63| Ignore The Past
63| Ignore The Past
"Terimakasih sudah datang dan memeriahkan perusahaan kami," ucap Leo dengan nada sopannya. Ia melirik ke arah Azrell yang diam-diam saja sejak terjadinya pidato singkat tentang rasa terimakasih dan juga pesan-pesan lainnya yang ia sampaikan, entah apa yang wanita itu rasakan.
Damian menganggukkan kepalanya, rasanya sangat hebat memiliki rekan kerja yang hangat dan juga berkepribadian seperti layaknya Leo. "Seharusnya saya yang terimakasih karena sudah dibuatkan acara semeriah ini." ucapnya dengan membalas senyuman.
Mereka saling melepas jabatan tangan, lalu Leo menepuk-nepuk pundak milik Damian dengan sangat friendly. "Terimakasih kembali dan silahkan makan sesuka anda, sudah tersedia di sana untuk mu dan sekretaris mu." ucapnya sambil mengarahkan tangannya ke sebuah meja makan yang hanya diberikan dua bangku saja, seolah-olah membuat sang tamu merasa jadi lebih spesial.
Damian terkekeh kecil, "kenapa harus repot-repot, huh? saya tidak--"
"Jangan sungkan, mari."
Menggiring Damian ke arah tujuan yang di maksud, membuat kedua orang sekretaris dari pihaknya dan dari pihak laki-laki di sebelahnya mengikuti mereka dari belakang. Setelah sampai di tempat yang di maksud, Leo langsung saja menarik sebuah kursi dan Damian duduk di sana.
Di meja sudah ada berbagai macam hidangan menu makan siang yang di jamin rasanya tidak akan mengecewakan karena Luis Company benar-benar melakukan segalanya sampai titik totalitas, bahkan tak segan-segan mengeluarkan semua barang yang berkualitas tinggi.
"Kalau begitu, mari makan dengan saya. Sekretaris bisa nanti saya suruh untuk makan di restoran," ucap Damian sambil mengarahkan kepala ke kursi yang berada di seberangnya.
Leo sebenarnya tidak ingin melewatkan hal ini, tapi.. bagaimana dengan bekal yang dibuatkan oleh Felia? kalau tidak di makan pasti wanita itu akan kecewa, atau lebih-lebih menjadi sedih. Dan kalau di makan.. bagaimana cara untuk menolak perkataan Damian barusan?
"Tuan Damian, sebaiknya anda makan dengan sekretaris anda saja. Tuan Leo sengaja menyajikan semua ini buat tamu,"
Bukan Leo yang berbicara, sehingga laki-laki itu sedikit menolehkan kepalanya ke arah sumber suara, yaitu Azrell. Tatapannya seolah bertanya-tanya kenapa wanita itu membantu dirinya menjawab pertanyaan Damian?
Mengalihkan lagi perhatiannya ke Damian, terlihat laki-laki itu tampak mengerti. "Baiklah aku paham," ucapnya sambil mengisyaratkan sekretarisnya untuk menempati posisi yang di maksud oleh Leo.
Leo menganggukkan kepalanya, dalam hati mengucapkan puji syukur pada Tuhan untuk Azrell yang telah membantunya. "Kalau begitu, silahkan makan siang terlebih dahulu. Saya ingin memakan bekal dari kekasih dulu," ucapnya sambil membungkukkan tubuhnya dengan sopan.
Setelah mendengar kalimat mengiyakan dari mulut Damian --laki-laki ini tidak menanyakan apapun karena ia paham bagaimana rasanya di bawakan bekal makan oleh seorang wanita yang di sayang--, Leo segera pamit undur diri bersama dengan Azrell yang mulai mengikutinya.
"Kenapa kamu mengikuti saya?" tanya Leo tanpa mengalihkan pandangannya ke belakang, dimana Azrell yang masih mengekori setiap langkah kaki yang di ambilnya.
Mendengar pertanyaan itu, Azrell pun menaikkan sebelah alisnya. "Seharusnya kamu berterimakasih kepada ku, Tuan." ucapnya dengan nada malas. Ia mengikuti Leo karena laki-laki itu belum mengatakan kalimat yang seharusnya dilontarkan kepadanya, toh memang sudah seharusnya ucapan terimakasih itu mendarat di telinganya.
Leo menghembuskan napasnya, lalu berdiri tepat di depan lift yang masih tertutup. Membalikkan tubuhnya, lalu menatap Azrell dengan wajah tenang. "Terimakasih, sudah kan?"
Ia menutup kemungkinan jika ada yang di mau oleh Azrell, tapi ia tidak bisa menebak apa hal itu.
Azrell tampak bergeming, seperti enggan meninggalkan Leo. Entah apa yang dipikirkan saat ini, tapi ia.. cemburu dan penasaran dengan bekal apa yang di persiapkan Felia untuk laki-laki di hadapannya ini. Mencengkram ujung jas kerjanya, lalu tatapannya mulai menurun. "Belum, aku... kenapa rasanya sangat berat, Tuan?" akhirnya terdengar nada lirihan yang terdengar sedih.
Baru beberapa saat ia bertekad untuk menjauhi Leo, tapi di saat itu juga ia merasa bukan menjadi wanita yang bisa kehilangan sesuatu yang disayangi dengan mudah.
Leo melihat raut wajah Azrell yang kehilangan senyumnya, ia menghembuskan napas. Apa yang ia pikirkan ternyata benar kalau wanita ini masih sangat sulit dan terpaksa meninggalkan dirinya. "Karena kamu masih memprioritaskan saya, sebaiknya kamu lupakan saya. Lagipula saya saja sudah tidak mengingat-ingat lagi kenangan kita," ucapnya sambil menjulurkan tangan untuk menepuk-nepuk pundak wanita itu.
Azrell menatap Leo penuh kerinduan. Mungkin saja kini harinya diisi oleh Rio, namun entah kenapa rasanya berbeda jika bersama dengan laki-laki yang masih sama tampannya seperti sebelumnya. "Sulit, Tuan. Nyatanya aku tidak bisa, ingin niat sekeras apapun--"
"Kamu sendiri yang dengan keberanian mengatakan pada saya kalau tidak akan mengganggu hubungan ku lagi, memangnya kamu tidak memikirkan bagaimana perasaan Felia kalau kamu seperti ini, huh?"
Leo hanya ingin takdir adil saat mereka berpisah. Dirinya mendapatkan Felia, dan Azrell mendapatkan Rio. Kalau seperti ini caranya, sangat terlihat jadi ia yang salah.
"Maaf labil, tapi aku belum bisa Tuan." lirihan Azrell masih terdengar bahkan kini kedua bola matanya menampilkan sorot sedih karena benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, Leo mengulas sedikit senyuman supaya tidak terbawa emosi saat menghadapi wanita yang seperti ini. "Saya harus segera makan siang sebelum acara selanjutnya di mulai, Azrell. Silahkan kamu kembali ke aula dan menemani Damian, ajak bicara seperti kamu yang biasanya." ucapnya dengan nada bariton yang dibuat setenang mungkin.
Azrell menunjukkan raut wajah yang sudah terlihat kristal bening bertengger di tepi kelopak matanya, apalagi terlihat kini kedua alisnya menurun. "Biasanya kamu bilang? aku tanpa kamu bukan biasa saja, aku tanpa kamu... hampa." Seperti tenggorokannya yang mulai tercekat, kini rongga dadanya terasa penuh sesak apalagi desakan kenangan manis mendobrak pintu ingatannya.
Leo mengerjapkan kedua bola matanya, ia melihat kilatan penuh ketulusan yang tercetak jelas di kedua manik mata Azrell. "Hei, maaf. Saya punya hati yang harus di jaga, dan saya tidak ingin kamu berada di antara kita. Sudah ya, Azrell. Sepertinya saya harus segera pergi ke ruangan saya, sampai nanti." ucapnya sambil menekan tombol lift sehingga terbuka, ia masuk ke dalam dan melihat wajah sendu Azrell sebelum menekan tombol lift yang langsung menutup pintunya dan menuju ke lantai yang di maksud.
Ia sangat senang saat tahu kalau Azrell sudah bersikap dewasa tanpa harus berkali-kali di tegur olehnya, tapi semuanya seakan sirna mengetahui kalau merelakan lebih sakit dari kehilangan, iya kah? mungkin saja iya.
Ponselnya sudah bergetar sedari tadi, pertanda bahwa Felia pasti mengingatkan dirinya untuk menyantap bekal yang entahlah ia tidak tahu makanan apa yang di bawakan wanitanya. Tidak ingin membuka ponsel sambil berjalan, ia mengurungkan niat membalas pesan sebelum bokongnya duduk manis di kursi.
Ting
Setelah itu, Leo melangkahkan kakinya ke luar dari lift dan berjalan ke arah ruang kerjanya, masuk ke sana sampai atmosfer ber-AC itu menyapu permukaan kulit yang tidak tertutup apapun. Ia langsung saja ke arah meja kerja, dan mendaratkan bokong pada kursi kekuasaannya.
Leo mengambil tas kerjanya, lalu mengeluarkan satu kotak bekal berwarna biru laut yang terlihat terlalu soft untuk laki-laki maskulin seperti dirinya. Sebelum membuka kotak bekal, tentu saja ia meraih ponsel dan segera menghubungi Felia. Membuka speaker supaya tidak perlu menaruh ponsel ke daun telinganya, lalu benda pipih itu di letakkan tepat di atas meja.
"Halo Tuan, kemana saja huh!"
Baru memulai percakapan, Felia sudah sebal dengan dirinya, menggemaskan sekali. Dengan kekehan kecil, Leo menggaruk pipinya yang tidak gatal --getak refleks--. "Maaf, tadi ada acara di kantor dan baru sempat menghubungi mu sekarang." ucapnya.
Terdengar dengusan kecil di seberang, lalu di susul dengan suara tepuk tangan yang gregetan. "Ayo cepat makan makanan buatan ku, aku ingin mengetahui apa pendapatmu." ucap Felia di seberang sana dengan sangat semangat.
Lihat, terkadang Felia menjadi gadis polos dan lugu, sexy dan berbahaya, kini menjadi penuh semangat dan periang.
"Memangnya kamu membawakan apa untuk diri ku, sayang?"
"Buka saja, nanti kamu juga bakalan tahu."
Leo menganggukkan kepalanya, lalu kedua tangannya mulai saling membantu untuk membuka kotak bekal tersebut.
"JENGJENG!"
Bersamaan dengan pekikan yang keluar dari mulut Felia, di saat itu juga tutup kotak bekal tersebut terbuka dan memperlihatkan sebuah hidangan yang di bentuk sekian rupa.
"Nasi goreng?" gumam Leo sambil menaikkan sebelah alisnya. Nasi goreng seafood dengan udang, calamari, dan beberapa potongan daging sebagai pelengkap. Jangan lupakan acar, dan ada juga saute vegetables serta buah di sana. Satu tempat, namun beda sekat.
"Iya betul, seratus buat kamu!"
Ternyata.. daritadi Leo menunggu jam makan siang hanya untuk satu hidangan nasi goreng saja?
"Sayang, apa kamu tidak suka?"
Leo bergeming...
"Tuan?"
"Sayang Leo? ah maaf kalau membuat mu berpikir makanan buatan ku itu--"
Leo mengembangkan sebuah senyuman, lalu mengambil sebuah sendok yang dipersiapkan juga untuknya. "Apa kamu serius? aku sangat suka dengan nasi goreng, astaga sudah lama tidak mencicipi ini." ucapnya dengan senang. Terakhir kali ia memakan nasi goreng saat dirinya berlibur ke Bali, dan itu benar-benar cocok dengan lidahnya. Ia tidak terbiasa dengan rempah-rempah Indonesia, namun untuk beberapa masakan seperti nasi goreng itu sangat enak.
Terdengar kekehan dari seberang sana, bayangan sebuah senyuman manis Felia langsung terbayang di benak Leo. "Iya kah kamu suka? syukurlah, selamat menikmati."
Leo hanya menganggukkan kepala, lalu menyendokkan nasi ke dalam mulutnya. "Astaga, lezat sekali..."
Di seberang sana, Felia tengah menampilkan sebuah senyuman bahagia. Karena awalnya mungkin ekspetasi tidak seindah realita Leo, namun semua itu salah ternyata laki-laki itu sangat suka dengan masakannya.
Tiba-tiba percakapan dengan Azrell beberapa saat lalu, kandas begitu saja dari jalan pikirannya. Lihat, ia sudah tidak peduli dengan apa yang terjadi di masa lalu namun masih diungkit-ungkit sampai saat ini.
Baginya, masa sekarang itu menentukan bagaimana langkah di masa depan. Jadi, hadirnya masa lalu bukan pacuan untuk kembali mengingat hal yang dulu pernah terjadi.
...
Next chapter