Swords Of Resistance: Endless War

Bab 84, Penyergapan, Kaburnya Sang Penyihir Merah 



Bab 84, Penyergapan, Kaburnya Sang Penyihir Merah 

3Elizabeth dan Kanselir Leopold tengah menikmati nasi goreng yang hangat. Sementara Simone melipat kedua tangannya dan memasang ekspresi wajah yang cemberut.     

"Kenapa tidak dimakan, Simone? Nanti keburu dingin," kata Elizabeth. "Sepertinya dia sedang marah," pikir Elizabeth yang melihat Simone memasang ekspresi wajah cemberut.     

Simone menunjuk Kanselir Leopold, "Bisakah lelaki brengsek seperti dirinya enyah untuk sementara. Aku benci dengan lelaki yang tidak tahu diri."     

"Memang ada apa di antara kalian?" tanya Elizabeth menatap suaminya.     

"Nanti kau juga akan tahu dengan sendirinya," kata Kanselir Leopold yang beranjak pergi sambil membawa sepiring nasi goreng, dan segelas air putih hangat.     

Setelah Kanselir Leopold pergi, Simone segera memakan nasi goreng tersebut dengan lahap. Seolah-olah seperti dia tidak makan selama beberapa hari.     

.     

.     

Kanselir Leopold tengah berjalan sambil berpegangan tangan di tengah rerumputan yang hijau dan mengikuti aliran sungai bersama dengan Elizabeth Malherbe.     

"Kenapa Simone marah padamu?" tanya Elizabeth yang sangat penarasan.     

"Itu karena aku berkata, 'Kau terlihat sedikit kekanak-kanakan meskipun sudah berusia empat dekade," jawab Kanselir Leopold dengan jujur.     

Elizabeth Marlherbe secara spontan menjitak kepala suaminya dengan keras. "Idiot! Tentu saja perempuan akan marah kalau sudah membahas masalah umur! Ditambah kau mengatakan bahwa dia bersikap kekanak-kanakan! Kau juga sering bersikap kekanak-kanakan! Pantas saja-" kalimat bernada keras yang diucapkan oleh Elizabeth Malherbe terhenti untuk sementara. "Pantas saja Nikolaus sering menyebut kita sebagai pasangan dengan masa kecil kurang bahagia. Sehingga baik kita sering menghabiskan waktu kencan di taman bermain," sambung Elizabeth dengan suara pelan dan lirih.     

"Faktanya memang demikian. Walaupun kita berhasil melewati masa kecil yang kurang bahagia. Setidaknya sebagai seorang suami, aku akan berusaha untuk menciptakan keluarga bahagia, baik untuk Keluargaku, maupun Keluarga Rakyatku," balas Kanselir Leopold.     

"Aku sangat bahagia hidup bersama dengan kalian."     

Sementara itu Simone tengah bermediatasi di antara pepohnoan yang rindang di dalam hutan terdekat untuk menenangkan pikirannya dan menyatukan diri dengan alam. Dengan bermeditasi di tengah alam adalah cara terbaik untuk berkomunikasi dengan alam merenungi segala ciptaan-Nya, dan menyukuri akan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa.     

Angin yang sejuk berhembus sepoi-sepoi menembus hutan dan melewati setiap pepohonan yang tinggi dan berdaun hijau nan rindang. Angin-angin itu berhembus seolah-olah memberikan sebuah bisikan, di mana bisikkan tersebut mengucapkan tiga buah kata yang ditangkap oleh pendengaran Simone, yaitu, "Barbara Luisa Hackenholt."     

Simone sedikit terkejut mendengar namanya, mengingat dia merupakan gurunya semasa Sekolah Menengah Atas Penyihir di Glasgow, Inggris Raya.     

Dia dikenal sebagai "Penyihir Merah," dikarenakan warna rambutnya yang berwarna merah, dan selalu menggunakan pakaian yang serba merah. Ketika mengunjungi Sokółka beberapa hari yang lalu, Simone sempat melihatnya di jalanan. Hanya saja dia ragu untuk menyapa sang Guru, yang sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri, mengingat perbedaan usia antara mereka hanya sepuluh tahun.     

Barbara Luisa Hackenholt dikenal sebagai Wizard yang sangat sakti, di mana dia bisa mengamati & mengawasi orang dari jauh, memasuki & memanipulasi mimpi orang, membuat sebuah wilayah berkabut, dan bergerak menembus dimensi.     

Suasana mendadak sepi di mana angin tidak berhembus sama sekali. Hening dan terasa mencekam walaupun di siang hari. Sebuah kekuatan yang besar dirasakan oleh Simone tengah bergerak ke arahnya. Dari balik pepohonan, beberapa perempuan berpakaian tradisional khas Polandia berwarna putih dengan tubuh yang tinggi, badan yang kering, bersenjatakan sabit, dan berwajah menyeramkan. Jumlah mereka ada sekitar sembilan orang. Mereka adalah południca.     

Simone segera berdiri dan menarik katana yang dia bawa. Matanya menatap tajam ke sembilan południca yang berjalan perlahan menghampirinya.     

[Południca, yaitu makhluk mitologi Slavia, khususnya Eropa Timur.]     

"Majulah kalian, para iblis terkuruk!"     

Kanselir Leopold segera mencabut pedangnya, ketika ada sembilan południca yang muncul secara tiba-tiba mengepung dirinya, dan istrinya.     

"Tetap di belakangku, Eliz. Aku akan melindungimu dan kau tidak perlu mengkhawatirkan Simone."     

Para południca segera menyerang Kanselir Leopold dan Elizabeth Malherbe. Pedang sang Kanselir saling beradu dengan sabit-sabit musuh dan mengeluarkan percikkan api. Elizabeth juga tidak mau tinggal diam, mengingat dia merupakan pemegang sabuk hitam Juijutsu. Elizabeth membanting salah satu południca dan iblis itu menindih tubuh salah satu di antara mereka. Elizabeth mengambil sabit milik salah satu musuh dan bertarung melawan para południca yang menyerangnya.     

"Sepertinya tidak sia-sia kau sering berkelahi dengan Nikolaus."     

"Mereka lebih menyebalkan daripada Nikolaus," balas Elizabeth menebas leher salah satu południca, sehingga iblis itu menghilang layaknya debu yang ditiup oleh angin.     

Salah satu południca berlari dan akan menyerang Elizabeth dari belakang. Kanselir Leopold langsung menusuk kepala iblis itu dan menendang badannya sehingga iblis itu menghilang layaknya debu yang ditiup oleh angin.     

Pertarungan sengit itu berakhir dengan baik, di mana Kanselir Leopold, dan istri pertamanya berhasil membersihkan seluruh południca yang menyerang mereka. Sabit yang digunakan oleh Elizabeth juga mendadak menghilang pasca dikalahkannya seluruh południca.     

"Anggap saja mereka adalah Nikolaus. Jadi aku ingin sekali menghajar mereka," kata Elizabeth.     

Kanselir Leopold tertawa mendengar kalimat yang dilontarkan oleh istri pertamanya. "Sebenci itukah kau dengan Nikolaus. Tapi hal itu juga wajar, mengingat dia selalu berbuat hal konyol terhadapmu. Tetapi itu adalah bukti bahwa kalian berdua adalah sahabat."     

"Orang idiot itu juga sahabatmu, Leo!" balas Elizabeth dengan wajah cemberutnya.     

"Tapi dia atasanku," kata Kanselir Leopold tersenyum.     

Elizabeth segera menarik tangan kanan suaminya, "Ayo, kita kembali ke rumah. Aku yakin, Simone telah menunggu kita."     

Katana yang dia bawa berhasil menjatuhkan seluruh południca dalam sebuah pertarungan yang sengit di tengah hutan. Kesembilan południca dengan tubuh yang telah terpotong-potong itu, segera menghilang layaknya debu yang ditiup oleh angin.     

Simone mengarahkan katananya ke arah selatan, "Sekarang kau tidak bisa main-main denganku lagi, Master Barbara."     

Barbara Luisa Hackenholt sedikit terkejut atas reaksi dari Simone. Dia tidak menyangka bahwa mantan muridnya telah sadar akan dirinya yang merupakan orang di balik layar dari setiap terror dan tragedi yang terjadi selama ini.     

"Aku senang kau telah menyadariku melalui berinteraksi dengan alam, Simone," kata Barbara yang tengah melihat Simone dari jarak jauh. "Bukankah aku selalu menjelaskannya padamu untuk selalu berinteraksi dengan alam dan merenungi kuasa Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi sayangnya dirimu terlambat untuk menyadarinya."     

Mereka bertiga berkumpul di rumah inap, tepatnya di ruang tengah. Setelah selesai dari kesibukannya masing-masing, walaupun mereka sempat menghadapi serangan dari para południca. Simone mengawali pembicaraan dengan mengajukan sebuah pertanyaan.     

"Apakah kalian pernah mendengar nama, Barbara Luisa Hackenholt?"     

"Namanya cukup familiar di kalangan para Wizard. Bukankah dia gurumu waktu kau Sekolah Menengah Atas Sihir di Glasgow," jawab Kanselir Leopold.     

"Sekarang dia ada di sini dan aku masih belum tahu motif apa yang dia lakukan terhadap kita," balas Simone. "Tetapi aku dengar bahwa dia terlibat dalam sebuah sekte Kristen yang sesat dan tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Namanya menghilang ditelan arus perkembangan jaman, mengingat orang-orang bernama belakang Hackenholt bukanlah dirinya saja."     

"Tenanglah, kalian tidak perlu khawatir. Semua akan baik-baik saja. Percayakan pada mereka," kata Kanselir Leopold dengan begitu tenang dan santainya.     

"Kalau Leo sudah berkata demikian, aku yakin semua akan baik-baik saja. Percayalah," kata Elizabeth angkat bicara.     

Simone merasa sudah baikan dengan suaminya dan mungkin dia tidak perlu khawatir berlebihan atas apa yang terjadi. Mengingat Kanselir Leopold merupakan orang yang dekat dengan Dunia Intelijen dan sudah pasti Stasi akan segera bergerak dengan cepat.     

.     

.     

Mentari tenggelam di ufuk barat, dengan cahayanya yang berwarna jingga serta angin berhembus yang mulai mendingin. Suasana Kota Sokółka kembali ramai dengan banyaknya orang-orang yang keluar untuk mencari makan dan orang-orang yang pulang ke rumah mereka setelah seharian beraktifitas di kantor-kantor pemerintahan ataupun kantor-kantor perusahaan swasta.     

Seorang perempuan berambut pirang cokelat yang mengenakan celana jeans berwarna biru gelap, & jacket berwarna cokelat tua, dan mengenakan tas merek shopee marteen, memasuki sebuah toko. Perempuan tersebut membeli sebotol vodka dan segera mendatangi kasir yang dijaga langsung oleh Barbara Luisa Hackenholt.     

"Berapa harga sebotol vodka?" tanya seorang perempuan berambut pirang cokelat, berbadan ramping yang cukup tinggi yang bernama Irena Cackowska.     

"Semuanya dua mark," jawab Barbara Luisa Hackenholtp     

Irena segera membuka tasnya dan dia segera mengambil Pistol HK45, lalu menembak Barbara Luisa Hackenholt. Tembakannya mengenai pundak bagian kanan Barbara Luisa Hackenholt. Perempuan berambut merah itu sangat kaget akan serangan yang dia terima dan dia langsung mengerahkan sihirnya untuk membalas serangan Irena. Tubuh Irena terhempas keluar dari toko bersama dengan pintu toko yang telah rusak.     

Barbara Luisa Hackenholt menderita dua luka, yaitu di pundak bagian kanan, dan dadanya, tepatnya di bagian bawah leher.     

Barbara Luisa Hackenholt segera berlari dan keluar dari tokonya. Para Sniper yang berpenampilan layaknya Warga Sipil segera menembakinya. Salah satu peluru menembus pundak kiri Barbara Luisa Hackenholt, sehingga menjatuhkan dirinya.     

Barbara Luisa Hackenholt segera menghilang dari penglihatan para Sniper. Dia muncul secara tiba-tiba dari dalam bayang-bayang para Sniper dan dia langsung melumpuhkan para Sniper dengan mencolok kedua mata mereka. Para Sniper berjatuhan dengan mata mereka yang telah rusak dicolok oleh sang Penyehir Merah tersebut.     

Irena segera mencabut pecahan kaca yang berukuran besar yang tertancap di kaki kanannya. Pecahan kaca tersebut dia lempar dan secara perlahan luka itu sembuh dengan sendirinya.     

"Sialan, padahal sedikit lagi. Sepertinya hari ini aku kurang beruntung," umpat Irene.     

Sementara itu Barbara Luisa Hackenholt telah berada di sebuah hutan. Dia beristirahat di bawah sebuah pohon yang berukuran besar dengan daunnya yang sangat rimbun.     

"Hampir saja aku mati. Aku tidak menyangka bahwa perempuan di depanku itu seorang wizard. Sepertinya dia anggota Stasi. Mengingat sudah seminggu ini perempuan itu selalu beli makanan ringan dan minuman di tokoku. Hebat juga wizard itu, sehingga membuatku tidak bisa merasakan kekuatan dan kehadirannya. Kalau aku tidak beruntung, sudah dipastikan aku telah mati. Terima kasih, Tuhan, aku masih hidup. Mungkin aku harus serius terhadap mereka bertiga."     

.     

.     

"Kami sudah mengincar Barbara Luisa Hackenholt semenjak satu minggu yang lalu. Mengingat dia terlibat dalam pembunuhan beberapa Pendeta Kristen Katolik. Tadi sore, agen Brązowy telah menyergapnya dengan dibantu beberapa Polisi. Hanya saja, para Polisi mengalami kebutaan setelah dia mencolok mata keenam Polisi Militer yang menyergapnya," kata sebuah suara lelaki yang berat yang tengah menghubungi Kanselir Leopold. Suara itu milik Ladzimir Ulicionak, Ketua Stasi untuk wilayah Białystok.     

"Aku turut berduka cita atas keenam Polisi Militer tersebut. Terima kasih atas kerja kerasnya."     

"Sudah kewajiban bagi kami untuk menjaga keamanan, dan melindungi Rakyat Prussia dari berbagai macam ancaman. Semoga liburanmu menyenangkan, Yang Mulia Kanselir Leopold. Selamat malam."     

Panggilan telepon antara Kanselir Leopold dengan Ladzimir Ulicionak berakhir. Sang Kanselir bernafas lega setelah mengetahui bahwa Stasi sudah mengincar wizard tersebut semenjak satu minggu sebelumnya. Dia tidak menyangka bahwa operasi penyergapan itu hampir berhasil, hanya saja Irena sedang tidak beruntung sehingga tembakan yang dia lontarkan hanya melukai Barbara Luisa Hackenholt, yang kini tengah buron.     

Kanselir Leopold berjalan ke arah ruang tengah di mana kedua istrinya telah siap dengan membawa senjata. Simone bersenjatakan katana, sementara Elizabeth bersenjatakan pedang, dan pistol HK45.     

"Aku sudah tidak sabar ingin menangkap guruku," kata Simone. "Ada masalah yang harus diselesaikan antara kami berdua."     

"Aku mewakili para ibu-ibu yang anaknya menjadi korban kejahatan si Penyihir Merah. Wahai para ibu yang kuat dan gagah berani. Aku telah mewakili kalian untuk pembalasan," ungkap Elizabeth sambil mengelap pedangnya.     

Sang Kanselir keluar dari rumahnya dengan diikuti oleh kedua Permaisurinya. Mereka terlihat seperti seorang Pahlawan yang tengah berpetualang di dunia yang penuh dengan monster dengan ditemani kedua haremnya.     

Sebuah portal muncul secara tiba-tiba di depan mereka bertiga. Dari portal tersebut, keluarlah sosok Perempuan berambut merah, dengan pakaian yang serba berwarna merah.     

"Lama tidak berjumpa, Simone, muridku," sapa Barbara Luisa Hackenholt kepada muridnya.     

"Lama juga tidak berjumpa juga, Frau Barbara Luisa Hackenholt," balas Simone dengan menodongkan katananya ke arah sang Guru. "Apa yang membuatmu melakukan segala teror ini?"     

Barbara Luisa Hackenholt terkekeh mendengar pertanyaan dari mantan muridnya. "Aku hanya ingin bermain-main saja dan aku tidak menyangka bahwa Stasi yang menyergapku. Padahal aku sangat berharap kau bisa melakukannya. Tetapi sayangnya kau tidak begitu dekat denganku, walaupun kau adalah salah satu muridku yang hebat. Padahal di Prussia, LGBT sangat dilarang keras, tetapi kalian cukup romantis juga dalam menjalani hubungan Polyamory yang saling mencintai satu sama lain tanpa memandang jenis kelamin. Cukup menjijikkan juga yah, kalian semua."     

Sebuah garpu tanah tiba-tiba melayang ke arah Kanselir. Dia segera mencabut pedangnya dan menangkis garpu tanah tersebut hingga terbelah. Elizabeth segera mengarahkan pistol HK45 dan menembaki musuhnya. Penyihir merah itu menghilang dan dia muncul secara tiba-tiba di belakang Elizabeth dan menendangnya dengan keras sehingga Elizabeth terpental menghantam dinding kayu sebuah rumah.     

Kanselir Leopold terbakar amarah ketika istri pertamanya diserang oleh Barbara Luisa Hackenholt. Dia segera menyerangnya dengan melempar sebuah belati. Penyihir merah itu menahan belati yang dilempar oleh Kanselir Leopold, lalu dia menghilang, dan muncul secara tiba-tiba dari belakangnya, dan langsung menyerang Kanselir Leopold. Belati itu tertancap di pundak kiri Kanselir Leopold dan dia menghilang kembali secara tiba-tiba.     

"Di mana kau? Tunjukkan dirimu, Frau?!" teriak Simone.     

"Iä! Shub-Niggurath! Iä! Shub-Niggurath! Kambing hitam dari kayu dengan seribu Anak!" Barbara Luisa Hackenholt mengucapkan sebuah mantra sihir yang kuat untuk memanggil Dark Young of Shub-Niggurath.     

Sebuah portal yang diselimut oleh api berwarna biru gelap muncul di tempat itu. Dari portal itu keluarlah seekor monster mengerikan berukuran besar berkaki lima, dengan banyak mulut bergigi tajam pada setiap tentakel-tentakelnya yang panjang.     

Barbara Luisa Hackenholt melayang di udara sambil tertawa dingin dengan menatap rendah ketiga lawannya, "Kalian hanyalah butiran debu dan kalian akan berakhir di sini!"     

Beberapa tembakan meriam tank segera menghujani dark young of shub-niggurath. Monster itu merintih kesakitan hingga akhirnya jatuh, dan tewas setelah dihujani oleh meriam-meriam dari tiga unit tank Leopard-2, dan tiga unit tank T-90.     

Tank tersebut segera maju mendekati Kanselir Leopold dan kedua istrinya.     

Barbara Luisa Hackenholt begitu terkejut ketika dark young of shub-niggurath yang telah dia panggil dari neraka, dijatuhkan oleh para Tentara yang mengendarai tank. Tank-tank tersebut menembaki sang Penyihir Merah yang tengah melayang di udara.     

Barbara Luisa Hackenholt segera terbang menuju ke arah keenam tank yang tengah menembakinya dari arah selatan.     

Tubuh Barbara Luisa Hackenholt terjatuh ketika ratusan peluru menembus tubuhnya dan dia langsung tewas seketika. Keenam tank itu berbaris lurus, di mana tiga tank terdepan adalah tank Leopard 2, dan tiga tank di belakangnya adalah tank T-90.     

Keenam tank tersebut berasal dari Divisi Lapis Baja Pechenegs yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Hans Ronald Kleinheisterkamp.     

"Aku tidak menyangka bahwa kita diselamatkan para pemuda pemberani seperti kalian," kata Kanselir Leopold menatap keenam tank yang berhenti di depannya.     

Salah seorang Lelaki berambut pirang cokelat dan bermata cokelat dari etnis Belarus keluar dari tank T-90 yang dia kendarai, dengan diikuti oleh teman-temannya yang lain. Mereka segera berjalan menghampiri Kanselir Leopold dan mengerumuninya.     

"Kami sangat senang melihat Yang Mulia Kanselir beserta dengan keluarganya baik-baik saja," sapa Kryshtop Zablocki.     

"Sampaikan rasa terima kasih kami untuk Keluarga kalian, khususnya orang tua kalian yang memiliki nak-anak hebat seperti kalian. Dan sampaikan rasa terima kasih kami untuk Letnan Jenderal Hans Ronald Kleinheisterkamp yang memiliki Tentara hebat seperti kalian," balas Kanselir Leopold.     

Para Tentara dari Divisi Lapis Baja Pechenegs terlihat sangat senang menerima pujian dari Kanselir Leopold. Mereka sangat senang menerima pujian dari sang Kanselir yang merakyat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.