62| Improve Mood
62| Improve Mood
Rio menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tatapannya menembus ke arah luar jendela yang berada di ruang kantornya, menampilkan pemandangan kota London di pagi hari. Pertanyaan dari Lina di seberang sana membuat dirinya diam tak berkutik, masalahnya... bagaimana cara penyampaian baik kalau ternyata wanita yang di temui yang di taman beberapa tempo hari lalu adalah sang adik yang menghilang.
"Ya aku lagi memikirkan caranya, apa Mommy ada saran atau apapun itu? aku seperti tidak tahu harus melakukan hal apa." ucapnya dengan deretan kalimat yabg terdengar konyol, seorang laki-laki harusnya buda meng-handle semua ini tapi ia sebaliknya.
Terdengar suara kekehan dari seberang sana, pasti Lina tengah menertawakan apa yang dikatakan oleh Rio barusan. "Kenapa jadi Mommy yang turun tangan kalau kamu yang sudah bertemu dengan dia, huh? lakukan dengan kemampuan mu, Mommy tidak ingin membantu, good luck!"
Pip
Membelalakkan kedua bola matanya, tentu saja Rio sangat percaya dengan apa yang dilakukan oleh Lina. Tiba-tiba mematikan sambungan telepon mereka tanpa persetujuan kalimat ataupun pertentangan lainnya.
Mencoba untuk tidak terlalu memikirkan karena ia tahu nanti kalau semisalnya takdir mempertemukan kembali dengan Felia pun ia akan menjadi laki-laki yang banyak bicara. Beralih dari topik Felia yang diobrolkan dengan dirinya dan Lina, kini jemarinya mulai menari-nari di atas layar ponsel mengingat hari ini ia tidak bisa berkunjung ke Luis Company untuk menghampiri seseorang.
Mencari namanya di kontak ponsel, dan ketemu.
"Sekali-kali di telpon biar dia sebal,"
Tunggu, sekali-kali? bahkan kalau mereka tidak sedang bersama pun Rio tangannya gatel dan hampir tiap dirinya bosan atau merasa tidak ada lagi yang perlu di kerjakan, salah satu solusinya adalah menelepon Azrell, memangnya ngapain lagi selain itu?
Menempelkan benda pipih yang sedaritadi berada di genggaman tangan kanannya, sedangkan tangan satu lagi di masukkan ke dalam saku celana. Dering pertama tidak ada tanda-tanda akan di angkat, begitu seterusnya sampai dering ke lima.
"Lagi sibuk? tapi sesibuk-sibuknya Azrell gak pernah ngelewat--"
"Halo, ada apa ya?"
Tiba-tiba saja suara halus nan terdengar lembut dari seberang sana sampai pada indra pendengaran Rio, membuat laki-laki itu menampilkan sebuah senyuman yang secerah mentari. "Oh hai, sayang. Sibuk banget ya?" tanyanya sekedar berbasa-basi.
Melangkahkan kakinya ke arah sofa, setelah sampai langsung mendaratkan bokongnya di sana. Sebelum memulai kembali pekerjaan, alangkah baiknya untuk menelepon orang yang di sayang terlebih dahulu supaya suasana hati tidak berantakan dan mumet.
Terdengar decakan kecil disusul dengan suara kertas yang seperti di bolak balik. "Iya lah, gak perlu tanya kan? ini hari kerja, udah pasti aku sibuk dan tidak sempat untuk meladeni percakapan mu yang random ini." jawab Azrell dengan nada kesal, terdengar sangat ceta dari seberang sana.
Rio dengan wajah tanpa dosa sambil meraih sebuah milkshake yang tadi di bawakan oleh petugas kantin, meminumnya dengan menyeruput menggunakan sedotan. "Kalau begitu, aku bisa mengganggu mu." ucapnya dengan kekehan kecil.
Baginya, tingkat kecantikan wanita bukan hanya di ukur saat dia tersenyum. Tapi terlihat saat merasa kesal akibat ulahnya, itu baru wanita yang sempurna. Seolah-olah laki-laki bobrok bertemu dengan seorang wanita yang pemarah dan mudah sekali menyimpulkan sesuatu.
"Jangan berani-beraninya, aku lagi mempersiapkan diri untuk kedatangan tamu besar. Bukan sebaliknya yang mungkin menurut my aku banyak waktu luang untuk sekedar mengobrol."
"Memangnya siapa yang ingin datang ke Luis Company sampai-sampai kamu tidak memiliki waktu untuk ku?"
"W'company, Tuan Damian."
Memangnya siapa yang tidak kenal dengan pengusaha yang menempati posisi lima besar di dunia itu? tentu saja Rio tau tapi belum menerima kerja sama dengan perusahaannya. Ya karena belakangan kemarin ia suka sekali mampir ke club dan bercinta dengan para wanita dan menelantarkan perusahaan, jadi harus giat lagi supaya tidak menurun perbulannya.
"Oh dalam rangka apa?"
"Bisa gak jangan terlalu penasaran dengan urusan orang lain, Rio.
"Aku hanya ingin tahu, bukan penasaran."
Sepertinya wanita di seberang sana sudah cukup kesal dengan apa yang dikatakan olehnya. "Jangan lupa makan siang oke? atau aku yang akan menghampiri kamu ke Luis Company." sambung Rio sambil mengangkat senyuman miringnya. Ia ingin sekali melihat kembali wajah terkejut Azrell karena kehadirannya yang selalu tiba-tiba.
"Jangan ke sini, banyak yang harus aku kerjakan daripada mengurusi dirimu." balas Azrell di seberang sana, lagi-lagi terdengar suara seperti wanita itu memang sedang benar-benar sibuk dengan keyboard laptopnya.
Apa iya kedatangan Damian lebih penting daripada dirinya? oh tentu saja iya. Karena siapa sih yang ingin kelewatan seorang laki-laki dengan kedudukan besar yang sangat romantis kepada istrinya? pasti tidak akan ada yang ingin melewatkan. Dan ya, ia cukup mewajarkan hal itu karen Wallie belum sebanding dengan Wilson.
"Kamu juga jangan kebanyakan kerja terus, nanti istirahat makan siang yang benar. Boleh serius dengan pekerj--"
"Iya Rio yang sangat amat bawel, nanti kalau semua ini sudah selesai aku akan meminta pada Leo untuk memberikan jam istirahat lebih awal."
Menganggukkan kepala seolah-olah sang lawan bicara sedang berada di hadapannya, Rio setuju dengan perkataan Azrell. "Kalau begitu, semangat ya untuk kamu." ucapnya sambil menarik senyuman yang terlihat sangat manis.
"Iya, terimakasih ya. Memangnya kamu tidak ada pekerjaan selain menelepon diriku, huh?" tanya suara lembut itu namun terdengar masih kesal dengannya.
Rio mengangkat kedua bahunya, dirinya sendiri juga tidak mengerti kenapa rasanya ingin berlama-lama menelepon Azrell. Ia tidak ada rencana untuk memberitahu wanita itu tentang kebenaran Felia yang bernotabene sebagai adik kandung yang hilang. "Tidak ada, tadi aku menelepon Mommy dan mengingat mu. Oh ya, akhir pekan ada acara?" tanyanya yang teringat akan sesuatu saat mengucapkan nama Lina.
"Hm... tunggu sebentar aku ingat-ingat dulu." balas Azrell di seberang sana, nada bicaranya dapat menghadirkan rasa penasaran yang tercetak jelas di kepala seseorang yang tengah menunggu jawabannya.
Rio bergeming, menunggu hasil pemikiran yang sedang di kelola oleh Azrell.
"Sepertinya tidak ada, kenapa?" tanyanya di seberang sana, mungkin kini arah pandangnya ke kerjaan namun titik fokusnya berada di Rio.
"Aku ingin mengajak my bertemu dengan Mommy, bagaimana?"
"Kenapa bisa tahu tentang diri ku? gosh, kamu bercerita apa saja tentang diri ku..?!"
"Aku bilang kamu calon masa depan dan aku sudah menanamkan benih di tubuh mu."
Rasa ingin memukuli Rio teramat besar mengingat laki-laki itu benar-benar terasa amat sangat jujur dengan apa yang terjadi. What the hell?!
"Kalau aku tidak punya rasa malu, pasti saat ini aku sudah berteriak untuk mengumpat kasar padamu, Rio. Kamu laki-laki yang paling menyebalkan," ucap Azrell di seberang sana dengan berdesis, pertanda dirinya benar-benar merasa kesal.
Rio terkekeh kecil. Lagipula apa salahnya berkata jujur dengan apa yang terjadi? ia hanya ingin Lina tahu kalau dirinya sudah menghamili seorang wanita, tapi untung saja Mommy-nya itu paham dan langsung mengatakan supaya Azrell cepat-cepat bertemu dengan dia. Orang tua yang sangat idaman, sepertinya Lina sangat humble.
"Aku jujur, daripada tiba-tiba nanti kamu hamil tapi orang-orang tidak tahu apapun tentang hubungan kita. Itu lebih gawat, iya kan?"
Terdengar hembusan napas kecil dari seberang sana. "Iya juga sih ya, euhm apa kamu ingin di buatkan bekal makan siang?"
"Siapa yang membuatkan untuk ku?"
"Aku akan memasak untuk kamu, bagaimana?"
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, perkataan Azrell barusan seperti hal mustahil yang tiba-tiba menjadi kenyataan. "Apa ada yang salah dengan otak mu, Azrell? sepertinya ada sedikit salah kata dengan dirimu,"
"Tidak, tidak. Aku sangat serius dengan ini, kalau tidak mau--"
"Ah tidak, aku mau. Jangan memutuskan sesuatu yang belum di jawab, sayang."
"Makanya jadi laki-laki jangan kebanyakan bertanya, keburu suasana hati wanita memburuk."
Rio hanya terkekeh kecil, lalu mengubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman daripada sebelumnya. "Baiklah, aku setuju dengan ucapan mu, dan kamu juga harus setuju dengan ajakan ku di akhir pekan. Deal?"
Lama Azrell tidak menjawab dan hanya terdengar suara keyboard yang di ketik saja sampai masuk ke dalam indra pendengaran Rio. "Euhm kalau begitu, baiklah deal." jawabnya dengan nada bicara yang sudah menghilangkan rasa kesalnya.
Sejujurnya, Azrell tidak tahu harus membicarakan apa pada Mommy-nya Rio nanti karena dia adalah wanita yang tidak bisa menyesuaikan topik pembicaraan dengan wanita yang lebih dewasa. Tapi ya apa salahnya mencoba? lagipula ia yang di undang bukan memaksa untuk datang ke sana.
"Oke, jam sembilan pagi harus bersiap-siap, oke?"
"Masih lama, Rio."
"Hanya mengatur jadwal saja, supaya janji ku mengajak mu bertemu itu lebih dulu kalau nanti ada yang ingin membuat janji juga dengan dirimu."
"Hm, aku akan mengingatnya."
"Yasudah, aku juga ingin melanjutkan pekerjaan ku. Terimakasih sudah bersedia untuk di ganggu,"
"Iya, memang kan kamu adalah laki-laki menyebalkan yang tidak punya kerjaan. Ah ada pekerjaan sih, dan itu mengganggu diri ku."
Rio hanya terkekeh kecil untuk menanggapi apa yang diucapkan oleh Azrell. "Kalau begitu, sampai jumpa sayang." ucapnya.
Pip
Telepon terputus, lalu Rio kembali memasukkan ponsel ke dalam saku tuxedo-nya. Ia beranjak dari duduknya, bahkan kini wajah yang tampan sudah terlihat kian tampan.
Benar apa yang ia katakan tadi, menelepon dengan wanita yang menjadi daya tariknya meningkatkan suasana hati.
Jatuh cinta memang menyenangkan, bahkan kini seorang Rio sudah menjadi penakluk cinta. Dan ya, walaupun belum mengatakan apapun pada muka publik kalau dirinya sekarang bersama dengan Azrell. Bahkan dari mulutnya sendiri pun belum mengatakan kalimat yang meresmikan hubungan, tapi benar-benar pertanggungjawaban ini membawa dirinya ke arah jenjang yang lebih serius lagi. "Lama-lama aku gila kalau dengan Azrell terus," gumamnya, terkekeh kecil. Bahkan kini tangannya memegangi kepala yang terasa ingin melayang karena mengingat bagaimana cara Azrell tersenyum padanya.
...
Next chapter