The Alchemists: Cinta Abadi

Bertemu Caroline Wendell



Bertemu Caroline Wendell

1[Aku senang kau menyukainya. Kalau kau memerlukan apa pun, jangan sungkan-sungkan memintanya.]     

Sambil tersenyum London mengirim SMS balasan kepada L. Ia merasa sangat senang dengan perubahan L akhir-akhir ini. Setelah mereka bicara secara terbuka dua hari lalu, L benar-benar bersikap lebih dewasa.      

Ia sungguh berharap sebulan kemudian, saat mereka kembali bertemu dan membicarakan hubungan di antara keduanya, L masih tetap seperti ini. Ia menahan diri tidak bertanya-tanya lebih jauh karena ingin memberikan privasi dan waktu bagi L untuk sendiri.     

Selama L tinggal di Suite yang disediakannya dan keselamatannya dijaga oleh Dave, maka ia sudah merasa tenang.     

[Terima kasih.]     

Balasan dari L masuk dan membuat pria itu kembali tersenyum.      

[Selamat beristirahat.] Ia membalas lagi.     

London lalu menaruh ponselnya dan kembali bekerja. Sepuluh menit kemudian kembali terdengar bunyi SMS masuk. Karena mengira L kembali mengiriminya pesan, London memungut ponselnya dengan gembira.     

Wajahnya seketika berubah masam ketika melihat ternyata nama pengirim adalah Jan Van Der Ven.     

[John Wendell dengan senang hati akan datang ke lounge Rockstar di Hotel St. Laurent nanti malam pukul 8 malam.]     

London hanya mendengus lalu menaruh kembali ponselnya di meja dan meneruskan pekerjaannya.     

***     

L terbangun oleh suara tangis Lily yang lapar. Ia buru-buru membuka mata dan bangun lalu menggendong Lily.     

"Ssshhh... kamu sudah bangun, Sayang?" Dengan penuh kasih sayang L menyusui Lily. Ia duduk di kursi besar di tepi jendela yang memberikan pemandangan ke jalanan pusat kota London yang sedang dibasahi hujan. Ia tertidur cukup lelap sehingga tidak menyadari bahwa sedari tadi di luar sedang turun hujan.     

L memandang keluar sambil termenung. Di saat seperti ini ia merasa betul-betul sendiri. Cuaca di luar jendela yang terlihat gelap membuat perasaannya menjadi semakin murung. Ia tidak mau membuka internet sama sekali karena di mana-mana ia menemukan hujatan dan gosip bombastis tentang kehidupan pribadinya.     

Kemarin saat ia memutuskan untuk membawa Lily bersamanya ke kantor Brilliant Mind Media, ia tidak mengira pernyataannya kepada Masawe Richards mengenai kehamilannya telah menyebar begitu luas dengan dampak yang sangat besar.     

Luxe Magazine telah menghapus berita itu beberapa jam kemudian, tetapi bagaikan bola salju, berbagai gosip lainnya dan bahkan gosip-gosip lama yang dulu pernah terkubur kini kembali naik ke permukaan.     

Semua orang menertawakannya dan menghujatnya karena gosip-gosip yang bahkan tidak memiliki kebenaran. L bahkan tidak lagi dianggap sebagai artist yang pantas untuk menjadi ambassador Virconnect yang selama ini membuat wajahnya tampil di mana-mana.     

"Biarkan saja, tidak ada yang namanya publisitas buruk," kata Pammy menghiburnya saat mereka bicara kemarin. "Setelah beberapa tahun, publik akan lupa hal-hal seperti ini. Yang penting kau jangan berhenti berkarya."     

Itulah sebabnya L tidak ingin berdiam diri saja di London sambil membereskan urusannya dengan Danny Swann. Ia masih menulis musiknya dan berlatih menyanyi saat ia tidak sedang mengurusi Lily. Ia juga sudah meminta Pammy untuk datang menemaninya agar ia bisa tetap bekerja.     

Pukul 6 sore, telepon di ruang tamu berbunyi dan resepsionis memberitahunya bahwa Pammy sudah tiba di lobi.     

"Tolong antarkan manajerku ke atas, ya. Terima kasih." Suasana hati L yang tadinya murung kini berubah menjadi membaik. Ia menaruh Lily yang terkantuk-kantuk di tempat tidur bayi yang disediakan pihak hotel lalu bergegas menyambut Pammy.     

Sepuluh menit kemudian pintu Suite diketuk dan ketika L membukanya, ia melihat manajernya berdiri di depan pintu dengan membawa sebuah koper kecil.     

"Ahh.. terima kasih kau sudah mau datang, Pammy. Aku sangat kesepian di sini," L memeluk Pammy dan mempersilakannya masuk.     

Sepasang mata Pammy tampak terbelalak ketika melihat betapa mewahnya suite tempat tinggal L di London. Ia berjalan mengitari setiap ruangan untuk mengaguminya, sebelum kemudian kembali menghampiri L.     

"Tempat ini bagus, sekali..." bisiknya dengan nada tidak percaya. "Kita sekalian liburan saja di London sebulan. Aku tidak keberatan menemanimu..." tukas Pammy dengan penuh semangat. "Kau bisa bekerja dari sini kan? Kita tidak ada undangan tampil di mana pun sampai bulan depan."     

"Ah... kau jangan membuatku malu, Pammy. Orang akan mengira aku ini artis kampungan yang tidak pernah menikmati hotel mewah," kata L sambil tertawa kecil.     

"Uhm... seingatku, aku yang memesankan hotel untukmu. Kamar yang kupesan adalah kamar eksekutif biasa. Kenapa bisa berubah menjadi Suite seluas ini?" tanya Pammy keheranan. Ia lalu menatap L dengan pandangan penuh selidik. "Apakah... kau di-upgrade?"     

L hanya mengangguk. "Benar. Dia yang menghubungi pihak hotel untuk mengurusiku selama aku di sini"     

"Ah.. baik sekali dia." Wajah Pammy tampak berseri-seri. "Semoga ini artinya kalian akan benar-benar bisa rujuk."     

"Kurasa dia melakukan ini untuk Lily, bukan untukku." L hanya mengangkat bahu mendengar optimisme Pammy. "Ngomong-ngomong, kau sudah makan malam?"     

"Belum. Tentu saja belum. Aku langsung ke sini dari bandara. Kau mau memesan makanan untuk dimakan di sini?"     

"Iya, aku mau memesan makanan."     

L mengambil telepon yang tergantung di dinding dan memesan kepada room service untuk menyiapkan makan malam bagi mereka.     

"Selamat sore. Terima kasih atas teleponnya Anda. Apa yang bisa kami bantu?"     

"Kami mau memesan makan malam di kamar untuk dua  orang."     

"Baik, Nona. Kami akan mengirim chef ke Suite Anda," jawab petugas operator dengan ramah.     

"Eh.. apa? Chef?"     

L dan Pammy saling bertukar pandang karena kaget. Mengirim chef pribadi untuk memasak makan malam mereka? Wahh... ini benar-benar merupakan kejutan yang tidak terduga.      

Ketika L menutup telepon, ia menatap Pammy yang matanya terbelalak.     

"Kenapa sih kau tidak langsung menerima lamarannya waktu itu?" tanya Pammy tiba-tiba. "Kau selalu ingin menikah dengan orang super-kaya, kenapa sekarang saat kau sudah menemukan orangnya, kau malah tidak mau menikah dengannya? Aku tidak mengerti..."     

L hanya mendesah pendek, tidak bersedia  menjawab. Ia telah menjelaskan kepada London semua alasan di balik sikapnya dulu, dan ia tidak bersedia mengulanginya kembali hanya untuk memuaskan rasa keingintahuan Pammy.     

Chef yang diperintahkan untuk mengurusi makan malam mereka tiba sepuluh menit kemudian dengan dua orang asisten chef. Mereka menanyakan makanan yang disukai L dan Pammy, lalu segera mulai bekerja. Segera bau wangi masakan tercium di udara suite mereka.     

Kedua gadis itu hanya bisa terbengong-bengong saat chef selesai menyiapkan makan malam mereka dan pergi, digantikan oleh dua orang pelayan pribadi yang menata meja makan dan membereskan makan malam mereka.     

Begini rupanya rasanya menjadi  orang sangat kaya... pikir keduanya.     

***     

Semnentara itu di penthouse, London makan malam bersama Marc. Ia tidak ingin makan sendiri, maka ia menyuruh Marc untuk menemaninya. Setelah makan malam, ia akan bertemu John Wendell dan berpura-pura membahas tentang proyek mereka bersama, agar John mengalihkan targetnya dari Danny Swann menjadi London Schneider.     

Ia ingin sekali bisa mengundang John Wendell secara langsung ke Berlin agar ia bisa memberi L kesempatan untuk membuat perhitungan kepada John atas kematian keluarganya. Namun, tentu saja ia tidak boleh terlihat memaksa.     

Setelah selesai makan malam, ia lalu mandi dan berganti pakaian. Pukul delapan kurang seperempat ia sudah berjalan turun dari penthouse menuju lounge Rockstar di lantai dasar untuk menemui John Wendell.     

"Nanti kalau ada tamu yang bernama John Wendell, tolong antar ke mejaku," katanya kepada usher lounge yang segera mengangguk dengan penuh semangat.     

Pria itu lalu duduk di mejanya yang bertanda "Reserved" dan pelayan dengan sigap sudah menuangkan minuman untuknya. London lalu duduk santai di kursinya sambil menyesap wine. Jam sudah menunjukkan tepat pukul delapan malam. Seharusnya John Wendell sudah tiba di hotel ini.     

"Selamat malam. Anda Tuan Schneider?"     

Tiba-tiba terdengar sebuah suara lembut dari sampingnya, membuat London mengangkat kepala. Ia bisa segera mengenali gadis yang baru datang ini dari beberapa foto Caroline Wendell yang diperlihatkan Jan kepadanya.     

Namun demikian, ia tetap berpura-pura tidak tahu siapa Caroline dan memperlakukan gadis itu acuh tak acuh.     

"Anda siapa?" London balik bertanya.     

"Namaku Caroline. Aku mewakili ayah hendak memohon maaf karena tiba-tiba ayah tidak dapat datang. Barusan ibuku meneleponnya. Ia sesak napas dan perlu dibawa segera ke rumah sakit." Caroline tampak menyesal. "Tetapi ayah tidak ingin melanggar janjinya kepada Tuan, karena itu ia memintaku datang untuk menyambut Anda."     

Sesuai dugaanku, pikir London. John Wendell tidak akan melewatkan kesempatan untuk menyodorkan anak perempuannya kepada lelaki kaya dan berkuasa yang menurutnya dapat menjadi target baru.     

"Hmm.. baiklah kalau begitu. Senang bertemu denganmu, Caroline." London memberi tanda agar Caroline duduk di sampingnya. "Mau minum apa?"     

"Aku mau minum apa yang Tuan minum," jawab Caroline sambil tersenyum manis. Dengan sikap anggun ia lalu duduk di samping London.     

"Hmm... tidak usah panggil Tuan," kata London dengan suara yang berubah menjadi ramah. "Rasanya usia kita tidak jauh berbeda. Kau boleh memanggil nama depanku. Namaku London, seperti nama kota ini."     

"Ah.. aku tidak berani. Anda adalah orang penting, aku bukan siapa-siapa..." balas Caroline sambil tersenyum malu-malu.     

Sebenarnya dalam hati London ingin sekali memutar matanya melihat sikap Caroline yang dibuat-buat agar terlihat rendah hati, tetapi ia berhasil menahan diri.     

"Hmm... Kau terlalu berlebihan. Panggil namaku saja. Aku memaksa," kata London lagi.     

Caroline menatap London dengan pandangan mata berseri-seri dan akhirnya mengangguk sambil tersenyum lebar. "Senang bertemu denganmu, London Schneider."     

Ia mengulurkan tangannya dan London menyambutnya. Keduanya berpegangan tangan agak lama, sebelum akhirnya Caroline menarik tangannya dengan wajah tersipu-sipu.     

Ahh.. ternyata semudah ini membuat seorang wanita besar kepala, pikir London. Ia bisa melihat dari sikap Caroline yang tampak sangat senang dan tersipu-sipu, betapa gadis itu sangat tersanjung atas perhatian dan sikap ramah London terhadapnya. Pria itu tidak menyadari bahwa ketampanannya dan latar belakang keluarganya memang sangat menarik hati banyak wanita.     

L tidak segampangan ini. Ia tidak mudah digoda oleh laki-laki, bahkan walaupun orangnya setampan dan sekaya aku.     

Pikiran London kembali melayang kepada gadis judes itu. Rindunya kepada L menjadi semakin bertambah-tambah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.