Biarkan Aku Yang Menanggungnya!
Biarkan Aku Yang Menanggungnya!
Setelah itu Maxwell menunduk melihat Tuan Jhosep sambil tersenyum sinis lalu membuka mulutnya kembali.
"Wanitaku sudah kamu bunuh pada hari itu. Aku tidak percaya dia mati kecelakaan. Satu petunjuk mengarahkan aku untuk menuduhmu. Kurangnya bukti membuatku berdiam diri. Dua tahun kemudian aku kembali ke kota A dan tanpa sengaja melihat perbuatan kejam mu pada gadis malang itu. Sekarang aku berubah pikiran karena sepertinya ditembak akan terlalu enak buatmu. Jadi, aku putuskan untuk membuatmu mati secara perlahan dengan membiarkan kamu hidup dalam kehinaan lalu ditinggalkan sampai kamu bertemu cucu yang sudah berusaha kamu bunuh agar kamu menyesal.Bagaimana?" Kata Maxwell sambil menekan kembali pijakan kakinya di atas tangan tuan Jhosep yang sudah mulai mengeluarkan darah.
Tuan Jhosep terus meringis kesakitan menahan rasa sakit ditangannya.
"Dimana anak itu? Cepat katakan!" Teriak tuan Jhosep dengan ekspresi yang sangat buruk.
Maxwell berjongkok lalu mengangkat dagu Tuan Jhosep sambil berkata, "Kamu pikir aku akan memberitahu kamu? Itu tidak akan mungkin karena anak itu akan muncul sendiri dihadapan kamu pada waktunya nanti."
Setelah itu, Maxwell berdiri lagi lalu mengangkat kakinya dari tangan Tuan Jhosep.
"Jangan pernah mencoba untuk membuat aku di deportasi karena kamu akan tahu akibatnya ... " Ucap Maxwell sambil mengarahkan kembali pistolnya. "Aku akan mengingatkan kamu dengan cara ini!" Sambung Maxwell sambil bersiap menarik pelatuk nya dan mengarahkan pistolnya ke lengan tuang Jhosep.
Bamm ... Bamm ...
Tuan Jhosep langsung menutup matanya ketika mendengar suara tembakan itu.
Akan tetapi, ia tidak merasakan sakit, tapi merasakan kehangatan dari sebuah pelukan erat sehingga ia langsung membuka matanya.
Ia terkejut saat melihat darah mengalir dari punggung orang yang memeluknya.
Dua peluru bersarang di punggung orang itu karena Maxwell melepaskan pelatuknya dua kali.
"Julian ... " Tuan Jhosep kaget saat melihat wajah putranya yang kucel dan matanya bengkak. Dari sudut matanya, ia bisa melihat air mata Julian masih bersisa.
"Julian ... Kenapa kamu melakukannya?" Tanya Tuan Jhosep dengan panik sambil menutup luka tembak Julian agar tidak mengeluarkan darah lebih banyak lagi.
"Biarkan aku yang membayarnya ... Apa yang Papa sudah lalukan pada Vania, biarkan aku yang mengganggunya. Tapi tolong, jangan lakukan apapun pada Qiara! " Ucap Julian sambil menahan rasa sakitnya.
"Tidak ... Kamu tidak boleh melakukan ini! Bagaimana Papa bisa berdiri tegak disaat anak kesayangan Papa terluka. Tolong bertahanlah!" Teriak Tuan Jhosep sambil menangis.
Ia panik ketika melihat Julian menutup matanya lalu merosot kelantai.
"Tidak Julian ... !" Teriak Tuan Jhosep sekali lagi sambil menggoyangkan tubuh Julian yang sudah tumbang dilantai dalam keadaan pingsan.
Sementara itu, Maxwell terdiam melihat Julian tidak lagi menatapnya dengan tajam.
Tepat saat itu, ia berhalusinasi melihat Vania berdiri di sampingnya dengan menggunakan pakaian serba putih.
"Max ... " Suara lembut Vania terdengar ditelinga Maxwell ...
Seketika itu Maxwell meneteskan air mata haru karena ia bisa mendengar kembali suara itu setelah bertahun-tahun yang lalu.
"Vania ... "
"Iya, ini aku!" Jawab Vania sambil memegang kedua tangan Maxwell lalu tersenyum.
Maxwell tidak bisa mengeluarkan suaranya karena terpukau dengan wajah Vania yang berseri-seri.
"Max ... Aku tahu kalau kamu lelaki yang baik! Hatimu sangat lembut. Oleh karena itu, jangan lakukan ini atas namaku! Kamu dan Julian adalah orang yang sayangi dan cintai. Kalian hal terbaik yang pernah aku miliki selamat hidup ku. Jadi, jika salah satu diantara kalian terluka, aku pasti ikut terluka!" Kata Vania sambil memegang dada Maxwell.
"Satu lagi! Aku sudah memaafkan kamu! Oleh karena itu, hiduplah dengan baik dan lupakan aku! Bangun dan sadarlah kalau aku sudah tidak lagi ada di dunia ini! Maafkan mereka seperti aku memaafkan mereka yang melukaiku!" Setelah mengatakan itu, Vania menghilang dari hadapan Maxwell.
Seketika itu Maxwell tersadar lalu menatap kearah Julian dan Tuan Jhosep yang masih berada di hadapannya.
Setelah itu, ia memanggil anak buahnya yang berada di luar. Mereka terluka setelah di pukuli oleh Julian.
"Bawa dia ke dalam mobilku!" Perintah Maxwell pada pengawalnya yang sudah berada di hadapannya sambil menunjuk kearah Julian.
"Mau kamu bawa kemana anakku!" Teriak tuan Jhosep sambil menghalangi anak buah Maxwell untuk membawa Julian.
"Minggir kamu!" Maxwell menyingkirkan tuan Jhosep dari Julian. Setelah itu ia melirik anak buahnya, "Cepat bawa dia masuk ke mobilku!"
"Baik bos!" Setelah itu mereka semua membawa Julian masuk ke mobil Maxwell.
Tidak lama setelah itu, Maxwell mengeluarkan mobilnya dari paviliun tuan Jhosep.
'Kalau bukan karena Vania, aku akan membiarkan kamu mati karena kehabisan nafas!' Batin Maxwell sambil menjalankan mobil nya dengan kecepatan tinggi menuju kearah rumah sakit terdekat.
Sementara itu, tuan Jhosep segera mencari ponselnya. Setelah itu, ia segera membuat panggilan kepada asisten yang di tugaskan untuk mengurus pekerjaannya yang lain.
"Halo tuan Jhosep!" Terdengar suara asistennya dari seberang telpon setelah panggilan dijawab.
"Cepat jemput aku di paviliun ku!" Kata tuan Jhosep dengan suara yang lemah.
"Tuan ... Ada apa dengan anda? Kenapa suara anda seperti sedang tertekan begitu?" Tanya asistennya dengan panik karena firasatnya sangat tidak baik.
"Jangan banyak tanya! Segera jemput aku sekarang juga!" Teriak tuan Jhosep dengan geram karena asistennya terlalu banyak tanya.
"Baik tuan, saya akan segera kesan!"
Setelah itu, tuan Jhosep segera menutup panggilannya. Ia lalu berlari keluar meninggalkan mayat para anak buahnya yang terkapar bersimbah darah.
Malam itu sangat menyeramkan suasananya di paviliun itu karena begitu banyak mayat yang terkapar.
Para pelayan yang bersembunyi segera keluar untuk menyelamatkan diri mereka sebelum hal yang lebih buruk terjadi.
Semenatara itu, Qiara dan Aurel masih berada di rumah Kevin untuk memberikannya kejutan dan ucapan selamat atas pencapaiannya.
"Kenapa Pak Kevin belum juga sampai? Bukanlah seharunya dia sudah ada di bandara kota A?" Tanya Qiara yang mulia gelisah.
Ia tidak mengerti kenapa hatinya sangat cemas dan ia terus gelisah.
"Kemungkinan pak Kevin sedang ada di jalan." Jawab Aurel . "Oh iya, kenapa kamu terdengar sangat cemas dan gelisah? Ada apa? Apa kamu tidak merasa enak mengucapkan lebih dulu dari yang lain?" Tanya Aurel setelah melirik Qiara di sampingnya.
Qiara berdiri dengan perasaan yang tidak enak. Setelah itu ia menoleh kearah Aurel sambil berkata, "Aku juga bingung kenapa hatiku terasa sakit dan gelisah. Sepertinya ini bukan tentang Pak Kevin atau rasa tidak enak terhadap yang lain."