Masa Lalu Bagian 2
Masa Lalu Bagian 2
"Maaf bos, saya sudah masuk menggunakan kunci darurat dari pelayan yang biasa membersihkan apartemen anda. Sekarang saya sudah ada di ruang tamu."
Maxwell terkejut karena Vania masih ada di kamar mandi tamu. Ia pun melepas ponselnya lalu keluar dari kamar nya.
"Selamat malam bos! Apakah anda baik-baik saja?" Tanya Rafael setelah ia melihat Maxwell sudah berada di hadapannya.
"Aku tidak apa-apa! Oleh karena itu kamu sebaiknya segera pergi!" Kaya Maxwell sambil menggertakkan giginya karena ia khawatir kalau Rafael akan melihat Vania.
"Baik bos. " Rafael berbalik lagi setelah ia akan berjalan menuju pintu keluar karena ia merasa ada yang terlupakan.
"Apa lagi?" Maxwell merasa ingin mencekik Rafael yang kembali lagi setelah ia memintanya pergi.
"Tadi saya bertemu dengan sekretaris anda di luar. Tapi, ia langsung saya suruh pergi setelah saya mengambil barang yang anda pesan. Saya pikir anda akan memberikan hadiah pakaian buat seseorang wanita. Apakah itu benar?"
Maxwell terdiam sambil memejamkan matanya. Ia paling tidak suka sama orang yang cerewet. Tapi, ia harus menahan marahnya agar Vania tidak ketakutan.
"Tinggalkan barang itu lalu pergi dari sini!" Kata Maxwell dengan mata melotot.
Rafael merasa bulu kuduknya mulai berdiri melihat ekspresi Maxwell yang mengerikan.
"Baik bos!" Setelah itu Rafael segera melarikan diri dari Maxwell sebelum ia kena marah.
Maxwell bernafas lega setelah melihat Rafael pergi. Setelah itu ia duduk degan anggun di sofa sambil memperhatikan majalah yang ada diatas meja ruanga tamunya itu.
'Kenapa aku harus ketakutan pada Rafael? Bukankah aku bosnya? ' Batin Maxwell yang merasa ada yang tidak benar dengan kejadian yang baru saja terjadi.
Setelah membatin, Maxwell pun menyadarkan dirinya lalu mengambil majalah itu sembari menunggu Vania keluar dari kamar mandi.
Sudah cukup lama ia duduk di sofa, tapi Vania belum juga keluar dari kamar mandi sehingga ia merasa panik.
Beberapa Saat Kemudian.
Sudah lebih dari tiga puluh menit, tapi Vania belum juga keluar dari kamar mandi. Maxwell pun menoleh kearah kamar mandi dengan bingung.
"Kenapa dia belum keluar? Apakah dia ..." Maxwell tidak bisa melanjutkan kata-katanya ketika perasaan nya tidak enak.
Ia pun bergegas menuju kamar mandi untuk memeriksa Vania sebelum terjadi apapun padanya
Dari dalam kamar mandi, ia mendengar suara tetesan air yang mengalir. Ia pikir kalau Vania masih mandi sehingga ia mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu.
Akan tetapi, ia kembali penasaran saat jam menunjukkan sudah lebih dari lima belas menit tapi Vania belum keluar dan suara air masih terdengar.
Karena sangat cemas, Maxwell pun memberanikan diri untuk bertindak lebih jauh.
"Vania ... Apakah kamu baik-baik saja?" Tanya Maxwell setelah mengetuk pintu sebanyak tiga kali.
Tidak ada jawaban.
"Vania ... Apa kamu butuh bantuan?" Sekali lagi Maxwell bertanya karena dia tidak ingin tiba-tiba masuk dan membuat Vania takut.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba ia mendengar suara tangisan dari dalam kamar mandi. Ia pun semakin panik lalu mendobrak pintu kamar mandi itu.
Ia terkejut ketika melihat bak mandi itu kosong. Setelah itu ia masuk.
"Vania ... " Maxwell merasa kasihan melihat Vania meringkuk di sudut kamar mandi sambil menunduk sesegukkan.
Tubuhnya yang telanjang tadi sudah dibungkus dengan handuk berwarna putih. Tapi, kaki dan tangannya terlihat mengerut karena kedinginan.
"Vania ... Kenapa kamu duduk disana? Kenapa kamu tidak keluar dari tadi? Apakah kakimu keram?" Tanya Mau sambil melangkah mendekati Vania dengan langkah pelan.
Namun, belum saja ia melangkahkan kakinya yang sebelah, Vania sudah bereaksi dan menunjukkan ketakutannya.
"Jangan mendekat! Tolong jangan sakiti aku!" Teriak Vania ketika ia menyadari langkah kaki Maxwell yang semakin mendekat kearahnya.
Seketika itu Maxwell kaget mendengar suara teriakan Vania yang tiba-tiba.
"Tolong jangan sentuh aku! " Hanya itu yang bisa Vania ucapakan dengan suara yang bergetar.
"Tenanglah! Aku tidak akan menyakiti kamu. Aku bukan orang jahat. Aku disini karena aku ingin menolong mu." Kata Maxwell dengan suara pelan dan hati-hati agar Vania mau menerima keadaannya dengan tenang.
Vania terdiam mendengar perkataan Maxwell. Setelah itu ia mencuri pandang kearah Maxwell yang masih berdiri di hadapannya.
Tidak lama setelah itu, Vania terlihat membuka mulutnya dengan susah payah. Seketika itu Maxwell tahu kalau gadis itu ingin mengatakan sesuatu sehingga ia menunggunya untuk bicara.
"Mulut laki-laki tidak ada yang bisa di percaya. Aku bukan pelacur tapi tubuhku sudah dilihat oleh laki-laki lain, itu artinya aku tidak lebih dari seorang pelacur sekarang. Bagaimana aku bisa menghadapi mahasiswa ku?" Suara Vania bergetar karena ia merasa stres memikirkan hal buruk itu.
Untuk pertama kalinya, Maxwell menaruh simpati pada wanita. Ia bisa menebak kalau Vania adalah gadis baik-baik yang sudah di jebak.
Setelah terdiam cukup lama, Maxwell pun mengabaikan larangan Vania. Ia berjongkok sambil memegang tangan Vania lalu berkata, "Kamu bukan pelacur karena yang namanya pelacur adalah ia yang menawarkan dirinya pada lelaki hidung belang. Tapi, kamu sudah di jebak oleh karena itu aku akan membantumu membalas orang yang sudah melalukan ini padamu. Percaya padaku!"
Vania mendongak menatap mata Maxwell. Ia melihat ada ketulusan dalam tatapan itu sehingga ia mengangguk dan mau mengikuti Maxwell keluar dari kamar mandi.
"Aku hanya ingin hidup tenang dan bahagia menjalani hari-hariku, bukan untuk membalas dendam. Hanya itu keinginan terbesarku."
"Oke. Aku akan membantumu untuk mewujudkannya. " Setelah mengatakan itu, Maxwell membantu Vania untuk keluar dari kamar mandi.
Vania mengikuti Maxwell dengan patuh. Entah kenapa ia tidak menaruh curiga pada orang asing itu.
Maxwell tidak sanggup membayangkan bagaimana kalau gadis lugu itu di perkosa oleh tiga orang sekaligus. Yang memerintahkan mereka pasti manusia yang lebih kejam dari manusia.
"Apakah kamu mau minum atau makan?" Tanya Maxwell ketika melihat Vania sudah memakai baju yang dibelikan oleh nya.
Vania menggeleng dengan malu-malu, karena ia merasa tidak nyaman sudah merepotkan orang asing. Terlebih orang asing itu adalah seorang laki-laki.
"Kalau begitu, kamu istirahat saja di kamarku dan aku akan tidur di sofa!" Maxwell menunjukkan sikap manisnya kepada Vania agar tidak takut padanya.
Tanpa menjawab pertanyaan Maxwell, Vania berjalan lalu duduk di sebarang tempat duduk Maxwell. Setelah itu ai menarik nafas tanpa melihat kearah Maxwell.
"Tuan ... Terimakasih karena anda sudah menolong saya! Saya tahu kalau menahan diri itu sangat tidak mudah bagi laki-laki. Oleh karena itu aku minta maaf. Karena kita belum menikah, maka saya ingin pergi malam ini juga dari apartemen tuan." Kata Vania dengan suara yang lembut.