Terkejut.
Terkejut.
Maxwell langsung berdiri dengan mata membulat sempurna.
"Apa yang katakan tadi?" Tanya Maxwell dengan tatapan yang mengerikan.
Untuk sesaat, Jasmin bergidik ngeri melihat tatapan Maxwell. Ia lupa kalau Maxwell akan sangat sensitif jika seseorang membahas Vania di hadapannya.
'Sepertinya aku sudah salah perhitungan. Harusnya aku tidak pernah menyebut Vania.'Batij Jasmin sambil duduk dengan tidak tenang.
"Ulangi apa yang kamu katakan tadi!" Kata Maxwell sambil menekan lengan Jasmin dengan erat.
"Ah ... Sakit Maxwell!" Jasmin meringis kesakitan karena Maxwell terlalu keras mencengkram lengannya.
"Cepat katakan ... !" Teriak Maxwell yang mulai hilang kendali.
Jiwa seorang mafia keluar dari tatapan Maxwell yang mulai berapi-api. Jasmin terus mendesah kesakitan, akan tetapi Maxwell tidak perduli.
"Qiara ... Adalah adik Vania ... " Ucap Jasmin dengan terbata-bata.
Maxwell langsung melepaskan Cengkeramannya. Ia lalu berdiri membelakangi Jasmin.
"Maxwell ... " Jasmin mencoba memanggil Maxeell sambil menyentuh bahunya dengan ragu.
"Pergilah dari hadapanku jika kamu tidak mau melihat sisi mengerikan ku! Karena aku tidak ingin bicara dengan siapa pun saat ini!" Kata Maxwell tanpa melirik Jasmin.
Karena Jasmin tahu karakter Maxwell, ia pun tidak berusaha untuk membujuknya.
Dengan segera Jasmin meninggalkan rumah Maxwell. Harapannya sudah sirna, Maxwell tidak akan pernah mungkin ia bisa dapatkan karena cinta tidak bisa dipaksakan.
Karena terlalu lelah dengan suara permasalahan di kota A. Jasmin pun segera meninggalkan rumah Maxwell dan meminta Supit Taxi untuk mengantarnya ke Bandara walaupun ia masih punya dua jam sebelum pesawat nya berangkat.
Jasmin berfikir kalau ia tidak perlu pamit pada siapapun, karena kepergiannya tidak akan ada yang peduli.
Beberapa saat kemudian.
Ponsel Maxwell berbunyi dan itu dari Rafael.
"Halo?" Suara Maxwell sangat dingin dan mengerikan setelah menerima panggilan dari Rafael.
"Saya sudah menemukan siapa yang sudah memutus rem mobil nona Vania." Jawab Rafael dari seberang telpon.
Mata Maxwell langsung menyala buas. Suda enam tahun berlalu, ia akhirnya menemukan orang yang sudah membuat ia kehilangan Vania.
Walaupun polisi menyatakan kalau tabrakan itu murni karena kecelakaan, tapi Maxwell tidak mau mempercayainya sehingga ia langsung mencari tahu sendiri setelah ia kembali ke kota A.
"Siapa?" Tanya Maxeell.
"Saya akan kirimkan datanya kepada anda."
Setelah itu panggilan berakhir.
Tidak lama kemudian, Maxwell menerima pesan itu dari Rafael.
'Sayang ... Aku akan membalas kematian mu. Darah harus dibalas dengan darah.' Batin Maxwell setelah membaca pesan itu.
Setelah itu ia masuk ke ruang rahasianya, dimana ia menyimpan senjata api dan beberapa senjata tajam dan bom yang dia ciptakan sendiri.
Ruang Rahasia.
Setelah berada di dalam ruangan rahasia , Maxwell mengeluarkan senjata api terbaiknya yang dia beli dari perdagangan gelap berupa pistol Welson denga model 29.44. Pistol itu dikembangkan oleh perusahaan Amerika yang memiliki spesifikasi tipe peluru: 44 Magnum, 44 Special kaliber: 44 dengan jumlah peluru 6.
Senjata itu terkenal sangat mematikan dan mendapatkan nya pun sangat sulit. Hanya orang -orang tertentu yang bisa memilikinya.
Di kota A memang dilarang memiliki pitol jenis apapun bagi warga sipil, akan tetapi itu tidak berlaku bagi seorang Maxwell.
"Hari ini kamu akan membantuku untuk mencabut nyawa manusia laknat yang sudah berani mengambil separuh dari jiwaku." Ucap Maxwell sambil mencium pistol itu.
Setelah itu, ia memasukkan pistol itu ke dalam saku jasnya. Ia lalu membuat panggilan lagi ke Rafael.
"Halo bos?" Terdengar suara tegas Rafael dari seberang telpon.
"Kirimkan aku lokasi dimana lelaki tua itu berada sekarang juga!" Tanya Maxwell dengan sinis.
"Dia baru saja menyelesaikan rapatnya di gedung DPR. Setelah itu ia menemui Presiden ... Dan sekarang dia sudah kembali ke paviliun nya untuk istirahat. Disana juga ada Virsen. "
Panggilan berakhir.
Maxwell langsung keluar dari ruangan rahasia itu tanpa mengatakan apapun lagi pada Rafael. Karena informasi yang dai butuhkan dari Rafael sudah cukup.
Tidak lama kemudian.
Maxwell sudah meninggalkan rumahnya menggunakan mobil Maybach nya menuju paviliun tuan Jhosep.
Ia menggunakan kecepatan yang sangat tinggi karena dia tidak sabar untuk mencincang tubuh tuan Jhosep dan Virsen.
Sementara itu, Rafael sudah mengirim beberapa anak buahnya untuk mengikuti Maxwell dari jauh karena dia tidak mau bosnya kesulitan.
Di waktu yang sama, Julian duduk di ruang kerjanya. Ia membuka file dari Kevin setelah membaca beberapa berkas yang Kevin berikan juga.
Setelah membukanya, Julian terkejut karena file itu bukan dari Kevin melainkan orang suruhannya. Ia lupa membuka file itu karena fokusnya terbagi sehingga ia menyatukan file dan berkas dari Kevin dengan file yang diberikan oleh orang suruhannya.
"Apa? Semau ini adalah perbuatan Papa? Jadi, dia menghapus data tentang aku dan membawaku pergi keluar negeri untuk membersihkan namanya? Oh .. Vania ... "
Julian gemetaran setelah tahu kalau dalang dibalik kecelakaan yang dia alami bersama Vania adalah ulah Papa nya sendiri.
"Papa ... Kenapa kamu melakukannya?" Teriak Julian sambil memukul meja. Hatinya sangat sakit, rasa bersalah nya pun semakin besar pada Vania.
Ia pikir, dengan menikahi Qiara, rasa bersalah itu hilang. Tapi, kenyataan yang paling mengerikan adalah Papa nya.
"Aku harus menemui Papa ... Aku harus meminta penjelasan darinya!" Setelah mengatakan itu, Julian mengenakan jas nya.
Ia lalu berlari keluar dari ruangannya karena dia tidak bisa menunda nya lagi. Ia harus mendapatkan penjelasan dari informasi yang saja ia dapatkan.
Paviliun.
Sementara itu, di paviliun yang luas dan nyaman itu. Tuan Jhosep dan Virsen bersulang untuk kemenangan mereka.
"Hari ini adalah hari kemenangan ku. Putraku sudah menjadi menantu dari pemilik Firma hukum terkenal di kota ini. Sepertinya sudah saatnya aku ikut pemilihan menjadi seorang presiden."Kata tuan Jhosep setelah menghabiskan minumannya.
Virsen tersenyum licik, ia memainkan air yang ada di gelas beningnya sambil menatapnya dengan tajam.
"Apakah anda yakin kalau ini adalah hari kemenangan anda?" Tanya Virsen.
Setelah itu Virsen menatap tuan Jhosep dengan tatapan yang mengejek.
"Apa maksudmu?" Tanya tuan Jhosep dengan bingung.
Virsen tersenyum semakin lebar karena dia menganggap tuan Jhosep sangat bodoh.
"Kenapa kamu tersenyum? Apakah kamu sudah mengkhianati aku?" Teriak tuan Jhosep sambil memukul meja di depannya.
Virsen tersenyum semakin lebar karena dia sangat senang melihat ekpresi bingung tuan Jhosep yang tidak sabar menunggu jawabannya.
"Hahaha ... Bukan aku yang mengkhianati anda pak perdana menteri yang terhormat. Tapi, seseorang telah memintaku untuk menghancurkan hidupmu. Dan sepertinya orang itu sangat membencimu." Jawab Virsen sambil tertawa.
Tuan Jhosep semakin bingung, ia tidak mengerti dengan apa yang Virsen maksud. Mereka baru saja merayakan kemenangan atas terlaksananya semua rencana mereka.