Ketakutan.
Ketakutan.
Maxwell mendadak gugup melihat sikap Vania yang terlihat takut padanya. Akan terapi, ia semakin penasaran dan ingin lebih dekat dengan Vania.
"Sudah larut malam, bolehkah aku mengantar nona Vania pulang? " Tanya Maxwell dengan cemas karena ia khawatir Vania akan menolaknya.
"Iya. " Jawab Vania tanpa ragu karena dia percaya kalau Maxwell adalah laki-laki yang baik.
Jika dia bukan laki-laki baik, tentu malam itu ia sudah habis di perkosa oleh Maxwell.
Maxwell membawa Vania ke mobilnya. Setelah itu ia membukakan pintu mobil untuk Vania.
Awalanya Vania tahu masuk ke mobil mewah Maxwell. Tapi, ia tidak punya pilihan karena kondisi nya sangat buruk.
Sejak mengantar Vania pulang hari itu, cinta Maxwell tumbuh dan terus tumbuh hingga ia tidak bisa berpaling dari sosok Vania.
Walaupun Rafael sudah memberitahu nya kalau Vania adalah mantan kekasih Julian. Tapi, Maxwell malah semakin memilikinya bahkan sudah merencanakan pernikahan dengannya.
Back.
Lamunan Maxwell terhenti saat ia mendengar suara ponselnya berdering. Seketika itu ia ingin marah karena ia baru saja mendapatkan kemenangan akan wanita yang sangat ia cintai itu. Bahkan ia belum melihat wanitanya tersenyum saat menyuapi dan memperhatikan nya pada saat ia sudah menjadi kekasihnya. Suara telpon itu bebar-benar sangat mengganggunya sehingga ia ingin melemparnya, tapi itu dari Rafael sehingga ia harus segera mengangkatnya.
"Bos ... Ada nona Viona menunggu anda di lobi. " Kata Rafael dari seberang telpon.
"Oke. "
Setelah itu Maxwell menutup panggilan itu lalu segera keluar dari ruangannya untuk menemui Viona.
Beberapa saat Kemudian.
"Maxwell kamu ... "
"Ikuti aku!"
Viona tidak bisa melanjutkan kata-katnya saat Maxwell menyela nya lalu memintanya untuk mengikutinya.
Viona pun mengikuti Maxwell dari belakang dengan sedikit khawatir karena dia tahu kalau emosi Maxwell sedang tidak stabil.
Tidak lama setelah itu, mereka berdua sudah berada di dalam mobil Maxwell. Tanpa mengatakan apapun Maxwell mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Viona menelan ludah dalam-dalam. Ia melirik ke arah Maxwell, warna bola matanya menggelap, bagaikan lubang hitam tak berujung. Dan auranya sangat mengerikan sehingga Viona tidak bisa mengajaknya bicara saat ini.
Tidak butuh waktu lama, mobil Maxwell terparkir di depan Istana Flory. Dan itu sudah jam satu malam.
Maxwell mengurung diri di ruang kantornya setelah ia mengurus Julian. Viona pun tahu itu sehingga ia nekat menemui Maxwell tengah malam seperti itu setelah ia mendapatkan kabar dari mata-matanya kalau Julian terkena tembakan.
Viona menoleh melihat ke arah Maxwell dengan gugup. Setelah ragu sejenak, Viona membuka mulutnya karena tidak bisa menahan diri lagi.
"Diamana Julian? Kata Virsen, kalau Julian terkena tembakan pistol mu." Tanya Viona.
Maxwell membuka kelopak matanya dgn sikap malas lalu meliriknya sekilas.
Sepasang mata Maxwell terlihat datar dan dingin tanpa ekspresi apapun sehingga Viona merasa merinding.
"Itu bukan urusanmu." Ucap Maxwell.
Viona mengepalkan tangannya karena kesal degan jawaban Maxwell. Ia hanya ingin menjadi orang pertama yang menolong dan merawat Julian. Tapi, Maxwell malah mempersulit nya untuk menemukan Julian.
Sayangnya dia tidak bisa memaksa Maxwell karena itu sama artinya dengan bunuh diri.
"Baiklah, aku akan keluar!" Setelah mengatakan itu Viona segera keluar dari mobil Maxwell dengan cemberut.
Setelah Viona keluar, Maxwell pun segera memutar balik mobilnya lalu meninggalkan Istana Flory dengan cepat.
Sementara itu, Viona berjalan memasuki gedung Istana Flory.
Kamar Viona.
Viona tersentak kaget saat melihat lelaki yang duduk di kamarnya sambil memegang gelas minumannya saat ia memasuki kamar pribadinya nya itu.
"Kenapa kamu ada di kamar ku tengah malam begini? Dan bagaimana kamu bisa masuk?" Tanya Viona dengan ketus karena dia sangat marah tapi tidak bisa marah pada Maxwell.
Virsen tetap tidak bicara, tatapan matanya tertuju ke arah luar jendela, seakan-akan sedang melihat sesuatu, tapi juga hanya terlihat seperti sedang melamun.
Viona mendekat lalu melirik Virsen sekilas, Virsen yang pada mlam ini sepertinya terlihat sedikit aneh.
Tepat saat Virsen terlihat tidak akan memberi jawaban, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras.
"Siapa itu?" Tanya Virsen pada Viona dengan heran.
"Aku juga tidak tahu. Apa mungkin itu adalah ... " Viona bergidik ngeri sehingga ia tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
Virsen pun memiliki pikiran yang sama dengan Viona sehingga ia meletakkan gelasnya di meja dengan gugup.
"Buka!" Kata Viona sambil mendorong Virsen kearah pintu.
Virsen menarik nafas dalam. Setelah itu ia mengintip dari dalam sebelum ia membuka pintu.
'Kenapa tidak ada orang?' Batin Virsen dengan heran.
"Siapa?" Tanya Viona setelah ia mendekat kearah Virsen.
Virsen mengangkat kedua bahunya. Setelah itu mereka berdua memeriksa keluar.
Dan ternyata.
"Aaaahhh ... " Virsen merintih saat lehernya di cengkram oleh tangan besar Maxwell yang ternyata tidak pulang.
Maxwell menipu Viona.
"Maxwell ... Bagaimana kamu bisa ada disini? Bukankah kamu sudah pulang?" Tanya Viona sambil berjalan mundur dengan gemetaran.
Maxwell tidak menghiraukan Viona. Ia terus mencekik Virsen hingga punggung Virsen menempel di dinding.
"Kenapa kamu melakukan ini padaku? " Tanya Virsen dengan susah payah karena ia susah bernafas.
Mata Maxwell menyala buas saat ia mengetahui kalau Viona akan memukulnya dari belakang. Segera ia melirik Viona lalu mendorong nya hingga terjatuh ke lantai.
"Auuwww ... " Viona meringis kesakitan di bagian bokongnya.
"Kalian berdua ... " Ucap Maxwell sambil menunjuk kearah Viona tanpa melepaskan tangannya dari leher Virsen.
"Kami adalah keluargamu. Tapi, kenapa kamu melakukan ini pada kami? Jika kakek tahu dia akan menghukum kamu." Teriak Viona dengan ketakutan karena ia tahu betul siapa Maxwell.
Maxwell adalah cucu tertua dalam keluarga Adamson. Ia di juluki serigala buas yang bersembunyi dibalik bulu domba sehingga tidak akan ada orang yang menyangka kalau dia manusia yang kejam.
Dan yang lebih mengerikan lagi, Maxwell tidak akan pernah memberi ampun kepada orang yang sudah menyakiti orang yang dia kasihani.
"Kalian berdua adalah iblis." Kata Maxwell sambil membanting Virsen ke lantai.
Ekspresi Maxwell sangat mengerikan sehingga seorang Virsen ketakutan dibuatnya.
"Maxwell ... Kenapa kamu mengatakan itu?" Tanya Viona lagi dengan suara yang gemetar.
Maxwell tersenyum kecil mendengar pertanyaan Viona yang masih belum sadar akan kesalahannya.
"Jika aku tahu semua nya dari awal, kalian pasti akan tinggal nama. Tapi, aku terlambat mengetahui nya. Oleh karena itu aku akan mengampuni hidup kalian akan terapi aku akan membuat kalian hidup seperti di neraka." Kata Maxwell setelah membanting pot bunga yang terbuat dari kaca itu.
"Aaauuuwww ... " Viona meneteskan air mata karena ia sangat ketakutan.