Pulang Ke Moravia
Pulang Ke Moravia
"Aku senang mendengarnya," balas Ren. Ia mencium kening Fee dan kemudian memejamkan mata. Selama dua hari terakhir mereka telah bertualang di empat dari lima desa yang ada di Cinque Terre. Semuanya dilakukan dengan santai dan menyenangkan.
Fee banyak bercakap-cakap dengan orang-orang yang ditemuinya di sana. Ternyata ia sangat suka berbicara dalam bahasa Italia dan sangat fasih menggunakannya.
Ren berkali-kali memandangnya dengan kagum saat gadis itu berbincang gembira dengan wanita pedagang souvenir, pelayan restoran, petani anggur, nelayan, dan macam-macam orang. Fee memang seorang gadis yang sangat ramah dan menyenangkan. Ia membuat semua orang yang bertemu dengannya tersenyum bahagia.
Pria itu juga membelikan beberapa souvenir dan makanan kecil khas Cinque Terre untuk Fee. Setelah menghabiskan waktu beberapa hari di Cinque Terre, mereka pulang ke Monte Carlo dengan membawa banyak benda kecil yang disukai gadis itu.
Walaupun mereka sangat ingin berlama-lama berwisata di kawasan Riviera, mau tak mau keduanya harus kembali. Ren telah ditunggu oleh berbagai kesibukan dan tugasnya. Begitu tiba di Monte Carlo, mereka akan menghadiri undangan makan malam bersama Johann dan kemudian bersiap pulang ke Moravia.
***
Acara makan malam di kediaman Johann berlangsung hangat dan menyenangkan. Mariel bahkan menyiapkan sendiri hidangan pencuci mulut yang mereka nikmati. Sementara itu Ren dan Fee membawakan wine khas Cinque Terre sebagai oleh-oleh bagi tuan rumah.
"Bagaimana rasanya bulan madu di kawasan Riviera? Kalian lebih suka yang mana, bagian French Riviera atau Italian Riviera?" tanya Mariel sambil menyesap wine-nya saat mereka telah menyelesaikan makan malam dan duduk bersantai.
"Aku suka keduanya, masing-masing punya keunikannya sendiri," jawab Fee. "Dan ternyata aku suka berlayar. Rasanya sangat menyenangkan berada di tengah lautan dan menikmati suasana yang demikian hening dan damai."
"Yah.. di Moravia tidak ada laut, hanya ada danau..." Mariel tertawa. "Kalian sebaiknya sering-sering ke sini kalau memang suka berlayar di laut."
"Kalau aku tidak sibuk, kami akan kembali lagi," jawab Ren. "Fee juga akan mulai bersekolah. Begitu kami kembali aku akan membantunya mencari sekolah yang sesuai minatnya."
"Ahh.. benar juga. Fee masih muda. Banyak hal yang bisa dilakukannya." Mariel mengangguk. "Kau pasti akan mengalami banyak hal menarik di sekolah."
"Kuharap begitu," jawab Fee. Ia tidak ingin membahas bahwa salah satu alasan ia ingin sekali kuliah adalah agar ia dapat mengimbangi Ren yang berpendidikan tinggi dan sangat pandai.
"Selamat ya.. atas hidup baru kalian." Johann mengacungkan gelas wine-nya mengajak mereka semua bersulang. "Semoga kalian selalu berbahagia."
"Terima kasih." Fee dan Ren bertukar pandang dan saling tersenyum.
Setelah makan malam di tempat Johann, keduanya pulang ke Hotel De Paris dan berkemas untuk pulang kembali ke Moravia keesokan harinya. Tak terasa seminggu berlalu dengan begitu cepat.
***
Mereka tiba kembali di kediaman Ren di Almstad saat matahari hampir terbenam. Cuaca musim gugur terasa sangat dingin dan pemanas ruangan dinyalakan hingga 22 derajat.
"Selamat datang, Tuan dan Nyonya..." Linda membungkuk hormat saat membukakan pintu untuk majikannya yang baru tiba. Ia segera membantu Fee melepaskan mantelnya dan menggantungnya di dalam lemari mantel.
"Terima kasih, Linda."
"Sama-sama, Nyonya."
Setelah Linda pergi, Fee menoleh ke arah Ren dan berbisik kepadanya. "Linda memanggilku Nyonya barusan. Apakah kau memberi tahu staf di sini bahwa kita sudah menikah?"
Ren mengangguk. "Benar. Tetapi mereka semua menandatangani perjanjian kerahasiaan dan tidak akan membocorkan rahasia ini kepada siapa pun."
"Benarkah?" tanya Fee. Dadanya terasa berbunga-bunga karena Ren membuat statusnya jelas bagi semua staf yang bekerja kepadanya.
"Tentu saja."
"Ahh... aku mencintaimu!" Secara spontan Fee memeluk pinggang Ren dan membenamkan kepalanya ke dada pria itu.
Untuk sesaat Ren tertegun mendengar ucapan Fee yang tiba-tiba dan betapa gadis itu berinisiatif memeluknya. Walaupun mereka sudah menikah.. tidak ada satu pun dari mereka yang telah menyatakan cinta.
Bagi Ren, ia menikah dengan Fee karena merasa itu adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Mereka telah tidur bersama, ia merasa nyaman bersama gadis itu, dan Fee selalu membuatnya bisa beristirahat dan tidur dengan baik.
Selama hampir 30 tahun ia hidup di dunia ini, ia belum pernah bertemu gadis seperti dirinya, dan ia merasa tidak ada yang lebih baik dari Fee untuk dirinya. Karena itulah, sebagai lelaki yang menghitung segala sesuatunya secara praktis, ia merasa menikahi Fee adalah pilihan yang terbaik.
Tetapi apakah ia juga mencintai gadis ini? Ia tidak dapat menjawab.
Ren akhirnya membelai rambut gadis itu dan mengecup keningnya. "Kau tidak mau melihat kamarku yang sudah direnovasi ulang selama kita pergi?"
"Oh.. iya.. benar juga. Aku hanya berhubungan dengan kontraktor lewat telepon dan mereka mengatakan semuanya sudah beres. Tapi aku belum mendapatkan gambar hasil akhirnya." Fee menarik tangan Ren dengan penuh semangat untuk menuju ke kamarnya.
Sebelum mereka pergi ke Monaco, ia telah berkonsultasi dengan desainer interior dan membahas tentang merombak kamar pribadi Ren yang besar untuk menjadi kamar mereka berdua.
Karena pria itu hampir tidak pernah menempati kamarnya sendiri dan tidak peduli dengan isinya, Fee merasa perlu untuk menata ulang dan membuatnya sesuai dengan kepribadian mereka berdua.
Ketika mereka membuka pintu kamar dan masuk ke dalamnya, Fee berdecak beberapa kali. Semua yang ada di dalam kamar ini ternyata persis seperti keinginannya.
Warna yang dipakai adalah dominan cokelat dan hitam, sehingga terlihat sangat kalem. Penataannya mengunakan banyak aksen kayu dan terlihat memberikan aura damai dan menenangkan.
Ada dua buah tanaman indoor yang cukup besar di pot keramik yang diletakkan di ujung jendela. Saat siang hari, tirai tebal yang menutupi jendela besar dari lantai hingga langit-langit itu akan dibuka ke samping sehingga akan memberi cahaya matahari yang cukup bagi kedua tanaman itu untuk tetap tumbuh dengan sehat.
Tempat tidur yang dipilih Fee bermodel klasik dengan empat tiang yang kukuh dan diberi kelambu yang elegan. Ukuran ranjangnya sangat besar dan memberi ruang personal yang memadai bagi masing-masing.
Di dalam kamar ada dua buah sofa membaca yang sangat nyaman dan sebuah lemari kecil berisi buku-buku yang paling sering mereka baca. Di sudut ruangan ada sebuah meja kerja dan kursi kerja yang nyaman, jika Ren ingin sewaktu-waktu bekerja.
"Ini bagus sekali," komentar Ren.
"Kau suka?" tanya Fee dengan mata berbinar-binar.
"Aku suka." Ren mengangguk. "Sempurna. Kurasa aku akan mulai banyak menghabiskan waktu di kamar."
"Ahhh.. aku senang mendengarnya."
Mereka berdua mengelilingi kamar itu dan memeriksa setiap sudutnya dan mengangguk-angguk puas.
"Kalau begitu.. aku akan mulai memindahkan barang-barangku dari kamar ke sini," kata Fee.
"Tidak perlu, biarkan staf saja nanti yang melakukannya," kata Ren sambil memeluk pinggang Fee yang hendak berjalan keluar kamar. "Kau tidak capek setelah melakukan perjalanan?"
Fee menggeleng. "Tidak, aku tidak capek..."
"Hmm.. begitu ya? Berarti tubuhmu lebih kuat daripadaku. Entah kenapa rasanya aku lelah sekali." Ren memejamkan matanya dan memijat keningnya. "Aku mau berbaring dulu."
"Astaga.. kau capek? Jangan-jangan kau sakit? Apa perlu kupanggil dokter?" Fee menjadi cemas saat melihat Ren berjalan terhuyung-huyung ke tempat tidur dan kemudian membaringkan dirinya.
Fee segera menghampiri Ren dan menyentuh keningnya. "Astaga.. tubuhmu demam. Kenapa tadi tidak terasa?"
"Tidak perlu panggil dokter. Aku akan baik-baik saja setelah tidur." Ren memejamkan matanya dan melambai, agar Fee tidak direpotkan. "Kau di sini aja, temani aku.. biar aku bisa tidur."
"Baiklah..." Fee mengangguk, walaupun wajahnya masih terlihat cemas.