57| Just The Way You Are
57| Just The Way You Are
"Bagaimana?"
Suara bariton itu terdengar beriringan dengan suara pintu yang kembali tertutup. Tampak seorang laki-laki yang sangat ia kenal, dia adalah Rio. Tunggu, untuk apa dia masih ada di sini?
"Bagaimana apanya? kenapa tidak kembali ke kantor mu, bodoh.." ucapnya sambil menaikkan sebelah alisnya. Tadi, Rio hanya mengantarnya tepat di hadapan seorang doorman Luis Company dan ya ia langsung saja turun dari mobil mengingat tidak boleh membuang banyak waktu karena pekerjaan sudah menunggu dirinya.
"Aku mungkin punya sedikit waktu untuk kamu, ya lagipula aku juga bosan bekerja." jawab Rio dengan santai sambil mendaratkan bokongnya ke sofa yang berada di dalam ruang kerja sang kekasih.
Kekasih? pengungkapan cinta saja belum, hanya menaruh benih dan bertanggung jawab. Apa hal itu langsung saja meresmikan hubungan tanpa pacaran dan langsung berstatus 'future husband'?
Azrell menghembuskan napasnya, ingin jujur dan mengusir kedatangan laki-laki yang kini sudah duduk manis di sofa pun tidak tega. "Bagaimana kamu bisa masuk ke sini? Luis Company tidak menerima orang asing seperti mu," ucapnya sambil beranjak dari duduknya dan langsung berjalan ke arah Rio.
Sedangkan Rio? ia masih santai bersikap seolah-olah bisa melakukan apapun yang ia mau. "Ya mudah, aku kolega besar dan tidak mungkin mereka menahan ku. Lagipula aku ini bukan ciri-ciri laki-laki pencuri dokumen atau apapun yang biasanya para perusahaan takutkan, dan aku bilang kalau ingin bertemu calon istri ku yaitu kamu Azrell." ucapnya sambil menarik pinggang wanita yang sudah berdiri di hadapannya untuk duduk di pangkuan.
Merasa kalah jika berada di dekat Rio? itu sebuah kebenaran karena saat ini seorang Azrell tidak bisa menentang perkataan laki-laki itu.
"Baiklah, kamu menang dan aku tidak akan menanyakan apapun tentang kenapa kamu berada di sini, damn."
"Jangan mengumpat diriku, nanti kata damn akan berubah menjadi love."
"Jangan terlalu percaya diri seperti itu, baru pertama kali seorang laki-laki begitu menyebalkan datang ke dalam hidup ku."
"Ya supaya aku menjadi laki-laki yang berbeda dari lainnya, bukan karena aku tertarik dengan kecantikan mu--"
"Iya, kau tertarik dengan tubuh ku, jerk."
Azrell paham betul di malam saat dirinya benar-benar buntu dengan apa yang terjadi di dalam hidupnya dan memutuskan untuk pergi ke club yang berakhir mabuk. Dan pada saat itu juga seorang Rio muncul dengan wajah cukup tampan, mengajaknya berbicara.
"Kalau itu sih sudah pasti, tapi yang penting aku bertanggung jawab dan mengakui kesalahan ku."
"Iya karena yang kamu tahu cuma memakai wanita lalu membuangnya, iya kan?"
Rio menaikkan sebelah alisnya, darimana perumpamaan itu berasal? toh dirinya tidak pernah membuang wanita, ya hanya saja kemarin-kemarin ia bermain aman tidak sampai menyemburkan benihnya. "Tidak, kamu salah dan kamu pantas mendapatkan hukuman karena telah menuduhku yang tidak-tidak." ucapnya sambil menaikkan sebelah senyuman.
"Apa-apaan--"
Cup
Azrell merasakan bibir sexy Rio mendarat tepat di bibirnya, ia bungkam dan tidak akan membiarkan lidah yang sedang berusaha menerobos masuk ke dalam mulutnya.
"Buka sayang,"
"Gak."
Rio yang mendengar jawaban ketus daru Azrell pun tidak menyerah untuk membuat wanita itu membuka mulutnya, supaya ia bisa mengabsen setiap deretan gigi rapih dan juga bergulat dengan lidah milik wanitanya. "Yasudah," Bukannya menyudahi lumatan mereka tapi justru ia malah menggigit bibir bagian dalam Azrell.
"Awhh!"
Dan spontan, Azrell membuka mulutnya karena di gigit seperti itu oleh Rio. Ia mengaduh dan langsung merasakan laki-laki itu sudah mengabsen setiap inci rongga mulutnya.
Azrell mendorong dada bidang Rio dengan sekuat tenaga, bahkan kini kedua tangannya sudah terkepal untuk meninju laki-laki tersebut.
Dan ya, Rio pasrah ia melepaskan lumatan mereka dengan perasaan yang sedikit tidak rela. "Kenapa? bahkan belum lama kita berciuman," ucapnya dengan senyuman yang di tekuk. Tuxedo yang melekat di tubuhnya tidak membuat ia menjadi laki-laki yang masih mengutamakan kegagahannya, tidak seperti Leo.
"Aku harus bekerja, dan kamu mengacaukan dengan seenaknya."
"Bukan mengacaukan, hanya mengawasi dan kamu menghampiri aku. Sekalian saja melumat bibir mu yang sangat menggoda,"
Azrell memutar kedua bola mata, lalu beranjak dari duduknya yang berada di pangkuan Rio. "Jangan tidak jelas, kalau begitu aku ingin melanjutkan pekerjaan ku saja." ucapnya sambil berjalan meninggalkan laki-laki yang masih menatap dirinya dengan sebuah senyuman yang sangat menggelikan.
Mendaratkan bokong tepat di kursi kerjanya, lalu menatap kembali layar laptop yang sudah redup. "Menyebalkan," gumamnya. Ia menggerakkan kursor dan memasukkan sandi untuk kembali menyalakan benda elektronik yang gemar dipakai olehnya di setiap jam kerja.
"Kapan kamu istirahat?"
Tanpa menolehkan kepala ke arah Rio, mata Azrell masih terfokus pada layar laptop. Perasaannya kian lega mengingat sudah terbebas dari perasaan terkutuk yang tidak merelakan Leo untuk Felia, tapi... apa dirinya bisa berdamai dengan wanita yang menjadikan dirinya bertemu dengan seorang Rio yang memiliki kedudukan serupa dengan sang mantan kekasihnya itu? entahlah, ia rasa semuanya membutuhkan penjagaan waktu.
"Baru beberapa menit masuk kerja, kenapa kamu sudah bertanya jam istirahat kantor?"
"Ya tinggal jawab saja sayang, kenapa harus menjawabnya dengan nada ketus seperti itu?"
"Ya karena aku kesal dengan mu,"
"Biasanya, rasa kesal akan menjadi cinta. Dan aku sangat suka membuatmu kesal supaya kamu selalu mengingat diriku dan tanpa sadar... kamu jatuh cinta."
Azrell bergeming mendengar apa yang diucapkan Rio, ia bahkan bilang kepada Felia dan Leo kalau dirinya ingin mencoba untuk memulai kisah baru pada laki-laki itu dengan segenap hati.
"Kenapa diam?" suara bariton Rio kembali terdengar, seperti ia terlalu tidak bisa membiarkan suasana senyap tanpa adanya obrolan.
Berdecak kecil, kalau begini caranya bisa-bisa pekerjaannya tidak akan cepat selesai. "Bisa diam atau tidak sih, Rio? apa kamu tidak lihat kalau aku sedang bekerja?" tanyanya dengan nada yang berusaha di buat setenang mungkin... jangan sampai tersulut emosi hanya karena laki-laki seperti layaknya seorang Lethuce Fabrio Wallie.
"Ya tidak bisa lah, aku kesini untuk kamu. Masa iya di diemin gitu aja,"
"Dan aku gak nyuruh kamu buat datang, aku bilang ya pada Mommy dan Daddy kalau calon menantunya sangat pemalas bukannya bekerja malah memandori diriku."
"Biarkan saja, kerja atau tidak uang ku tetap mengalir sama seperti mantan mu."
"Jangan sebut dia di sini, sangat memuakkan."
Azrell benar bersungguh-sungguh ingin menghapusnya segala hal tentang Leo. Walaupun jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia masih mengharapkan sedikit perhatian dari laki-laki itu. Tapi sayangnya mustahil.
"Kenapa? telah menyakiti mu atau sebaliknya?"
Dan ya, Rio suka sekali memancing emosi Azrell. Sepertinya dia memang berniat membuat wanita ini kesal, jatuh cinta dengan cara yang sulit untuk di lupakan di Kenya hari.
"Kamu benar-benar ingin di usir ya dari ruang kerja ku? huh sangat menyebalkan."
"Gak masalah kalau di usir dari ruang kerja mu asalkan gak di usir dari kehidupan mu."
Random, banyak gaya, bawel, menyebalkan, dn masih banyak lagi sifat tak biasa dari CEO satu ini.
Begitu mendengar jawaban yang masuk ke dalam kategori kalimat rayuan, Azrell memutar kedua bola matanya. Namun tiba-tiba sebuah senyuman cerah menghiasi raut wajahnya yang sangat sempurna dan cantik. "Aku tidak akan mengusir mu dari kehidupan ku, karena aku mau belajar mencintai laki-laki lain untuk melepas Leo." ucapnya sambil menatap Rio, tatapannya begitu hangat bahkan terlihat ketulusan yang tercetak di balik netra matanya.
Rio mengerjapkan kedua bola matanya, baru kali ini melihat Azrell yang menatapnya seolah-olah penuh cinta. Biasanya, wanita itu tidak segan-segan untuk menatapnya dengan sorot mata bak elang perkasa di langit.
"Maksudmu? bukannya kamu mengakui kalau Leo yang menghamili diri mu?"
"Tidak, aku sudah bilang padanya kalau semua itu bohong. Dan ya, ku rasa aku cukup lega."
"Bagaimana dengan Felia?" tampaknya, ia begitu cemas dengan sang adik kandung yang sudah hilang sejak lama. Keluarganya yang porak poranda menjadikan salah satu dari buah hati Wallie merasakan kehidupan yang sengsara, bahkan tidak pernah merasakan hidup bergelimang harta sebelum bersama dengan Leo.
Azrell menghembuskan napasnya mendengar pertanyaan itu, bukan ia cemburu tapi... ia sendiri pun belum bisa berdamai dengan apa yang ia lakukan pada wanita yang dulu sangat sedekat nadi sebelum sejauh matahari.
"Entah, rasanya belum bisa kembali--"
"Karena kamu merasa diri mu selalu benar, iya kan?" terlihat Rio yang beranjak dari duduknya lalu berjalan menghampiri Azrell yang masih terpaku karena ucapannya terpotong dan di tampar oleh deretan kalimat yang diucapkan olehnya. Berhenti tepat di samping wanita itu lalu memeluk tubuhnya. "Kalau kamu bisa memaafkan diri kamu sendiri tentang apa yang di katakan kamu sampai mempermalukan Felia dengan tindakan mu, aku yakin dia akan memaafkan kamu." sambungnya sambil mengelus puncak kepala Azrell.
Sudah lama tidak diperlakukan selembut ini oleh seorang laki-laki, tentu saja pelukan Rio membuat Azrell sangat nyaman. Leo pernah sih melakukan ini padanya, tapi... rasanya berbeda.
"Terimakasih, aku akan memikirkannya lagi."
"Jangan paksakan diri mu, aku tahu kamu tidak salah bahkan wajar melakukan hal itu tapi hanya satu yang salah, porsi. Kamu terlalu berlebihan dengan apa yang membuat kamu kalut,"
Pemikiran Rio yang sangat dewasa kini mampu menjadi penenang bagi Azrell yang seperti tersesat di dalam kehidupannya sendiri.
Kristal bening di manik mata Azrell mulai terlihat, namun tak meluruh. "Terimakasih sudah hadir, bertanggung jawab, dan mau menerimanya ku apa adanya." ucapnya dengan nada pelan.
Mungkin menjalin hubungan bersamanya Leo adalah hal yang sangat menarik, bahkan sampai tersorot oleh dunia.
Tapi kini, Azrell menyadari satu hal. Hubungan yang jauh lebih menarik di saat dunia tidak perlu tahu dengan siapa kamu jatuh cinta.
...
Next chapter