68| Appreciate a Woman
68| Appreciate a Woman
Menatap Rio dengan malas, laki-laki itu sudah siap dengan pakaian casual dan bahkan jambulnya di berikan sapuan pomade. Bukannya terlihat seperti para kutu buku, tapi sialnya malah terlihat sangat tampan dan mempesona. Bahkan sorot mata kesalnya dengan perlahan mulai meneduh.
"Ngapain ngeliatin aku terus? suka? kagum? atau bagaimana? aku tahu kalau pesona ku sangat tampan, tapi jangan segitunya." ucap Rio sambil menaik turunkan alisnya, bertingkah dengan tingkah kepercayaan yang sangatlah tinggi.
Azrell memutar kedua bola matanya. What the hell, apa yang di katakan laki-laki itu barusan memanglah benar namun gengsi masih mengambil alih tubuhnya dengan kental. "Loh siapa juga yang liatin kamu? aku daritadi lihat guci yang berada di belakang mu." ucapnya sambil menunjuk sebuah guci dengan tangan kanannya, memang benar tepat berada di belakang tubuh laki-laki tersebut.
Rio mengikuti arah tunjuk Azrell, lalu dirinya terkekeh kecil kala mendengar kalimat ngeles yang diucapkan oleh wanitanya itu. "Jangan berbohong, tanpa kamu bilang juga aku tahu kalau kamu itu gengsi tingkat dewa." balasnya sambil membenarkan letak kemeja putih, bahkan kini tubuhnya ah bukan dada bidangnya tercetak jelas di balik baju itu.
"Loh? sejak kapan seorang CEO jadi menyebalkan seperti ini? dan ya sangat bawel dan terlalu PD!"
"Gak masalah dong, justru begitu bagus."
"Bagus apanya, hanya membuat diriku sebal dan itu yang kamu bilang bagus?"
Azrell tak habis pikir dengan Rio, bisa-bisa dirinya terlalu emosional jika berdekatan dengan laki-laki satu itu. Baru kali ini ia kewalahan dekat dengan lawan jenis, dan untuk pertama kalinya merasa benar-benar sesebal ini. "Terserah," ucapnya pada akhirnya. Ia meraih sebuah pelembab bibir berwarna tipis, itu adalah sapuan terakhir yang berada di wajahnya.
"Mau ingin sekalian ke dokter kandungan atau tidak, sayang?" tanya Rio, meninggalkan percakapan sebelumnya.
Mendengar pertanyaan seperti itu, Azrell tentu saja langsung menaikkan sebelah alisnya. "Maksud mu? memangnya aku sudah benar-benar hamil dari benih mu? buktinya aku tidak mendapatkan gejala apapun." ucapnya dengan tenang. Seperti seharusnya wanita hamil pasti akan mual dan juga menginginkan hal yang tidak-tidak, ah bahkan bisa saja merasakan perubahan emosi yang begitu cepat. Memang wanita itu menyeramkan saat sedang kedapatan giliran datang bulan.
"Iya juga sih, kenapa kamu tidak mual-mual? apa memang tidak bereaksi pada rahim mu?"
"Kan aku lagi mabuk, mana aku ingat dengan semua itu. Mungkin kamu terbawa suasana, ikut mabuk dan tidak sadar apa yang kamu lakukan."
Akibat dari ucapan Azrell, tentu saja Rio menjadi berpikir lagi untuk yang kesekian kali. Pasalnya, menang wanita itu tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan apapun pada umumnya. "Tapi apa salahnya coba cek di dokter kandungan? kali aja anak kita kalem makanya tidak akan mengganggumu di masa kandungan." ucapnya sambil terkekeh kecil. Ia mendekatkan Azrell, lalu menciumi wanitanya dengan manja.
"Jangan membuat simpulan konyol yang memang sangat tidak mungkin itu, Rio. Dan berhenti menciumi ku, nanti make up-nya luntur!" serunya sambil mendorong pelan tubuh laki-laki yang kini sudah menghentikan aksi ciuman namun kini sudah bergelayut manja di bahunya.
Berdecak sebal, memang sepertinya Rio sangat sulit untuk diberitahukan. "Ini jadi kerumah Mommy mu atau tidak? kalau tidak lebih baik aku gym." ucapnya dengan nada malas.
"Eh jadi dong! ngapain sih gym terus, lihat tubuh mu sudah cantik bahkan sudah seratus persen tanpa lemak. Dan kamu belum puas?"
"Bukan begitu, aku gym supaya sehat dan tubuh ku rileks. Bukan gym karena berniat mengecilkan tubuh seperti apa yang kamu katakan, stupid."
"Coba katakan sekali lagi apa yang kamu ucapkan diakhir kalimat, aku tidak mendengarnya."
Azrell menatap dalam sorot mata Rio yang memang seperti suka sekali menggoda dirinya. "Stupid," ulangnya dengan pengakhiran lidah yang terjulur ke arah laki-laki yang kini menyunggingkan sebuah senyuman manis.
"Oh oke kalau kamu bilang aku stupid, maka aku akan bilang ke kamu love."
"Tidak ada samanya, kenapa memanggil ku love aneh banget. Udah jangan banyak omong--"
Rio mengarahkan jari telunjuknya ke arah Azrell, seperti gerakan yang mendeskripsikan 'stttt' atau diam. "Jangan galak-galak, nanti gak laku. Untungnya ada aku yang siap bersedia menerima mu kapan saja, dan memperlakukan mu layaknya berlian." ucapnya dengan nada bicara penuh keromantisan.
Di telinga Azrell, ucapan Rio terdengar sangat menyebalkan. Kalau saja Leo yang mengatakan itu... pasti beda cerita dan dirinya akan melayang sampai ujung langit yang paling atas.
"Biarkan saja, kamu tingkahnya sangat menyebalkan dan aku sebal sama kamu." ucap Azrell sambil menatap Rio dengan memicingkan kedua bola matanya, ia baru pertama kali menghadapi laki-laki model seperti ini.
"Ah masa sih? kok aku gak ngerasa ya? yaudah begini, kamu itu sebenarnya sebal apa cinta?"
"Sebal, lah!"
"Sebal atau sayang?"
"Sebal!"
"Sayang atau sayang?"
"Say--, eh? jangan coba-coba membuat ku memanggil sayang sama kamu, males banget!"
Rio tertawa terbahak-bahak dengan raut wajah Azrell yang sudah memerah padam, entah kenapa ia malah suka menjahili wanita tersebut sampai benar-benar kesal kepadanya. "Tenang saja, nanti saat ada Mommy aku gak akan kayak gini kok." ucapnya sambil meringis kecil sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Azrell berdecih kecil, lalu mengerucutkan bibirnya. "Gak percaya sama kamu, huh!" serunya sambil menyambar tas selempang miliknya yang sudah berisikan alat-alat kecil penting seperti touch up dan keperluan lainnya.
"Kalau gak percaya, kamu bisa cubit aku, dan dengan senang hat--"
"Ahk!"
Belum sempat melanjutkan kalimatnya, Azrell sudah mencubit ganas pinggang laki-laki tersebut dengan senyum penuh kepuasan. "Rasain," ucapnya sambil tertawa kecil. Ia perlahan memundurkan langkah dari Rio, takut laki-laki itu menangkap dirinya dan malah melakukan hal dewasa untuk membalaskan dendam.
"Jahat banget sih kamu, calon suami di kasarin terus ih. Jahat, ngambek nih aku!" ucap Rio dengan nada bicara yang tiba-tiba berubah menjadi seperti anak kecil, ia bahkan menurunkan alisnya supaya akting kepura-puraan ini pas dengan keadaan.
Azrell memutar kedua bola matanya, ia selalu menyaksikan drama receh dari Rio. "Tidak peduli, mau kamu ngambek kek atau apa itu terserah kamu saja." ucapnya sambil menaikkan senyuman miring, terlihat jahat.
Rio mengubah raut wajahnya menjadi biasa lagi, ia melihat Azrell yang justru tidak mempedulikan dirinya. Dengan langkah yang semakin mendekati wanita tersebut, setelah sampai di hadapannya ia langsung saja menggendong tubuh mungil itu ala bridal style. "Jangan pernah tidak peduli pada ku, sayang. Karena semakin kamu mengatakan tidak peduli, maka semakin itu juga aku bisa menampar kamu dengan kalimat mu sendiri alias aku bisa membuat mu jatuh cinta." Berucap dengan suara bariton yang rendah.
Meneguk saliva, awalnya Azrell berani dengan Rio namun sepertinya ia harus berhati-hati pada laki-laki satu ini, iya kan? Apalagi mengingat permainannya yang ganas dan memabukkan, bohong kalau ia tidak terpikat. Namun ya begitu, di separuh hatinya masih ada nama Leo yang tercetak jelas.
"Buktikan saja dulu, baru berbicara. Jangan hanya banyak berbicara tapi tidak ada pembuktian." ucapnya dengan kedua tangan yang refleks mengaitkannya ke leher Rio. Tatapan mereka beradu satu sama lain dan terkunci seperti tertarik pada masing-masing sang pemilik mata.
"Bukankah sudah banyak pembuktian, hm? Apa itu kurang?"
"Iya, aku ingin yang lebih baik lagi dari sebelumnya, bisa gak?"
Azrell seperti menantang seorang Rio yang memang terkenal tidak bisa di ajak untuk bertaruh pembuktian.
"Baiklah kalau itu mau mu, aku akan membuktikannya. Lihat saja satu bulan hubungan kita, media massa akan mengumumkan bagaimana meriahnya resepsi pernikahan kita." ucapnya sambil mencium kening Azrell.
Awalnya, Azrell pikir hanya Leo yang bisa bersikap romantis namun tidak menjijikkan di telinganya. Namun ternyata Rio juga seperti itu dan ia sangat bersyukur, kedatangan yang tak terduga.
Ia membuang seseorang yang tulus dan sayang sekali kepadanya hanya karena ego yang tinggi, namun takdir masih memberikan dirinya kesempatan untuk bahagia tanpa menghadirkan karma yang buruk.
"Bagaimana kalau Nyonya Wallie tidak suka kepada ku? apalagi aku itu wanita yang keras kepala dan suka sekali mabuk-mabukan, ya pokoknya aku wanita yang rusak."
"Bagi aku, tidak ada wanita yang rusak di dunia ini sayang. Lagipula Mommy bukan orang yang terlalu mengurusi latar belakang. Kita selalu menghargai masa lalu orang lain, dan masalah yang suka mabuk-mabukan mungkin hal biasa yang harus di ubah untuk selanjutnya."
Azrell tersenyum simpul kala mendengar deretan kalimat yang sederhana namun penuh kedewasaan yang diucapkan oleh Rio. "Terimakasih untuk selalu bisa menghargai wanita, dan terimakasih untuk segala waktu mu yang di berikan buat aku."
Waktu, itu adalah hal yang tersulit ia dapatkan saat menjalin hubungan dengan Leo. Namun kini, sepertinya ia tidak akan takut kurang perhatian karena Rio yang sudah memberikan waktu untuknya dengan senang hati.
"Sama-sama sayang, bagi ku tidak ada yang rusak. Bahkan kaca pun kalau pecah namanya masih kaca, apalagi berlian? berlian pecah masih jadi rebutan banyak orang gak? pasti masih."
"Iya benar juga, tapi pasti pemandangan orang jadi beda, Rio. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya menjadi rusak, stupid."
"Aku sudah rusak, love. Memangnya kamu pikir aku sebelumnya tidak mengencani siapapun? tentu saja aku laki-laki nakal yang membutuhkan kepuasan. Beruntung kamu berhasil membuat aku terpikat, sayang."
Mereka bertemu dengan tidak sengaja, tanpa janjian dan juga tidak mengenal satu sama lain. Bahkan terbilang hanya menjadi partner one night stand, tidak lebih. Dan ya, Azrell berterimakasih sekali pada Tuhan dan takdir kalau ternyata masih ada laki-laki yang lebih menghargai wanita dan memberikan waktunya.
Mungkin Leo juga sama menghargainya, namun setiap laki-laki yang menjalin hubungan dengannya sudah pasti memiliki kriteria yang berbeda-beda.
...
Next chapter