhi permintaan keponakannya untuk mengakhiri semuanya. Hari ini, semua akan berakhir di sini.     

"Tidak boleh!" seru Mischa tiba-tiba. "Kalau kau ingin membawa Tuan, tidak ada bedanya kalau kau meledakkan bomnya di sini!"     

Alaric dapat menebak apa yang ingin dilakukan Karl, demikian halnya Mischa. Karena itulah Mischa dengan cepat menolak.     

"Baik, kalau itu yang kalian inginkan. Aku akan meledakkan diri di sini. Silakan kalian berpamitan kepada keluarga kalian sekarang. Kuberi waktu dua menit," kata Karl.     

"Jangan..." Mischa berjalan maju. "Kalian bawa aku saja."     

"Hmm.. bagus. Akhirnya ada juga yang berpikiran sehat di sini," kata Karl dengan nada mencemooh. Ia lalu membantu Sophia berdiri dan mengelus-elus kepalanya. "Kau tidak apa-apa?"     

Sophia menggeleng. Air mata meleleh dari matanya. Ia merasa sangat bersyukur karena Karl ternyata sangat siap dengan segala kemungkinan. Saat ia merasa situasi mereka demikian buruk, ternyata lelaki ini mampu membebaskan mereka dari cengkraman Alaric.     

Alaric menatap keduanya dengan perasaan muak. Namun demikian, ekspresi di wajahnya tetap datar dan dingin.     

Karl lalu menunjuk seorang polisi bandara. "Kau! Keluarkan borgolmu dan borgol laki-laki itu."     

Dengan dagunya ia menunjuk ke arah Mischa. Pemuda itu mengangguk ke arah para polisi yang kebingungan.     

"Lakukan apa katanya," kata Mischa tenang. Ia mengulurkan kedua tangannya ke depan.     

Ia tahu Karl sengaja ingin melemahkan gerakannya agar ia tidak menyerang Karl saat mereka naik ke pesawat nanti.     

Seorang polisi datang menghampiri Mischa dan kemudian memborgolnya. Seruan-seruan tertahan terdengar dari antara pengunjung perempuan yang merasa kasihan saat menyaksikan pemuda tampan itu diborgol.     

Banyak yang merasa kagum karena ia mengorbankan dirinya menghadapi penjahat yang demkian sadis, yang mengancam hendak meledakkan diri dan semua orang yang ada di sekitarnya.     

"Sekarang.. pesawatnya?" Karl menatap Alaric dengan tajam. "Aku tahu kau punya pesawat pribadi di bandara ini."     

Alaric mengambil ponselnya dan bicara kepada pilot pribadinya.      

"Kalian akan diantar dengan buggy ke pesawat sekarang," kata pria itu dengan dingin. "Tapi sebelum kalian pergi, aku ingin tahu... kenapa?"     

Tanpa perlu diberi tahu, sang pilot telah menyiapkan tindakan penyelamatan. Nanti, begitu pesawat berada di ketinggian yang aman, ia akan segera melompat dari pesawat bersama Mischa dan meninggalkan kedua penjahat ini menghadapi kematiannya.     

Alaric perlu tahu, sebelum mereka mati, kenapa mereka melakukan perbuatan mereka itu.     

"Hmm.. baiklah, karena kau sangat penasaran," kata Karl sambil tersenyum sinis. "Karena kau telah membuat kekasihku menderita. Kau harus tahu bagaimana rasanya kehilangan segalanya."     

Sophia yang ada di pelukan Karl tertegun mendengar kata-kata pria itu.     

Kekasih? Apakah Karl memaksudkan dirinya?     

Ia tidak tahu bahwa Karl melakukan ini semua karena dirinya. Bukankah Karl sendiri memiliki dendam pribadi kepada Alaric?      

Mengapa ia tidak mengatakan apa-apa?     

Apakah ia memang sengaja tidak memberi tahu Alaric yang sebenarnya?     

Mengapa?     

***     

Sementara itu, di mansion Pangeran Renald Hanenberg, Vega menatap suaminya dengan sepasang mata berlinangan.     

"Kau kenapa?" tanya Ren keheranan. "Apa yang membuatmu sangat sedih?"     

Ia menyentuh tangan Vega dan meremasnya lembut.     

"Ren... apakah, kau mencintaiku?" tanya wanita cantik itu tiba-tiba.     

Ren mengangguk. "Aku mencintaimu."     

Ia tidak berbohong. Hal itu memang kebenarannya.     

Vega mengigit bibirnya mendengar jawaban suaminya yang diucapkan dengan mantap. Ia lalu menarik napas dan kembali bertanya.     

"Kapan kau tahu kau akan menikahiku?"      

"Saat aku pertama melihatmu," jawab Ren.     

"Kapankah kau pertama kali melihatku?"     

"Dua belas tahun yang lalu. Waktu itu kau masih berusia sepuluh tahun," jawab Ren tanpa ragu.     

Wajah sang pangeran seketika berubah pucat begitu kata-kata itu keluar dari bibirnya.     

Apa katanya tadi?     

Mengapa ia bicara seperti itu?     

Ren seketika merasakan dadanya sesak. Ia tidak mengerti...     

"Oh, Ren..." Kini, tanpa dapat ditahan lagi, air mata kembali membanjir dari sepasang mata Vega. "Ternyata itu benar."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.