76| Jealousy Is Unwarranted
76| Jealousy Is Unwarranted
Leo menghentikan kakinya begitu melihat Xena yang berdiri di tangga untuk pergi ka lantai dua, memblokade jalannya yang kini tengah menggendong kekasihnya ala bridal style. "Mau ke kamar, emangnya kenapa, hm?" tanyanya sambil menunjukkan raut wajah tenang, padahal kini hatinya takut kalau kelamaan di tunda pasti nafsunya akan menghilang.
Sedangkan Felia yang melihat Leo seperti lengah dengan Xena, ia berharap pada Tuhan supaya kondisi kali ini akan berlangsung lama.
"Oh gitu... Fe, tadi kan Letta nyariin kamu terus. Sungguh aku bilang kamu sedang pergi, dia malah menangis dan tidak berhenti memanggil nama aunty untuk mu."
Leo menurunkan pandangannya, melihat ke arah Felia yang sudah memusatkan perhatiannya pada Xena. Ah tuh kan, pasti kalau wanita bertemu dengan wanita yang sudah di kenal tak ayal obrolan panjang pun akan segera di mulai. Namun, ia hanya bisa menghembuskan napas pelan.
"Iya kah? ah astaga, dan di mana dia sekarang? aku ingin bermain saja dengannya," ucap Felia tanpa mempedulikan nafsu Leo.
'Ah ini mah gak jadi perang kasur malam ini,' batin Leo dengan senyuman tak kasat mata yang miris.
Dengan camilan yang berada di tangannya, Xena sambil mengunyah kripik singkong tersebut. "Lagi main sama Vrans, biasa manja. Oh ya kamu katanya mau ke kamar kan? yuk silahkan di lanjutin langkahnya aku hanya numpang lewat saja." ucapnya sambil menggeser tubuh supaya Leo dapat melangkahkan kembali kakinya, karena secata tidak sadar ternyata ia menghalangi jalan mereka.
"Gak masalah, lagipula kita juga--"
"Kita sibuk ya, Xena sayang. Lebih baik kamu jaga Letta loh, nanti bagaimana kalau nangis?"
Menyela pembicaraan Felia, Leo harus bergegas membawa Felia pergi dari hadapan Xena sebelum gadis yang bernotabene sebagai menantunya itu mempengaruhi pikiran wanitanya untuk lepas dari dekapan yang akan membawa mereka langsung ke atas ranjang ini.
"Ah iya Daddy benar juga, sampai jumpa selamat tidur ya untuk kalian." balas Felia sambil melangkahkan kakinya dengan santai, menjauh dari hadapan Leo dan juga Felia.
Melihat itu, tentu saja sang singa yang tengah tak sabaran ingin menerkam mangsanya pun langsung saja menaiki satu persatu anak tangga.
"Tuan, kenapa tadi bilang kalau kita sibuk? jelas-jelas setelah ini kita tidak ada kerjaan, lagipula aku ingin bermain dengan Letta. Kenapa di larang begitu, huh?" protes Felia dengan raut wajah yang sebal, bahkan kini terlihat kalau senyumannya di tekuk.
Leo tidak menatap wajah Felia karena ia fokus dengan jajaran anak tangga supaya tidak oleng, ia hanya terkekeh kecil. "Bagaimana bisa kamu pikir kita tidak sibuk? justru kita ingin berolahraga malam ini, sayang." ucapnya sambil memijakkan kakinya pada anak tangga terakhir. Lalu langkahnya mulai di percepat dan masuk ke dalam sebuah ruangan yang tidak jauh dari kamar Vrans dan Xena.
"T-tapi kan.. ini bisa nantian saja, ayolah aku ingin bermain dengan Letta, Tuan."
Tanpa mempedulikan apa yang dikatakan oleh Felia, Leo segera menaruh dengan lembut tubuh mungil tersebut ke atas kasur. Memakai kaos kebesaran miliknya, seperti sudah menjadi tradisi bagi wanitanya jika merasa kurang nyaman dengan kapasitas pakaian yang di bawanya alias tidak nyaman dan tidak masuk ke dalam kriterianya.
Ia menatap tubuh Felia dari atas sampai bawah, terlihat menggiurkan walaupun wanitanya itu memakai pakaian oversize yang dalam artian menutupi lekuk tubuhnya.
Belum sempat jemari besarnya ini mendarat di tubuh kekasihnya, namun tiba-tiba saja ...
Drtt ..
Drtt ..
Drtt ..
"Coba periksa siapa yang menelepon malam-malam begini, sayang."
Perintah Felia pun di dengan oleh Leo, membuat laki-laki itu langsung menghembuskan napasnya dengan perlahan. Lagi-lagi apa yang ia inginkan tertunda, rasanya ingin marah namun masa hanya karena ini dirinya tersulut emosi?
Leo segera meraih ponsel yang bergetar pertanda ada panggilan masuk, ternyata benda pipih tersebut milik Felia. "Ponsel mu," ucapnya tanpa berniat siapa nama dari yang menelepon.
"Angkat saja, Tuan."
Mau tidak mau, Leo memusatkan matanya ke layar ponsel lalu melihat nomor yang tidak di kenal terlihat jelas di sana.
"Siapa?"
Tanpa menjawab pertanyaan Felia, ia langsung saja menyeret simbol gagang telepon berwarna hijau itu. Lalu, kini ia berjalan ke arah wanitanya yang sudah duduk di tepi kasur untuk melakukan hal serupa. Speaker ponsel aktif, jadi hanya perlu membesarkan volume saja tanpa harus menempelkan ponsel ke daun telinga.
"Hai Felia, maaf mengganggu mu malam-malam begini. Ada yang ingin aku tanyakan,"
Suara bariton di seberang sana mulai terdengar, namun tidak menyebutkan nama atau apapun itu. Membuat Leo langsung menolehkan kepala ke wanita di sebelahnya untuk menjawab panggilan tersebut, kali saja memang kenal tapi tidak saling menyimpan nomor.
"Hai, ini siapa ya? maaf aku tidak menyimpan nomor mu,"
"Oh itu, aku Rio, apa kamu masih mengingat ku?"
Tentu saja terbesit sebuah perasaan cemburu kala tahu kalau ada laki-laki lain yang menelepon kekasihnya, rasanya ingin memukul wajah di seberang sana sambil meminta penjelasan. Tuh kan, sifat tidak mau kehilangannya jadi seperti ini.
"Iya, Rio. Ada apa ya?"
Tanya Felia sedikit takut. Ia bukan takut dengan Rio yang menelepon dirinya, namun takut dengan Leo yang terlihat seperti menahan kekesalan karena terbukti kini wajahnya sudah sedikit memerah.
"Aku ingin berbicara penting, apa setelah kepulangan mu dari New York bisa ku jemput untuk pergi ke rumah ku?"
'Duh ingin apa sih Rio?' batin Felia yang semakin tidak enak dengan Leo, apalagi kini terdengar hembusan napas kasar di sebelahnya.
Leo segera berdehem supaya laki-laki di seberang sana tahu kalau dirinya berada satu ruangan dengan Felia, enak saja menelepon wanitanya sampai mengajak bertemu dan parahnya ingin di ajak ke rumah. Apa coba maksudnya?
"Iya? untuk apa ya? lebih baik saya yang akan mengantar Felia ke kediaman keluarga mu." nada bicaranya yang berubah menjadi sedikit datar dan terdengar agak sangar, tentu saja membuat kepribadiannya kini tiba-tiba berganti.
Tidak ada sahutan dari seberang sana, membuat Leo berpikir mungkin Rio skakmat karena ternyata ada dirinya di sini.
"Jangan terlalu sinis, siapa tahu memang penting." ucap Felia dengan volume kecil, mengingatkan Leo kalau tidak baik berbicara seperti itu pada orang lain apalagi belum tahu maksud dan tujuannya. Ya walaupun ia juga sedikit kaget karena tidak tahu darimana Rio mendapatkan nomor ponselnya, tapi dirinya berusaha tenang.
Leo hanya memutar kedua bola matanya, bukan kesal dengan Felia melainkan kesal dengan laki-laki di seberang sana.
"Ah iya, Leo? boleh aku pinjam Felia kalau kalian sudah kembali ke London? ini hal penting." jawab Rio dari seberang sana, nada bicaranya tidak goyah sama sekali.
Felia menatap lekat wajah Leo, lalu segera mengelus-elus lengan kekasihnya supaya lebih tenang kalau di hadapi keadaan seperti ini.
Merasa kalau apa yang dilakukannya berhasil, ia menampik sebuah senyuman lalu mengecup singkat pipi kanan laki-laki tersebut untuk menyalurkan ketenangan yang selalu berada di relung hatinya. Masalah harus di hadapi dengan kepala dingin, dan itu yang ingin ia terapkan.
Leo menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskan dengan perlahan. Ia tahu kalau semua yang dikatakan Felia adalah demi kebaikannya. "Tidak, saya harus ikut. Kalau tidak, ya saya tidak akan izinkan." ucapnya dengan tenang walaupun kini ekspresi wajahnya sangat teramat datar.
"Iya iya, tapi jangan salah paham terlebih dulu. Kamu tidak tahu alasannya, jangan mengambil kesimpulan yang tidak-tidak."
"Bagaimana tidak salah paham kalau kamu tiba-tiba menelepon kekasih orang lain sampai ingin di bawa ke rumah? ya tentu saja setiap laki-laki memiliki perasaan yang tidak suka dengan cara seperti itu."
"Ya kali aku harus menelepon mu?"
"Iya, harus. Dan lain kali seperti itu, jangan berbasa-basi untuk menelepon Felia lagi kalau bukan atas seizin saya."
Jadi, seperti ini lah yang terjadi jika seorang Leonardo Luis cemburu dengan laki-laki lain yang berani dekat dengan wanitanya. Sedikit menyeramkan sih, apalagi tatapannya yang tadi sangat tajam dan terlihat sinis. Astaga, sifat itu jarang sekali di tampilkan olehnya.
"Iya baiklah, ini tidak akan terjadi lagi, Leo. Ku harap hal ini tidak membuat kamu kesal pada ku,"
"Tentu sana, tapi saya tidak yakin kalau menatap wajah mu mungkin--"
"Terimakasih ya Rio sudah menghubungi ku, nanti setelah kepulangan dari New York dan kita sudah beristirahat nanti boleh banget samper ke mansion Leo atau nanti berikan maps untuk ke lokasi, sampai jumpa kembali."
Pip
Felia akhirnya memotong pembicaraan Leo sebelum laki-laki tersebut mengatakan banyak hal lebih lanjut lagi. Bahkan ia mematikan sambungan telepon secara sepihak tanpa mendengarkan balasan apapun lagi dari orang di seberang sana, meraih ponselnya yang berada di genggaman Leo lalu menaruhnya ke atas nakas.
"Ih kenapa di matiin teleponnya? saya belum selesai berbicara dengan Rio, laki-laki itu sudah lancang sekali."
"Jangan marah-marah mulu sih, selagi dia belum mengatakan ada urusan apa, selagi itu juga kita tidak boleh menuduhnya apalagi perilaku mu sampai seperti tadi."
"Jadi, kamu membelanya?" Leo menatap lekat kedua bola mata Felia, ia mencari letak kepedulian di dalam sana dan ya tentu saja hal iti tercetak sangat jelas.
Felia membelalakkan kedua bola matanya, merasa tidak setuju dengan apa yang di katakan oleh Leo. "Membela?" tanyanya kembali mengulang kata yang di lontarkan oleh laki-laki tersebut. Semakin ia merasa aneh dengan sifat Leo, ia semakin menyipitkan kedua bola matanya. "Hayo ngaku, pasti kamu... cemburu, iya kan?" sambungnya lagi sambil menodongkan jari telunjuknya ke hidung mancung Leo, lalu berakhir mencubitnya dengan gemas.
Sedangkan Leo? ia mati-matian menyembunyikan rasa panas yang langsung menjalar ke tubuhnya. Lalu, tanpa ba-bi-bu lagi ia segera naik ke atas kasur dan menyembunyikan diri di balik selimut. "Sebaiknya saya tidur saja, kamu tidak jelas."
Kini Felia tengah mengulum senyuman menggelikan karena tingkah Leo yang sudah sangat jelas menggambarkan kalau laki-laki tersebut memang benar-benar cemburu dengan Rio karena tiba-tiba menelepon dirinya.
"Cie akhirnya kamu cemburu sama laki-laki lain, sangat menggemaskan, Tuan."
"Berhenti, jangan meledek. Saya ingin tidur, Fe."
...
Next chapter