Part 390 ~ Ujian ( 3 )
Part 390 ~ Ujian ( 3 )
"Bukan maksud menganaktirikan kredit yang lainnya. Target kita sudah tercapai. Untuk menjadikan cabang ini menjadi cabang nomor satu dengan kinerja terbaik kita harus unggul di segala aspek. Penurunan NPL lebih ditingkatkan lagi. Jangan pernah lupa melakukan penagihan nasabah yang sudah hapus buku, setidaknya penagihan masuk pendapat ekstra untuk kantor kita." Pak Irwan cuap-cuap memimpin rapat.
Semua peserta rapat melihat dan mendengarkan arahan Pak Irwan.
"Untuk bidang dana saya lihat pencapaian kita cukup bagus. Untuk pencapaian rekening giro hampir mendekati target, walaupun kita masih kurang sepuluh persen dari target. Kemudian tabungan juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Nominal tabungan sudah melebihi target. Untuk deposito kita masih kurang. Kita masih banyak kurang. Saya harapkan kalian para pemimpin capem dan pemimpin seksi untuk deposito usahakan jangan pakai bunga nego. Kalau bisa kita pakai bunga counter saja agar kita tidak banyak bayar bunga kepada nasabah. Kedua, kalian follow up saja dana murah. Dana nasabah yang milyaran cukup di tabungan saja, jadi kita tidak perlu mengeluarkan bunga deposito yang tinggi. Ini saya lihat untuk deposito dengan bunga nego banyak di capemnya Ibu Dila. Memang untuk pencapaian depositonya melebihi target, tapi dengan bunga nego sama saja bohong. Kalau bisa kalian lebih bisa melobi nasabah."
Dila tunjuk tangan banyak menginterupsi pernyataan Pak Irwan.
"Silakan Ibu Dila." Pak Irwan mempersilakan Dila bicara.
"Untuk deposito kenapa capem kami memberikan bunga nego itu karena dananya fresh Pak. Dananya bukan dari tabungan nasabah yang sudah ada. Itu dana pindahan dari bank lain yang kita pindahkan ke MBC. Namanya juga persaingan Pak. Bunga deposito bank lain juga juga tinggi, makanya untuk menarik nasabah agar memindahkan dana depositonya ke kita ya dengan bunga nego tadi. Saya pun memindahkan deposito mereka itu dengan jumlah tertentu. Minimal deposito lima milyar baru saya kasih bunga nego sebesar itu. Kalau di bawah lima milyar nggak masuk kategori bagi saya. Kalo enggak pake bunga nego mungkin pencapain deposito capem saya tidak akan melebihi target."
"Baiklah. Alasannya Ibu Dila bisa saya terima, cuma untuk kedepannya demi memaksimalkan laba untuk kantor kita. Lebih baik bunga nego ditiadakan dulu. Pandai-pandai saja melobi nasabah atau memberikan gift yang menarik buat mereka. Silakan beli gift dan bebankan biayanya ke kantor. Posnya biaya promosi bank."
"Penyelesaian kredit macet agar di follow up lagi. Kalau statusnya kolek tiga atau macet. Lebih baik agunan nasabah kita lelang saja untuk menutupi hutang-hutang mereka. Jika kita biarkan nanti performa kredit kita kurang bagus. Mengakibatkan NPL naik. Jadi saya harap kalian lebih tegas lagi sama nasabah yang menunggak. Artinya kalau mereka udah kolek tiga atau macet kita lakukan lelang agunan, lalu melakukan pelunasan secepatnya. NPL kita masih tinggi. Saya maunya NPL kita cukup berada di angka satu persen. Jangan sampai dua atau tiga persen. Kenaikan NPL akan mengurangi nilai cabang kita nantinya pada akhir tahun."
Pak Irwan pun menutup rapat. Beliau memberikan arahan dan bimbingan untuk kepala seksi dan juga kepala capem agar bisa mencapai target yang telah ditetapkan direksi. Pak Irwan berharap cabang utama kembali menjuarai kinerja cabang terbaik se-Indonesia. Meski berada di kota kecil namun kinerja kantor mereka sangat Bagus.
Dila kembali ke kantor capem utama. Dila mengambil handphone ternyata handphonenya kehabisan baterai. Wanita itu mencharge handphonenya. Sebenarnya Dila ingin menghubungi Bara memberi kabar.
Rapat tadi sangat menyita waktunya. Mereka rapat dari pagi hingga sore. Mereka melakukan evaluasi kinerja. Beban kerja menjelang akhir tahun memang sangat berat. Mereka benar-benar digenjot untuk mencapai target.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Dila pun mengambil handphone yang sedang di charger. Ia menghidupkan handphone dan akan menghubungi Bara untuk menjemputnya. Namun kehadiran Iqbal yang tiba-tiba di ruangannya membuat Dila batal menghidupkan handphone.
"Uda?" Panggil Dila kaget melihat Iqbal datang diantar satpam. Setelah mengantar Iqbal, satpam pun pergi.
"Itu muka kenapa?" Dila kaget melihat wajah Iqbal yang babak belur.
"Biasa Dil. Urusan laki-laki. Kalo berantem tanpa adu jotos enggak afdol rasanya." Iqbal tertawa walau dalam hati mengumpat keras. Ia harus menjalankan rencananya.
"Uda kenapa kemari?"
"Enggak boleh uda datang lihat adik sendiri?"
"Boleh cuma….."
"Cuma apa?"
"Tumben aja. Biasanya uda sibuk."
Iqbal menyentuh pipi Dila dengan perasaan sendu. Nyesek mendengar ucapan Dila "Biasanya uda sibuk".
Iqbal terlalu sibuk dengan hidupnya sehingga tak memperhatikan adik satu-satunya. Iqbal mengutuk diri sendiri karena tidak bisa melindungi adiknya dari bajingan seperti Bara.
"Maaf jika uda selama ini sibuk. Bisnis sudah menyita waktu uda."
"Apalagi punya dua istri." Sarkas Dila mencibir sang kakak.
"Apalagi punya dua istri." Iqbal malah mengiyakan ucapan Dila.
"Nasib Ria. Tolong jangan digantung."
"Biarin aja," jawab Iqbal masa bodoh.
"Aku tahu jika uda tidak akan percaya sama orang yang telah membohongi uda, tapi Ria sudah taubat."
"Uda kesini bukan untuk bahas Ria." Ada penegasan dalam intonasi Iqbal.
"Masih syukur dia nggak uda ceraikan. Kalau uda ceraikan dia mau makan apa? Selama ini dia bergantung hidup sama uda. Bukannya uda ATM berjalannya dia."
"Enggak boleh mengingat hal yang udah berlalu. Jangan zalim sama istri sendiri. Makanya dulu dengerin omongan aku. Kalo uda dengar pasti enggak bakal ada kejadian kayak gini. Nasi udah jadi bubur. Uda harus bertanggung jawab sama pilihan uda."
"Iya….iya." Gerutu Iqbal kesal.
"Uda kesini buat jemput kamu pulang ke rumah."
"Kok dijemput?"
"Bunda sakit. Dia kangen kamu.", Bohong Iqbal pada sang adik.
"Bunda sakit apa?" Dila dilanda kepanikan.
"Kamu liat aja sendiri."
Dila mengambil tas dan mengajak Iqbal turun ke bawah. Dila ingin menyelesaikan pekerjaannya bersama Renata dulu.
"Tunggu ya uda. Dila opname kas dulu." Dila pamit masuk klus bersama Renata.
"Kep kok panik dan pucat gitu?" Tanya Vinta berpapasan dengan Dila.
"Bunda kep sakit. Kep khawatir. Uda kep udah tunggu diluar."
"Cepat sembuh buat bunda kep." Vinta berlalu meninggalkan Dila.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya Dila pergi dengan Iqbal.
"Aku harus kasih tahu Bara dulu," kata Dila ketika berada di dalam mobil.
Iqbal merampas smartphone Dila.
"Enggak usah. Uda udah kasih tahu Bara. Nanti dia nyusul."