74| Receiving Visits
74| Receiving Visits
Di sana hanya ada foto sang Nyonya besar dan juga Rio, tanpa ada Tuan besar ataupun saudara lainnya yang satu darah dengan laki-laki yang kini berada di sebelahnya.
Tapi tunggu, ia menyipitkan matanya begitu terlihat ada sebuah foto dengan cetakan yang sudah menguning --dapat di tebak kalau foto itu di ambil dalam jangka waktu bertahun-tahun lalu lamanya--, di sana ada keluarga lengkap dengan seorang laki-laki yang iya yakin adalah Rio kecil tengah menggenggam erat tangan gadis kecil di sebelahnya.
"Serius banget sih? ngeliatin aku yang tampan terpajang jelas di dinding ruang tamu, ya?"
Suara bariton itu terdengar jelas masuk ke dalam indra pendengaran Azrell, membuyarkan lamunan sekaligus pikiran bertanya-tanya tentang siapa gadis kecil yang tampak tersenyum bahagia itu. "Bukan, jangan terlalu percaya diri." jawabnya sambil menggelengkan kepala.
"Lalu? kenapa melihat dengan serius sekali seperti itu?" Rio bertanya dengan nada penuh keheranan, pasalnya sedaritadi Azrell memang memperhatikan tiap bingkai foto yang terpajang di dingin, itu semua foto keluarganya bukan mencakup seluruh keluarga Wallson.
"Euhmm.. siapa gadis kecil yang kamu sedang genggam tangannya itu?" Karena sudah tidak tahan untuk menyimpulkan segalanya sendiri, akhirnya Azrell bertanya akan hal itu bersamaan dengan kepalanya yang menoleh ke arah Rio.
"Oh... itu." Hanya ini saja yang. keluar dari mulut Rio, ia meraih cangkir yang berisikan red wine --disajikan oleh salah satu maid saat mereka sudah sampai, pekerja di sini sudah tahu minuman kesukaannya--. Meminumnya dengan nikmat, setelah dinding tenggorokannya terasa terbakar barulah ia berhenti dan menaruh kembali gelas tersebut.
Azrell yeng menunggu jawaban Rio pun semakin mengerutkan keningnya, dan ternyata laki-laki itu tidak mengucapkan apapun. "Ih apaan, oh itu apa? kamu bahkan berbicara tidak lengkap, aku tidak mengerti " ucapnya sambil menekuk senyumnya. Memangnya ia cenayang yang bisa tahu segalanya?
Rio terkekeh kecil, ia sengaja menggantungkan kalimatnya. Lagian supaya keadaan tidak terlalu senyap karena ternyata sang Mommy sedang keluar untuk pergi ke butik langganan, jadilah mereka berdua menunggu kepulangan beliau. "Itu adik ku, sekarang mungkin sudah berumur setara dengan mu ya paling hanya berbeda beberapa bulan saja." balesnya dengan santai, kini kaki kanannya di silangkan dengan kaki kiri.
"Adik? sejak kapan kamu punya adik? bahkan di berita yang tersebar saja kamu dinyatakan anak tunggal, sudah jelas tidak memiliki saudara kandung."
"Biasa, permainan keluarga. Memangnya kamu pikir keluarga ku bebas dari masalah ya? tiap keluarga pasti punya masalah, dan aku kehilangan adik ku saat seharusnya ia ingin beranjak sekolah menengah."
"Bagaimana bisa?"
"Perceraian, biasa."
Azrell melihat lekat raut wajah Rio yang sama sekali tidak menunjukkan kesedihan justru menampilkan sorot mata penuh khawatiran yang tercetak jelas di sana. Ia memang tidak pernah mengizinkan Rio untuk melangkah lebih jauh dengan sifat konyol masuk ke dalam hidupnya, namun ia tidak pernah menutup diri untuk laki-laki tersebut yang menyembunyikan lukanya.
"Ingin bercerita, mungkin?" tanyanya dengan nada bicara sedikit ragu, karena dirinya takut salah ataupun takut terlihat lancang dengan menawarkan hal seperti ini.
Rio menaikkan sebelah alisnya, lalu mengubah posisi duduk santainya menjadi tegak menghadap ke arah Azrell sepenuhnya. "Ingin di ceritakan secara perinci atau intinya saja, atau bagaimana?" tanyanya supaya nanti ia bercerita juga lebih nyaman lagi, dan tidak terlalu membosankan karena terkadang kalau dirinya bercerita itu berbelit-belit.
"Ya aku ingin perinci, namun di jelaskan dalam konteks yang singkat, apa itu bisa?" Tentu saja hal yang ia putuskan ini adalah suatu jalan tengah supaya nanti dirinya bisa lebih paham dengan suasana yang terjadi pada kehidupan Rio yang terlihat baik-baik saja namun memiliki masa lalu yang cukup mengenaskan.
Membayangkan anak kecil menyaksikan perpisahan kedua orang tua mereka, dan membawa salah satu saudara yang menjauh entah kemana, adalah hal yang paling menyesakkan.
"Tentu saja bisa." ucap Rio sambil menunjukkan senyuman simpul. Sudah lama semua berita mengenai perpisahan keluarga Wallson di simpan rapat-rapat supaya media massa tidak gempar dan memanas-manasi apa yang terjadi. Kini, ia menghembuskan napasnya secara perlahan. Kali pertama ada orang luar yang akan ia ceritakan mengenai semua ini.
Azrell benar-benar serius memperhatikan Rio, ia merasa kalau laki-laki ini ingin mengatakan hal yang benar-benar terjadi tanpa bumbu kebohongan sedikitpun.
"Dulu, ada salah paham antara Mommy dan Daddy. Bukan salah paham sih, sebenarnya laki-laki brengsek itu menutupi segala kebenaran mengenai perselingkuhannya. Saat itu, adik ku masih sangat polos sehingga mendengar satu bentakan saja langsung menangis kencang dan hanya aku yang bisa menenangkannya." ucap Rio yang memulai perawalan, mungkin ada sebercak sorot mata sakit mengingat masa lalu namun semua itu ia telan sendiri karena bukan saatnya untuk kembali menyalahkan orang-orang terdekat.
Azrell menelan salivanya dengan sudah payah, lalu ia mengerjapkan kedua bola matanya merasa sangat antusias dengan cerita Rio. "Iya, lanjutkan. Aku akan tetap mendengarkan mu, selalu." ucapnya dengan tangan yang sudah meraih tangan laki-laki tersebut untuk di genggam supaya dapat menyalurkan tenaga.
Rio tersenyum simpul, tatapan Azrell begitu tenang membuat dirinya sedikit lega. "Ya akhirnya mereka memutuskan berpisah atas kemauan Mommy, dulu Daddy ingin membawa ku namun mengingat tidak akan ada yang menjaga Mommy maka dia membawa adik ku untuk memiliki hak asuh dari salah satu anaknya."
"Aku setuju untuk hal itu,"
"Tapi aku tidak, Azrell. Bertahun-tahun lamanya tidak ada kabar dari mereka, tentu saja aku sangat cemas apalagi kalau sampai Daddy memiliki keluarga baru... pasti adik ku tidak akan terurus."
"Dan apa kamu sudah menemukannya? kalau belum, aku akan bantu mencarinya. Kalau sudah bertemu dengannya, aku akan dengan senang hati menawarkan diri sebagai temannya."
Azrell sungguh penasaran.. bagaimana pun wanita yang menjadi adik dari Rio pasti sedang berada di luaran sana entah sedang melakukan apa. Takutnya, terjadi hal yang tidak di inginkan atau bahkan lebih parah dari itu.
"Aku rasa dia baik-baik saja, walaupun Daddy berselingkuh dia sama sekali bukan laki-laki yang kasar sampai bermain fisik, paling hanya mengeluarkan kata-kata kejam yang menyakitkan." ucap Rio. Ia mengatakan kalau mantan Daddy-nya itu brengsek namun tak ayal rasa hormatnya masih melekat di dalam dirinya.
Azrell menganggukkan kepala, mengerti dengan pembelaan yang di buat oleh Rio. "Lalu, dimana dia? kalau begitu ayo kita cari, pasti Nyonya sangat khawatir akan hal itu."
"Tenang saja, aku sudah menemukan dia kok."
Mendengar jawaban dari Rio, Azrell segera mengubah raut wajahnya seperti 'kamu serius?'.
"Iya, dan kamu pasti akan terkejut dengan pengakuan ini. Ku harap kamu tidak menjauh dari diri ku, atau apapun itu.." ucap Rio sambil menggenggam balik tangannya yang tengah di pegang erat oleh Rio, ia seolah-olah ingin mengatakan suatu hal namun di tahan oleh suatu kenyataan yang bisa saja wanita di hadapannya ini tidak terima.
Azrell terkekeh kecil, ia rasa Rio seperti anak kecil saja. "Memangnya siapa sih? ya kali sampai membuat aku seperti itu, sangat amat tidak mungkin." ucapnya sambil menatap dalam kedua manik mata Rio.
Belum sempat Rio menjawab apa yang ditanyakan oleh Azrell, tiba-tiba saja suara langkah kaki seperti heels yang beradu dengan lantai mengkilap di mansion ini.
"Hai kalian maaf ya baru datang,"
Suara lembut Lina dengan raut wajah cantik mempesonanya mulai terlihat di masing-masing penglihatan Rio dan juga Azrell. Mereka melihat wanita tersebut yang membawa banyak paper bag di tangannya, mungkin memang benar jika dia habis mengambil pesanan di butik.
Rio dan Azrell langsung melepaskan genggaman tangan mereka, lalu berdiri tegak untuk menyambut kedatangan Lina.
"Hai Mommy, iya gak masalah lagian juga kita gak terlalu lama nunggu kok." ucap Rio sambil berjalan menghampiri Lina untuk mengambil alih paper bag tersebut dan di taruh ke atas meja yang terdapat di tengah-tengah mereka.
Azrell hanya menampilkan senyuman terbaiknya, lalu menganggukkan kepala dengan sopan saat Lima menoleh ke arahnya. "Hai, Nyonya--"
"Mommy, panggil saja aku Mommy jangan dengan panggilan Nyonya seperti itu sayang." tegur Lina, meralat ucapan Azrell yang salah memanggil dirinya seolah-olah ia adalah orang besar.
Azrell meringis kecil, lalu tersenyum manis. "Iya, Mommy." ucapnya yang sudah menempatkan panggilan Mommy untuk Lina, sesuai dengan yang diinginkan wanita tersebut.
"Mommy, jadi ini Azrella Farisha Wallie. Dia kekasih ku, bagaimana? cantik kan.." ucap Rio sambil menghampiri Azrell lalu memeluk pinggang wanita tersebut dengan sangat posesif, terlihat jelas kalau dirinya benar-benar serius dengan apa yang dikatakannya.
Sedangkan Azrell? ia menerima saja kalaupun status 'kekasih' masih sangat abu-abu di antara mereka. Ingin membantah pun nanti malah jadi berdebat satu dengan yang lainnya, memang menyebalkan.
Lina menelusuri Azrell dari atas sampai bawah, lalu mendekatkan dirinya pada wanita cantik sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Rio. "Iya cantik, cocok jadi menantu Mommy." ucapnya sambil menurunkan tangan sang putra yang melingkari pinggang ramping tamu sekaligus kekasih Rio. Lalu, ia menggiring Azrell untuk menjauh dari putranya.
Azrell terkekeh kecil saat mendengar kalimat protes yang di keluarkan oleh Rio, ia melangkahkan kaki sesuai dengan yang di arahkan oleh Lina. "Kita mau kemana, Mommy?"
"Makan siang, kamu belum makan, kan?"
"Belum, sedikit laper sih tadi buru-buru ke sini jadi belum sempat mengisi perut."
"Kalau begitu, nanti Mommy yang akan masak khusus untuk kedatangan pertama kamu ke sini. Ini pertama kalinya Rio membawa wanita ke rumah, biasanya hanya di jadikan teman bercinta saja tanpa niat serius."
Azrell menunjukkan raut wajah terkejutnya, "iya kah? kalau begitu apa aku harus merasa beruntung ada di posisi ini?" tanyanya.
"Tentu saja sayang, kamu calon Nyonya Wallson."
Tadinya Azrell sangat takut kalau Lina tidak menerima dirinya, bahkan tidak peduli dengan kedatangannya. Namun ternyata perasaannya salah mengenai hal ini, Lina benar-benar sangat baik bahkan sangat menerima dirinya.
"Terimakasih ya Mommy,"
...
Next chapter