The Richman - Can\'t Forget You
The Richman - Can\'t Forget You
"Sayang, kapan kau pulang?" Tanya Ben.
"Em, sebenarnya aku sudah di apartmentku." Jujurnya. Dia tak bisa mengurung dirinya lebih lama lagi karena itu justru membuatnya menjadi gila, dia berusaha melarikan diri dari bayangan Marcus tapi justru Marcus menyelinap lebih dalam dari yang dia pikirkan. Marcus bahkan masuk ke dalam mimpinya yang begitu nyata barusan.
"Oh, mengapa kau tak mengabari daddy?" Tanya Ben.
"Aku baru akan menghubungimu, aku hanya masih jetlag." Bohong Sheina.
"Ok, jika begitu sebaiknya kau beristirahat. Sampai jumpa besok." Tutup Ben.
"Bye dad." Sheina mengakhiri panggilannya. Dia memegangi kepalanya setelah meletakkan ponselnya di atas meja. Sheina menghela nafas dalam, "Mengapa aku harus bertemu denganmu setelah aku menghabiskan empat belas hari denganmu setelah aku melewatkan ribuan hari lainnya tanpamu, dan kau mengubah semuanya." Gumamnya kesal.
Sheina mengambil coat dan kunci mobilnya, dia merasa bahwa dia butuh udara segar hari ini, setidaknya dengan berkendara keluar meski tanpa tujuan, Sheina akan menemukan kembali pikiran jernihnya.
Ada keinginan untuk datang ke kantor, tapi bertemu dengan Oliver di saat situasi dirinya tengah seperti ini tentu saja bukan pilihan yang bijak, karena segalanya akan semakin rumit setelah begitu banyak tanda tanya yang mungkin muncul dari Oliver untuknya, tentang apa yang terjadi selama empat belas hari di Albania. Dan berbohong dalam keadaan emosi yang tidak stablil hanya akan mempersulit dirinya sendiri.
***
Sheina masuk kedalam mobilnya dan dengan ragu-ragu dia menyalakan mesin mobilnya. Dia menghela nafas dalam sebelum menekan pedal gas dan memutar kemudi, membawa mobilnya keluar dari area parkir apartment dan berkendara di jalan raya. Dia menyalakan musik di dalam mobil dan ternyata bukan ide yang baik, karena beberapa lirik lagu justru seolah meontarkan ironi padanya. Beberapa justru menarik Sheina pada kenangan dirinya dan Marcus, semakin buruk.
Sheina menepikan mobilnya dan membuat panggilan keluar. Dia menghubungi nomor telepon Marcus, nomor yang sempat dia ingat saat Marcus menghubunginya melalui ponsel Liz. Dering masuk terdengar tapi tak dijawab. Bahkan hingga dua kali panggilan dan tetap tak dijawab oleh si pemilik ponselnya.
"Terima panggilannya please." Gumam Sheina dalam hati. Gadis itu melakukan percobaan sebanyak tiga kali, dan sialnya yang ketiga kalinya Marcus menolak panggilan itu.
"Nomor yang anda tuju tidak dapat menerima panggilan anda." Sheina tertunduk beberapa saat, dia membiarkan dirinya menikmati rasa getir itu untuk beberapa saat sampai seorang petugas mengetuk jendelanya, dan mengingatkan pada Sheina bahwa dia tidak diijinkan parkir di bahu jalan seperti yang dia lakukan sekarang ini. Untunglah dia tidak ditilang, Sheina kembali berkendara dalam perasaannya yang kelabu.
Entah kemana roda-roda itu akan membawanya, yang dia lakukan hanyalah terus berkendara, sampai entah mengapa dia berhenti di sebuah coffee shop dan memesan coklat panas. Mungkin dengan begitu perasaannya akan lebih baik. Namun setelah coklat panas itu terhidang di hadapannya, Sheina bahkan tak menyentuhnya sama sekali. Tatapannya menerawang jauh, dan yang ada di hadapannya hanyalah banyangan Marcus.
Sheina bahkan tak tahu nama belakang Marcus, tak tahu apa yang dikerjakan pria itu selama ini, atau apa yang sedang dia kerjakan. Seburuk apa dunianya dan semengerikan apa pekerjaannya. Berapa nyawa yang sudah melayang ditangannya, atau seberapa buruk pelanggaran hukum yang sudah pernah dia lakukan. Gadis itu tampaknya mendadak buta tentang semuanya, dia tak mempedulikan siapa dan bagiamana Marcus dan dunianya. Yang dia tahu bahwa saat bersama pria itu, semua perlakuan yang dia terima adalah yang terbaik dari yang bisa dilakukan seorang pria pada wanitanya.
Sheina membayar coklat panas yang dia pesan meski tak dia minum, kemudian meninggalkan tempat itu. Dia memutuskan untuk berbelanja kebutuhan rumahtangga dan makanan di supermarket, semua itu dia lakukan untuk menyibukkan dirinya.
Dia baru masuk dan memilih beberapa barang dengan troli, tapi saat melihat seorang pria menenteng keranjang belanjaan sembari menelepon, Sheina mengikuti pria itu karena postur tubuhnya mirip dengan Marcus. Wanita itu bahkan meninggalkan belanjaannya dan terus mengikuti sang pria dari kejauhan untuk memastikan apakah itu Marcus atau bukan.
Dan saat pria itu menoleh ke sisi kiri untuk mengambil barang, sisi wajahnya terlihat dan itu jelas bukan Marcus sama sekali. Begitu berbeda meski dari belakang postur tubuh mereka dan potongan rambut mereka juga mirip.
Sheina meremas wajahnya, kemudian berbalik untuk mencari keranjang belanjaannya. Demi mengalihkan perhatiannya dia bahkan berbelanja tidak sesuai kebutuhan, dia memasukkan banyak barang yang sebenarnya tak begitu dia butuhkan.
Sheina bahkan tampak berhenti di bagian minuman beralkohol dan dia mengambil dua botol, kemudian mendorong troly belanjaannya ke kasir. Sembari menunggu membayar belanjaan, dia menoleh keluar dan melihat pria dengan kemeja biru berbahan denim dan celana jeans berjalan keluar dari minimarket. Lagi-lagi pria itu tampak seperti Marcus, tapi Seheina bergidik untuk menyadarkan dirinya bahwa semuanya hanyalah bagian dari kegilaannya hingga dia mengasosiasikan semua pria dengan tubuh tinggi tegap adalah Marcus.
Sheina tiba di antrian paling depan dan segera membayar semua belanjaannya. Dan ternyata belanjaannya itu berkantong-kantong hingga dia sendiri kesulitan membawa semuanya ke dalam mobilnya. Setelah bersusah payah membawa semua belanjaan ke dalam mobil, Sheina masuk dan duduk di belakang kemudi. Tapi dia tak segera menyalakan mesin mobilnya.
Mendadak air matanya berjatuhan dan dadanya terasa sesak, bahkan untuk bernafas saja rasanya sulit. Untuk beberapa saat Sheina membiarkan dirinya menangis, mungkin dengan begitu dia akan semakin lega dan bisa menjalani hidupnya dengan lebih normal.
Sebelum Marcus, Sheina tak pernah jatuh hati pada pria manapun apalagi seorang bad boy sepertinya. Sheina merasa tidak tertarik dan tidak pernah akan tertarik pada type pria seperti itu. Bahkan jatuh hati pada Oliver yang kemduian dia ragukan juga terjadi karena mereka berada di tempat yang sama dalam jangka waktu panjang dan melewati banyak hal. Tapi dengan Marcus, bahkan di hari kedua pertemuan mereka yang bahkan lebih mirip penculikan daripada kencan, sungguh tak terlupakan.
Bagiamana dia bertelantungan di tirai dari lantai dua rumah Marcus dalam upayanya melarikan diri, tapi Marcus justru menolongnya turun dan tak menyakitinya sama sekali. Percobaan melarikan diri yang kedua, menceburkan diri di lautan, dan Marcus lagi-lagi menolongnya meski dia tak ingin menunjukan kesan bahwa dirinya peduli. Bahkan saat dia menambahkan beberapa udang ke dalam piringnya dan mengatakan bahwa dia tak suka udang demi memberikan makanannya pada dirinya yang tengah kelaparan.
Ditambah saat pria itu memberikan kemejanya padanya, atau saat dia mendekap dan berusaha menghangatkan tubuh Sheina setelah menceburkan diri ke tengah laut malam itu. Selain itu juga bagaimana Marcus membiarkannya berbaring di ranjang besar di rumahnya, di dalam kamarnya tanpa mementingkan dirinya sendiri. Yang dia tunjukan hanyalah semua kepedulian meski mulutnya berkata sebaliknya. Dan mengenang semua itu membuat perasaan Sheina semakin kacau. Patah hati terbesar yang pernah dia alami seumur hidupnya karena seorang pria.