70| Family Gathering In NYC
70| Family Gathering In NYC
Merenggangkan kedua otot-otot tangannya, Felia menguap lebar dengan tangan yang menutupi mulutnya yang terbuka. Mengusap kedua bola matanya karena belum terbiasa dengan cahaya matahari yang masuk ke dalam netra mata, ia mengubah posisi tidurnya menjadi bersandar ke kepala kasur.
"Hoam..."
Tunggu sebentar, ada yang aneh. Felia meraba-raba alas tidurnya. 'Kasur?' batinnya keheranan, dan pada detik selanjutnya ia membelalakkan kedua bola mata karena ingat tempat terakhir ia tertidur adalah di kursi mobil tepat bersamaan dengan Leo.
Felia menyibakkan selimut yang menyelimuti tubuhnya, takut jika pikiran negatifnya benar-benar terjadi mengenai kekasihnya itu melakukan hal tidak-tidak.
"Aman..." Menghela napas lega karena kini pakaiannya masih sama dengan sebelumnya, hanya saja flat shoes yang berada di telapak kakinya sebagai alas berjalan sudah tanggal entah kemana ia pun tak terlalu peduli.
Melirik jam dinding yang berada di jangkauan matanya, dan ya ia lagi-lagi membelalakkan kedua bola matanya. "Serius ini jam dua siang? oh astaga aku tidur selama itu dan ..."
Kruyuk ...
Kruyuk ...
Ia meringis kecil karena ucapannya yang belum tuntas berganti dengan suara perut yang menunjukkan dirinya kelaparan. Padahal, sewaktu masih menjadi maid ia pun tak masalah jika telat makan. Pokoknya setelah bersama Leo, ia benar-benar harus merasa makan tepat waktu karena Bara selalu mengingatkan jam makannya.
Ingat dengan ucapan Leo yang mengatakan kalau nanti ia hanya tidur sebentar akan memunculkan pusing di kepala, pasti laki-laki itu membiarkan dirinya tertidur. Ah ia tidak ingat apapun selain kekasihnya itu melarang tertidur saat perjalanan.
Felia sekali lagi merenggangkan otot-otot tangan, lalu turun dari atas kasur dan memakai sandal berbulu rumahan yang sudah tersedia di sana. Ia mulai melangkahkan kakinya ke dekat pintu masuk serta pintu keluar yang berada di ruangan tersebut.
Ceklek
Belum meraih gagang pintu, namun benda itu sudah terbuka lebar yang langsung menampilkan seorang laki-laki dengan tubuh tegap maskulin sedang membawa nampan berisikan makanan dan tak lupa juga minumannya.
"Tuan, ngapain ke sini?" Felia menaikkan sebelah alisnya dengan keheranan karena tidak tahu tujuan Leo ke sini itu untuk apa. Ah memang dirinya tidak pernah peka dengan apa yang di lakukan laki-laki itu untuknya.
Leo tampak menampilkan sebuah senyuman hangat, mungkin kini cahaya matahari sudah kalah hangat dengan senyumannya. "Saya membawakan makan siang untuk kamu, sayang. Kamu pasti lapar, iya kan?" ucapnya sambil masuk ke dalam kamar dan menutup kembali pintunya dengan kaki karena kedua tangannya memegang nampan.
"Iya lapar, tapi kenapa harus di bawa ke dalam kamar? aku kan bisa makan di ruang makan atau bahkan di pantry juga bisa."
"Tapi kan tadi kamu sedang tertidur, saya mana tahu kalau kamu sudah bangun. Dan ya, berhubung sudah di sini kamu makan dulu saja, oke?"
Felia melihat Leo yang sudah melangkahkan kakinya dan dan menaruh nampan tersebut ke atas nampan, terlihat satu menu yang entahlah ia sendiri pun kurang familiar mungkin karena kebiasaannya hanya memakan menu biasa saja. "Yasudah terimakasih ya, Tuan. Kamu kembali saja ke bawah untuk mengobrol dengan Vrans, aku akan makan siang yang telat ini terlebih dahulu." ucapnya sambil mengambil sebuah kursi kayu yang berada di seberang kasurnya.
Leo melihat wanitanya itu yang masih berwajah bantal namun tidak mengurangi pahatan cantik yang tercetak jelas itu. Ia terkekeh kecil, lalu lebih memilih untuk mendaratkan bokongnya di tepi kasur. "Tidak ah, saya ingin di sini dulu sama kamu. Daritadi udah ngobrol banyak bahkan Xena sibuk nyariin kamu, katanya suruh bangunin tapi saya melarangnya." jawabnya sambil melihat Felia yang sudah menyeret kursi ke arahnya.
Felia menghentikan langkah kakinya beserta kursi yang tadi ia seret, lalu memposisikan tubuh untuk duduk di sana dan menjadikan nakas rendah yang berada di hadapannya menjadi meja. "Benar Xena, kenapa tidak membangunkan ku saja? hanya pusing, bukan hal lainnya paling nanti hilang beberapa menit kemudian." ucapnya.
"Bukan begitu, ya saya tidak ingin saja waktu istirahat mu terganggu. Karena saya tahu ini akhir pekan yang seharusnya di pakai untuk beristirahat karena lelah bekerja, namun kita malah terbang ke New York."
"Aku mah tidak ngapa-ngapain, Tuan. Seharusnya aku yang bilang itu sama kamu, jadi terbalik."
Felia mengubah arah duduknya menjadi menghadap ke arah Leo. Ia mengambil tangan besar milik laki-laki tersebut, lalu dielus punggung tangan itu dengan perlahan. Menyalurkan seberapa besar rasa terimakasihnya yang tidak akan pernah bisa ia bayar dengan apapun itu bentuknya.
Bingung dengan perlakuan Felia yang tidak biasa, tentu saja membuat Leo mengerjapkan kedua bola matanya. Bayangkan seorang laki-laki yang di perlakukan manis malah kebingungan, justru sangat menggemaskan. "Apa?" tanyanya dengan wajah tampan yang tidak bosan untuk di tatap.
"Terimakasih sudah peduli sama aku," ucap Felia sambil memberikan senyum terbaiknya. Ia menuntun tangan Leo dan menyentuh bibirnya, tidak ia lepas bahkan sampai beberapa detik ke depan. Ia benar-benar merasa beruntung, seberuntung itu..
"Sama-sama sayang, saya juga berterimakasih sudah bertemu dengan wanita seperti kamu. Wanita hebat, yang nanti akan menjadi istri saya."
...
Sudah selesai dengan makan siang, akhirnya Felia mengikuti langkah Leo yang mulai menuruni satu per satu anak tangga. Ia bergandengan tangan, namun posisinya laki-laki itu berada di depannya menuntun jalan.
Setelah pijakan anak tangga habis, mereka berdua berjalan beriringan menuju ke ruangan televisi yang di sana terdapat Vrans yang tengah merangkul seorang gadis yang sangat periang, siapa lagi kalau bukan Xena?
"Kemana Letta?" tanya Felia yang tidak menemukan keberadaan seorang gadis kecil yang menjadi alasannya pergi ke sini dengan rasa semangat yang besar.
Leo memusatkan perhatiannya pada Felia, lalu meraih pinggang ramping tersebut untuk masuk ke dalam dekapannya. "Seperti gadis kecil pada umumnya, mereka tertidur di siang hari setelah lunch dan belum bangun?" jawabnya sambil mencium puncak kepala wanitanya dengan segenap hatinya.
"Oh iya juga ya, aku saja yang telah seharusnya bisa bermain dengannya."
"Kan kita di New York tiga hari, sayang. Jadi kamu masih memiliki dua setengah hari untuk bermain dengan Letta,"
"Loh lama sekali Tuan? biasanya kita keluar negeri hanya dua hari saja, bagaimana nanti dengan Azrell? pekerjaannya menumpuk dong .."
"Untuk itu gak masalah sayang, udah seharusnya seorang sekretaris mengelola pekerjaan jika saya tidak ada di kantor. Sekarang waktunya untuk menghabiskan waktu di sini, nanti kalau bisa kita ke patung Liberty."
"Kenapa kesana, Tuan? bukankah lebih baik kita ke Central Park saja? kayaknya cukup tenang di sana."
Leo menganggukkan kepala mendengar usul yang dikatakan oleh wanitanya, mengulas senyuman yang terlihat sangat manis. "Oke, kan masih ada dua hari dan waktu masih panjang. Jadi kita bisa pergi kemana saja yang kamu inginkan seperti di Paris minggu lalu, bagaimana?" tanyanya dengan nada hangat.
Bagi Felia, semua kebaikan Leo tidak meminta pamrih sedikitpun untuk dia sendiri. Ia selalu merasa berkecukupan dengan segala fasilitas yang diberikan, mulai dari sandang, pangan bahkan papan pun tidak pernah lagi kekurangan seperti kehidupan sebelumnya.
Mereka menghentikan pembicaraan karena melihat Xena yang menolehkan kepala, dan raut wajah bahagia tercetak jelas di sana.
"HALO SELAMAT DATANG FELIA!" teriak Xena sambil melambai-lambaikan tangannya. Ia benar-benar sangat bahagia setelah sekian lama tidak ada teman wanita yang berkunjung ke rumahnya, karena kedua sahabat dekatnya juga sibuk dengan urusan masing-masing.
Felia melebarkan senyumannya sambil membalas lambaian tangan Xena, ia bersikap menjadi pribadi yang lebih berani membuka pembicaraan dengan orang lain. "Hai, Xena. Senang bisa bertemu kamu," balasnya dengan ramah.
Melepas lengan Leo yang berada di pinggangnya, lalu ia berjalan lebih dulu karena kini Xena sudah beranjak dari duduknya dan membuka tangan seakan-akan menerima sebuah pelukan. Dan ya, ia mendekatkan diri pada gadis itu lalu mereka berpelukan untuk pengenalan pertama kalinya.
Leo hanya terkekeh melihat itu, akhirnya Felia keluar dari zona nyaman dan bertingkah baru.
"Kamu tidak ingin memeluk Daddy mu juga, Vrans?" tanyanya yang hanya melihat sang putra duduk manis tanpa melihat ke arah mereka yang sudah heboh. Sibuk memusatkan perhatiannya pada layar televisi, sepertinya ia terlalu dingin untuk keadaan sekitar.
Felia dan Xena sudah melepas pelukan mereka, lalu melihat ke arah Vrans yang ternyata sudah menolehkan kepalanya ke sumber suara.
"Ayolah Dad, aku bukan anak kecil lagi." jawab Vrans dengan nada datar, wajah tanpa senyuman itu sudah terbiasa tercetak jelas di permukaan wajahnya.
Leo menaikkan sebelah alisnya, lalu melihat ke arah Xena. "Bukankah Vrans juga akan menjadi anak kecil ketika bersama mu, Xena sayang?" tanyanya sambil menaik turunkan alisnya. Ah dari dulu ia memang suka sekali berkompromi dengan gadis manis yang sangat ceria itu.
Vrans memberikan tatapan yang sangat tajam, lalu memutar kedua bola matanya. "Jangan mengada-ada, itu bukan seperti anak kecil tapi sayang dengan pasangan."
"Berarti kamu tidak sayang pada Daddy mu ini, huh? begitu yang yang kamu maksud.."
"Bukan begitu, ah gak tau deh bingung."
Mereka semua yang berada di sini pun tertawa dengan wajah dingin namun mulutnya mengeluarkan kalimat bernada sebal untuk Leo, terdengar ingin marah namun seperti tidak niat.
Menggelengkan kepalanya, Leo berjalan ke arah Felia dan juga Xena lalu merangkul kedua wanitanya dengan senyum yang khas.
"Masih ingin akrab atau sudah puas acara berpelukannya?"
Felia terkekeh kecil, lalu berjinjit untuk mengecup pipi kekasihnya dengan singkat. "Masih ingin mengobrol dengan Xena," ucapnya sambil membebaskan diri dari dekapan Leo lalu sedikit menarik tangan Xena supaya ikut terbebas juga.
"Laki-laki sama laki-laki, tidak bisa bergabung sama kita, Daddy." ucap Xena sambil terkekeh kecil. Akhirnya, ia menarik tangan Felia untuk di bawa ke halaman belakang mengingat hari ini tidak terlalu terik dan mungkin mereka akan mengobrol di gazebo.
Mungkin bertukar cerita atau sekedar sharing pengalaman, oh atau bahkan kegiatan sebagai seorang pasangan kepada laki-lakinya.
Sedangkan Leo? Menghembuskan napas perlahan, ah ia sungguh malas berurusan dengan putranya. "Bagaimana kalau kita latih tembak? seperti yang Grandpa mu ajarkan dulu,"
...
Next chapter