The Alchemists: Cinta Abadi

Apakah Kita Berteman?



Apakah Kita Berteman?

1"Apa yang kau inginkan?" tanya Danny sambil menerima gelas berisi wine dari tangan L. Gadis itu menoleh ke arah salah seorang pengacaranya dan mengangguk.     

Farah Burnham balas mengangguk lalu mendeham. Ia mengeluarkan sebuah dokumen dan menunjukkannya kepada Danny Swann. Pria itu membukanya dan membaca dengan kening berkerut.     

Seketika wajahnya berubah.     

"Marianne... kau..?" Ia menatap L dengan pandangan shock.     

"Aku tahu yang sebenarnya, jadi aku kemari untuk mengurus warisan bagianku," kata L dengan suara dingin.     

Danny buru-buru berdiri dan menghampiri L. "Kau salah menduga. Aku hanya ingin menjagamu, seperti permintaan terakhir kakekku... Aku benar-benar ingin menikah denganmu."     

Gadis itu menepis tangan Danny yang hendak menyentuh bahunya. "Jangan sentuh aku! Kau bisa menipuku dengan kata-kata manis dan bantuanmu beberapa bulan lalu. Tetapi sejak kau mengancamku dengan membuka rahasiaku ke muka umum dan menjatuhkan karierku.. aku sudah tahu siapa kau yang sebenarnya."     

Danny tahu sia-sia berusaha membohongi L lebih lanjut. Ia sudah terlanjur mengancam L berkali-kali agar menikah dengannya. Ia menyipitkan mata menahan kemarahan. Untuk sesaat Danny tidak tahu harus berbuat apa. Kejutan ini datang terlalu tiba-tiba dan ia belum siap menghadapinya.     

"Tuan Swann, kami sudah membuat semua catatan harta yang ada dalam estate keluarga Swann. Nona De Maestri sedang mempelajarinya dan kami akan memutuskan bagian yang akan kami minta dari daftar itu. Kalau Tuan sudah mengerti, kami akan mengadakan janji temu dengan pengacara Anda untuk membahas pembagian harta yang adil." Farah bangkit berdiri dan menyerahkan kartu namanya kepada Danny. Pria itu menerimanya dengan wajah masam.     

Danny melempar gelas berisi wine di tangannya dan menatap L dengan pandangan seolah hendak membunuhnya. "Kau tidak akan bisa merebut harta keluargaku dengan mudah. Lihat saja..."     

Sambil mendengus ia berbalik keluar dan membanting pintu di belakangnya dengan keras.     

Semua orang yang ada di dalam Suite saling berpandangan.     

"Hmm... dia tidak bisa menerimanya dengan baik," komentar Pammy. L mengangguk dan menghabiskan winenya dengan tangan gemetar. Walaupun ia bersikap dingin dan seolah tidak peduli, di dalam hati ia merasa jerih. Tatapan Danny Swann tadi sangat menakutkan.     

Apakah Danny akan mempertahankan hartanya dengan cara apa pun? Kalau begini... bisa jadi ia akan menggunakan cara licik untuk menyingkirkan L agar tidak ada lagi penghambat baginya untuk mengambil semua harta warisan dari kakeknya...     

Pikiran ini membuat L sangat takut.      

"Terima kasih kalian berdua sudah datang kemari. Aku akan mempelajari daftar aset keluarga Swann dan mendiskusikannya dengan pengacaraku di Jerman. Nanti kita bisa berkoordinasi lagi," kata L akhirnya.     

Kedua pengacara tersebut mengangguk. Mereka membereskan dokumen-dokumen mereka dan permisi keluar. Setelah hanya ada mereka bertiga di Suite, barulah L menjatuhkan dirinya ke sofa dengan tubuh gemetaran.     

"Heii.. kau kenapa? Ada apa?" tanya Pammy keheranan. Ia duduk di samping L dan mengusap bahunya untuk menenangkan gadis itu.     

"Pandangan matanya tadi... dia seperti ingin membunuhku, Pammy. Aku takut..." bisik L. "Kau tahu orang akan melakukan apa pun demi..."     

Seketika sepasang mata L membulat.     

Entah kenapa tiba-tiba ia teringat akan kematian orang tua dan adiknya yang misterius. Hingga kini ia belum dapat menemukan jawaban atas misteri kematian keluarganya. Polisi tidak dapat menemukan pelakunya dan motif yang mendasarinya.     

Apakah jangan-jangan peristiwa pembunuhan itu berkaitan dengan masalah harta seperti sekarang ini? Jantung L berdetak sangat kencang saat memikirkan bahwa sebenarnya yang menjadi incaran para pembunuh waktu itu adalah dirinya, karena ialah yang menjadi pewaris setengah harta George Swann...     

Ahh.. tapi tidak mungkin. Waktu itu Danny sendiri masih remaja. Tidak mungkin kan, dia yang merencanakan pembunuhan itu?     

Aku terlalu paranoid... pikir L.     

Ia berusaha mengenyahkan pikiran itu dari benaknya. Tetapi semakin lama ia berusaha melupakannya, semakin kuat kecurigaan itu menempel erat.     

Siapa yang bisa membantunya mencari tahu?      

Dahulu L bertekad untuk mencari suami yang sangat kaya dan sangat berkuasa untuk membantunya menyelidiki kematian keluarganya. Ia sudah melupakan tekad itu karena terlalu banyak masalah yang menyelubungi hidupnya. Ia juga tidak mau membesarkan Lily dalam dendam.     

Tetapi, hari ini... saat melihat pandangan membunuh Danny Swann terhadapnya, L merasa bergidik. Ia tak dapat mengenyahkan firasat buruk itu.     

Rasanya ia akan menjadi gila kalau ia tidak membereskan masalah satu ini. Ia hanya ingin hidup tenang. Tetapi ia tidak mampu membereskannya sendiri.     

Kepada siapa ia dapat meminta bantuan...?     

Saat pandangannya beredar ke seisi ruangan dalam kekalutan, matanya beradu pandang dengan Lily.     

Ah!     

London Schneider...     

Ayah Lily tentu akan membantunya demi Lily... L akhirnya menyadari bahwa London Schneider yang selama ini selalu menjaganya dan melakukan apa saja untuknya, pasti bersedia membantunya untuk menyelidiki kematian keluarganya.     

Ia memang sudah berubah dan tidak lagi mencari calon suami yang sangat kaya dan berkuasa. Tetapi bukankah ia bisa meminta bantuan pria itu sebagai teman? Minimal sebagai orang tua bersama untuk bayi kecil mereka.     

Bagaimanapun yang dibunuh adalah kakek nenek dan paman Lily.     

Akhirnya L mengambil keputusan. Ia mengambil ponselnya dan menelepon London. Pria itu baru saja mendarat kembali di Berlin dan sedang bersiap untuk pulang ke penthouse.     

"Hei, ada apa?" Terdengar suaranya yang hangat di ujung telepon. "Kau sudah baikan? Aku tidak akan memanggilkan dokter lagi, tetapi aku berharap kau beristirahat."     

L menarik napas panjang.     

"Aku baik-baik saja. Terima kasih atas perhatianmu. Maafkan aku, tadi aku sedang emosional." Suara gadis itu terdengar tenang dan tertata. "London, apakah kita ini teman?"     

London mengerutkan keningnya mendengar kata-kata L. Ia tidak mengerti arah pertanyaan gadis itu. "Tentu saja kita teman. Kita lebih dari teman. Kau adalah ibu dari anakku, dan aku mencintaimu."     

"Terima kasih... Aku rasa sebaiknya kita menyimpan perasaan-perasaan lain untuk saat ini. Kau juga sedang berkencan dengan wanita lain, jangan sembarangan mengumbar kata cinta," balas L. Suaranya kembali terdengar lelah. "Begini.. karena kita teman, aku mau meminta bantuan darimu. Kuharap kau bersedia membantuku."     

"Tentu saja. Aku akan melakukan apa pun untukmu.." London terdengar sangat bersemangat.     

Ya Tuhan! Ia mengingat-ingat dan baru menyadari bahwa selama ini L sama sekali TIDAK PERNAH meminta apa-apa darinya. Ia tidak pernah meminta suatu benda, pertolongan, atau apa pun.     

Jadi mendengar kali ini gadis itu meminta bantuannya... London benar-benar merasa senang. Setelah pembicaraan mereka minggu lalu tentang betapa L merasa kesulitan dan tergganggu karena London bersikap seperti Sinterklas baginya, pemuda itu menjadi sangat berhati-hati dalam melakukan sesuatu bagi L agar tidak menyinggungnya.     

Ia sudah menanti-nantikan saat L mengucapkan kata-kata ini: "Aku perlu bantuanmu."     

Ahh... senang sekali!     

"Apa yang kau inginkan?" tanya London sekali lagi.     

L mendesah pelan dan akhirnya menjawab. "Aku ingin tahu siapa pembunuh keluargaku..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.