Swords Of Resistance: Endless War

Bab 54, Long March Tentara Siliwangi, Part 3



Bab 54, Long March Tentara Siliwangi, Part 3

0Tentara Siliwangi tiba di sebuah Desa yang telah dibakar oleh Belanda. Tentara Belanda membumi hanguskan Desa tersebut, sehingga tidak ada bangunan yang berdiri sama sekali. Ekspresi wajah Orang-orang terlihat sangat emosi melihat bukti kebiadaban Tentara Belanda.     

"Mereka tidak ada bedanya dengan Dai Nippon," kata Lodewijk yang pernah mengalami penyiksaan dari Jepang.     

"Jangan khawatir," kata Athena angkat bicara. "Mereka telah kabur terlebih dahulu. Sehingga tidak ada Penduduk Desa ini yang meninggal."     

Ekspresi penuh rasa syukur tergambar jelas pada wajah Anak-anak Siliwangi yang ada di Desa tersebut. Mereka melanjutkan perjalanan mereka ke arah barat.     

Dari kejauhan, seorang Tentara Belanda yang ada di pepohonan tengah melihat mereka. Dia memerintahkan rekannya untuk mengisi mortir. Mortir dia tembakkan, dan jatuh menghantam tanah yang tidak jauh dari Anak-anak Siliwangi.     

Para Tentara Siliwangi segera bergerak menuju ke tempat di mana para Tentara Belanda menyerangnya. Baku tembak terjadi antara mereka berdua. Athena dan Charla memutuskan untuk bergerak maju dengan bersenjatakan Katana. Mereka berdua menjatuhkan musuh-musuh mereka dengan hanya bersenjatakan Katana yang dirampas dari beberapa Tentara Republik yang sempat mereka lawan di wilayah Semarang dan sekitarnya.     

Tentara Belanda yang mereka temui telah mereka bunuh semuanya, tanpa menyisakan satupun yang hidup. Tentara Siliwangi hanya menyita beberapa makanan dan minuman dari Tentara Belanda yang barusan mereka lawan dan membiarkan senjatanya bergelatakan, mengingat Tentara Siliwangi memiliki stok persenjataan yang masih cukup.     

"Yakin kalian tidak menyita senjata mereka?" kata Charla menatap para Tentara Siliwangi yang berjalan sambil membawa makanan dan minuman yang habis mereka sita dari Tentara Belanda.     

"Kita sudah terlalu banyak mendapatkan senjata. Kami butuh makanan dan minuman. Untuk senjata, biarkan saja. Barangkali Warga sekitar sini yang akan memungutnya untuk jaga diri," balas Kapten Ujang.     

Tentara Siliwangi melanjutkan perjalanan mereka menaiki bukit dan menembus hutan. Sepuluh kilometer telah mereka lalui. Hingga mereka tiba di sebuah Desa. Penduduk Desa menyambut kedatangan Tentara Siliwangi.     

Pekikan kata, "Merdeka" terdengar begitu menggema dengan nada yang penuh semangat.     

Tidak seperti Tentara Siliwangi yang membaur degnan penduduk Desa. Athena, Charla dan Simone lebih memilih untuk menjauh daripada dengan mereka. Mereka bertiga tengah duduk di sudut desa dengan menutupi wajah mereka dengan kerudung.     

"Kenapa kalian tidak kumpul?" tanya seorang Perempuan muda berkulit sawo matang datang menghampiri mereka sambil menggendong Anaknya. Cara bicaranya terdengar halus layaknya Orang Jawa dari wilayah Solo.     

"Kalau mereka tahu bahwa kita ini Orang Europa. Ini akan membuat kalian terusir. Dengan begini, jauh lebih baik bagi kita semua," kata Athena. "Mengingat di mata mereka, Orang seperti kita adalah musuh. Ini adalah pilihan yang tepat."     

Athena memiliki pemikiran yang progressif yang berpikir ke depan. Sebelumnya, jika tiba di sebuah Desa. Athena mengusulkan ke Charla dan Ibunya untuk menutup wajahnya agar tidak dikenali sebagai Orang Europa. Ini semua dilakukan demi kebaikan diri mereka serta Tentara Siliwangi, di mana mereka bertiga menjadi bagian darinya.     

"Kalau Penduduk Desa mengajak kami bicara. Kami ingin Mba Ontosoroh yang menjadi lidah kami. Kami akan berbisik, dan Mba Ontosoroh yang menyampaikannya. Kalau mereka tahu cara bicara Bahasa Indonesia kami yang kaku bisa berbahaya bagi kita semua," balas Athena.     

Ontosoroh mengacungkan jempolnya pertanda siap.     

Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang memperhatikan mereka dengan penuh rasa curiga. "Kenapa mereka bertiga menutup muka mereka dengan kerudung?"     

Para Tentara Siliwangi tengah beristirahat di emperan rumah-rumah Penduduk Desa yang menjamu mereka dengan ramah. Sementara Kapten Ujang sedang berbicara santai dengan sang Kepala Desa di rumah sang Kepala Desa.     

"Kalau Desa kami sangat Pro-Republik," kata seorang Lelaki Tua yang berambut, berjenggot dan berkumis putih.     

Kata-kata yang keras, penuh amarah dan kasar terdengar dari luar. Kapten Ujang dan Kepala Desa segera keluar dan menghampiri sumber keributan.     

Penduduk Desa bersenjatakan Golok, dan Clurit mengepung Athena, Charla, Simone, dan Ontosoroh beserta Bayi yang tengah dia gendong. Bayi tersebut menangis dengan keras.     

"Usir Londo!"     

"Bunuh saja, Londo ini!"     

Kapten Ujang dan Kuwu Gatot datang menuju ke sumber keributan.     

"Ada apa ini?" tanya sang Kuwu dengan nada lembut.     

"Ada Londo, sialan!" jawab salah seorang Penduduk Desa dengan penuh amarah.     

Seorang Lelaki berbadan tinggi besar, berpeci hitam dan bersenjatakan Golok datang menghampiri Kapten Ujang. Dia menempelkan Golok-nya pada leher Kapten Ujang. Tentara Siliwangi segera menodongkan Senjata mereka ke arah Orang itu, dan posisi mereka semua saat ini adalah saling menodongkan senjatanya masing-masing. "Kenapa ada Londo di antara kalian? Kenapa kalian tidak membunuhnya? Kalau Orang China, Manado, dan Ambon masih bisa aku maklumi. Tapi, mereka bertiga ini Orang Londo."     

"Apa salahnya jika ada Tentaraku yang Orang Belanda," jawab Kapten Ujang dengan nada halus. "Walaupun mereka Belanda. Tapi hati mereka merah-putih sama seperti kita semua."     

"Maksudmu, merah-putih-biru, hah?!"     

"Mereka telah membantu kami, membawa banyak senjata untuk kami, dan mereka telah menjadi Keluarga kami!" kata Kapten Ujang dengan nada halus. Dia menatap tajam lawan bicaranya dan berteriak, "Kalau kau berani melukai mereka bertiga, kau akan berurusan dengan Tentara Republik Indonesia!"     

Kuwu Gatot mendehem untuk mencairkan suasana. "Musuh kita adalah Pemerintah Kerajaan Belanda. Bukan sesama Anak Indonesia. Jangan tumpahkan darah secara percuma hanya karena ego. Tahan emosi kalian semua."     

Kapten Ujang memberikan sebuah instruksi dengan tangan, sehingga Tentara Siliwangi menurunkan senjata mereka. Begitupula dengan Penduduk Desa.     

"Terima kasih banyak, Pak Kuwu, dan seluruh Saudaraku sebangsa dan setanah air. Izinkan kami melanjutkan perjalanan kami. Sampai jumpa di hari yang penuh kemenangan." Kapten Ujang menatap para Tentaranya. "Ayo, lanjutkan perjalanan kita." Kapten Ujang menatap Athena, Charla, dan Simone. "Kalian bertiga juga ikut kami."     

Kapten Ujang berjalan di depan. Para Tentara Siliwangi segera berkemas, begitupula dengan ketiga Perempuan berparas Europa tersebut yang ikut dalam rombongan Long March Tentara Siliwangi. Mereka semua telah pergi meninggalkan Desa dalam keadaan yang hening.     

Ketiga Perempuan Europa itu berjalan dalam barisan para Perempuan Siliwangi.     

"Usiamu berapa, Mba Ontosoroh?" tanya Charla.     

"Aku baru berusia dua puluh tahun. Aku asli, Yogyakarta. Walaupun Sersan Suroso memintaku tidak ikut. Namun, sebagai seorang Perempuan yang merdeka. Aku tidak ingin hidup di dalam pendudukan Belanda. Aku ingin berjuang bersama Suamiku hingga merdeka 100%," jawab Ontosoroh dengan nada tegas.     

Seorang Lelaki berpeci hitam, dengan tinggi badan sekitar seratus tujuh puluh satu centimeter yang berseragam KNIL berjalan menghampiri Ontosoroh dan merangkulnya.     

"Kami hanya ingin hidup merdeka dan menikmati keadilan," jawab Sersan Suroso dengan nada tegas. "Kami sudah lama dijajah, baik itu oleh Belanda ataupun Jepang. Kami semua ingin merdeka dan hidup dengan damai."     

"Kau tidak masalah dengan mereka semua yang berasal dari etnis Sunda. Mengingat dahulu Orang Jawa dan Sunda pernah terlibat sebuah peristiwa yang kelam," kata Athena.     

"Mau Sunda, Jawa, China, Ambon, Manado, Arab, Indo dan Belanda. Selama mereka mau berjuang bersama kami. Mereka adalah saudara sebangsa dan setanah air," balas Suroso.     

Dua Orang Tentara Belanda tengah berpatroli di kawasan hutan di barat Purwerejo. Dia melihat ada banyak Orang yang berjalan kaki di bawahnya. Mereka berdua segera bersembunyi di balik pepohonan dan segera menembakkan pelurunya. Peluru yang mereka tembakkan hanya mengenai sebuah pohon yang tengah dilalui oleh Tentara Siliwangi.     

"Semuanya, sembunyi," perintah Kapten Ujang.     

Ontosoroh menyerahkan Anak Bayinya kepada Simone. "Nyonya, aku titip Anak-ku."     

"Baiklah, aku akan menjaga Anakmu," kata Smone yang langsung memeluk seorang Bayi yang bernama Merdeka.     

Beberapa Perempuan Siliwangi segera menyingkir ke tempat yang aman. Sementara para Tentara Siliwangi bersembunyi di balik dan membalas tembakan dari Tentara Belanda.     

Tentara Belanda terus berdatangan untuk menyerang Tentara Siliwangi. Baku tembak terjadi di antara mereka berdua dengan begitu sengitnya. Beberapa di antara mereka ada yang jatuh, dan ada juga yang mati.     

Para Tentara Belanda bergerak dengan cepat menuruni bukit dan menyebar untuk menaklukan Tentara Siliwangi. Athena dan Charla bergerak dengan cepat untuk menghampiri Tentara Belanda. Suara teriakan Anak-anak Siliwangi terdengar begitu menggema. Athena dan Charla menerjang Tentara Belanda dan bertarung dalam jarak dekat. Walaupun ada beberapa Tentara Siliwangi yang jatuh, namun mereka semua pantang mundur. Katana mereka menjatuhkan para Tentara Belanda.     

Para Tentara Belanda terlihat panik dalam menghadapi Anak-anak Siliwangi yang terkenal sangat nekat dalam bertarung. Athena dan Charla melakukan duet maut perdana mereka, di mana mereka berhasil menjatuhkan banyak Tentara Belanda hanya dengan bersenjatakan Katana.     

Pertempuan itu terjadi begitu sengit, di mana empat puluh Tentara Belanda tewas, sementara Tentara Siliwangi hanya lima Orang yang gugur, sedangkan tujuh belas mengalami luka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.