Kabar Dari Therius
Kabar Dari Therius
Wajahnya tampak diliputi kesedihan mendalam yang membuat Therius menjadi tidak tega. Seandainya saja ia dapat pergi bersama Emma keluar dari Akkadia dan hidup berdua saja bersamanya, mungkin ia akan rela melepaskan takhta Akkadia demi gadis itu.
Tetapi ia tahu diri dan mengerti bahwa justru kedudukannya sebagai calon penguasa Akkadia-lah yang membuatnya memiliki kesempatan untuk mendapatkan Emma.
Kalau ia sampai membiarkan Emma pergi, selain ia tidak akan dapat melindunginya, ia juga harus siap kehilangan Emma, karena ia yakin gadis itu tidak akan kembali. Ia tidak dapat membiarkannya.
"Kau tidak menganggapku sebagai teman?" tanya gadis itu kepada Therius. Ia menatap pria itu dengan sungguh-sungguh.
Dengan terpaksa Therius menggeleng. "Pertemanan kita di kapal sudah berakhir. Kini aku adalah Pangeran Putra Mahkota Akkadia. Kuharap kau tidak lupa itu."
Saat mendengar kata-kata yang diucapkan Therius dengan nada datar itu, ingin sekali rasanya Emma memukul pemuda itu. Namun, Emma sadar bahwa ia tidak boleh memancing kemarahan Therius.
Sejauh ini, sang pangeran selalu berbuat baik kepadanya. Emma tidak boleh memaksanya terlalu jauh hingga membuat Therius hilang kesabaran.
"Baiklah.. kalau begitu, aku hanya bisa keluar dari Akkadia kalau aku menikah denganmu?" tanya Emma untuk memastikan.
Therius mengangguk. "Sayangnya begitu."
"Kalau aku menolak, apa yang akan kalian lakukan kepadaku? Apakah kau akan mengurungku di sini seumur hidupku?"
Therius menghela napas. "Kurasa kau akan dijadikan sandera untuk memaksa ibumu menyerah."
"Kalau kalian melakukan itu, sebelum kalian bisa memeras ibuku, aku akan membunuh diriku sendiri," tukas Emma. "Kalau aku mati, kalian tidak punya sandera lagi."
"Kalau kau mati... maka Haoran juga akan mati. Apakah itu yang kau inginkan?" tanya Therius.
Emma menggigit bibirnya. Ia sangat membenci Therius yang selalu menjadikan Haoran jaminan untuk menekan Emma agar mengikuti kehendaknya. Pemuda itu telah kembali menjadi pangeran putra mahkota Akkadia yang dibencinya. Ia bukan lagi Therius Moria, pemimpin misi kapal The Coralia yang telah menjadi temannya di perjalanan.
Therius dapat melihat konflik batin yang dialami Emma. Ia lalu bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangannya ke arah Emma. "Kau bisa memikirkannya baik-baik. Kakekku memberimu waktu dua hari. Sebaiknya kita sekarang makan malam. Xion menunggu kita di ruang makan."
"Aku tidak lapar," kata gadis itu dengan keras kepala.
"Walaupun kau tidak lapar, kau harus makan sedikit agar kau cepat pulih," kata Therius.
Tanpa menunggu jawaban Emma ia lalu mengangkat tubuh gadis itu dengan kedua tangannya dan membopong Emma.
"Heyy.. apa-apaan ini?' tukas Emma kaget.
"Ola dan Kira akan curiga kalau kau berteriak dan meronta," jawab Therius kalem. "Bekerja samalah denganku. Mari kita makan agar kau cepat sembuh dan punya energi untuk memarahiku."
"Ugh..." Emma hendak membantah, tetapi Therius telah berjalan melewati pintu dan ia melihat Ola dan Kira membungkuk hormat kepada mereka. Akhirnya ia hanya bisa mengerucutkan bibirnya dan tidak mengeluarkan suara.
Ketika Therius tiba di ruang makan bersama Emma dalam gendongannya, ia melihat Xion sudah menunggu mereka sambil menyesap wine. Wajah pemuda itu tampak mulai segar, tidak sekusut tadi siang ketika Emma bertemu dengannya untuk makan siang.
"Mesra sekali," komentar Xion sambil mengangguk ke arah temannya yang baru datang. Therius tidak menjawab sementara Emma hanya membuang muka. Pelayan segera datang dan mulai melayani mereka untuk makan malam.
Wine terbaik, serta hidangan demi hidangan disajikan untuk ketiga orang muda itu oleh beberapa pelayan yang sangat sigap. Namun, walaupun makanan yang dihidangkan sangat lezat, Emma hanya dapat makan sedikit.
Emma merasa perutnya mual karena membayangkan raja Akkadia brengsek itu hendak memaksanya untuk menikah dengan Therius. Apakah ia perlu menemui Raja Cassius dan mengatakan yang sebenarnya bahwa ia sudah memiliki suami?
Ah... tidak bisa. Pasti Raja Cassius justru akan merasa diingatkan akan peristiwa ketika Arreya meninggalkan putranya Darius untuk menikah dengan Kaoshin. Hal ini justru akan dapat memancing kemarahannya.
"Lalu, bagaimana dengan kunjunganmu ke istana tadi?" tanya Xion saat mereka mulai menikmati hidangan utama. Ia ingin tahu perkembangan situasi agar ia juga dapat mengambil keputusan.
"Aku sudah bicara dengan kakekku dan memberitahunya tentang serangan Heron di Daneria, dan bahwa kasus terbunuhnya anak laki-laki Duke Errol adalah akibat perbuatan sepupuku, Yared," kata Therius.
"Lalu?" tanya Xion. "Apakah kakekmu mengerti?"
"Dia mengerti. Kejahatan Herona kan diproses sesuai hukum dan kasusnya sudah diserahkan ke departemen kehakiman. Tetapy Yared... agak susah dibuktikan. Aku tak dapat memaksa kakek menghukumnya tanpa bukti. Mata-mata Jenderal Moria masih membantuku dalam hal ini. Aku berharap akan memperoleh kabar baik secepatnya."
"Oh, oke. Kedengarannya tidak terlalu buruk," kata Xion. "Berarti nanti, kalau terbukti bahwa sepupumu yang menjadi dalang penyerangan dan pembunuhan pasukan penjaga perbatasan, kau dan Emma bisa membahas perdamaian dengan Putri Arreya?"
"Tidak mudah," kata Therius. Ia melirik ke arah Emma. "Kakekku hanya bersedia mengizinkan Emma keluar dari istana ini setelah kami menikah."
"Apa? Bukankah kau sudah mengatakan bahwa kalian sepakat untuk 'saling mengenal dulu' dan kemudian baru menikah lima tahun lagi. Kalian sengaja membuat perjaniian itu untuk mengulur waktu, kan?" tanya Xion.
"Masalahnya.. kakekku tidak mempercayai Emma," kata Therius. "Ia memberi Emma waktu dua hari untuk berpikir. Kalau Emma setuju, itu akan dianggap sebagai tanda iktikad baik dari Thaesi untuk berdamai. Menurutku, saat ini, itulah satu-satunya jalan bagi Emma untuk dapat bertemu orangnya secara aman.
"Oh, masuk akal juga..." Xion tertegun dan kemudian mengangguk paham. Ia lalu menoleh kepada Emma. "Bagaimana denganmu. Apa yang kau putuskan? Apakah kau ingin bertemu ibumu? Kudengar mereka berhasil mencuri mayat ayahmu dan membawanya ke Thaesi. Kalau kau bertindak cepat, kau masih dapat melihatnya sebelum dimakamkan."
Hati Emma merasa seolah ditusuk sembilu saat ia mendengar kata-kata Xion.
"Aku tidak mau dipaksa menikah dengan Therius," kata Emma dengan suara bergetar. "Aku akan berusaha menemui orang tuaku.. bagaimanapun caranya, dan kau... akan membantuku."
"Aku?" Xion menunjuk hidungnya sendiri. "Kenapa aku?"
"Karena kau berutang satu permintaan kepadaku," kata Emma sambil menatap pria itu lekat-lekat. "Aku tidak meminta uang atau barang mahal... aku hanya memintamu membantuku bertemu ibuku."
Xion tertegun mendengar kata-kata Emma. Ia baru ingat bahwa ia memang pernah kalah taruhan dari Emma dan sebagai hukumannya ia harus mengabulkan satu permintaan gadis itu.