78| Relationship Lock?
78| Relationship Lock?
Mumpung Rio tadi izin ke toilet --katanya ingin buang air besar--, Azrell berani bertanya hal ini karena sudah lanjut penasaran.
Lina yang sudah menghabiskan menu makan siangnya pun langsung menolehkan kepala ke arah wanita yang berada di seberangnya, ia menunjukkan raut wajah biasa saja. Bukan karena ini adalah topik pembicaraan yang tidak sensitif, namun ia mencoba untuk membuat keadaan baik-baik saja.
"Oh itu..." ucapnya sambil menatap lekat Azrell, ia juga tidak merasa kalau wanita itu bertanya seperti ini. Ya salahnya sendiri masih memasang foto keluarga itu di ruang tamu, anggap saja pertanyaan ini hadir sebagai konsekuensinya. "Dia anak Mommy, anak perempuan yang sangat cantik." sambungnya sambil menghadirkan sebuah senyuman yang terlihat sangat manis.
Azrell melihat ada kilatan penuh kerinduan di balik manik mata tenang tersebut, ia sebenarnya tidak tega membuat wanita yang bernotabene sebagai Mommy-nya Rio itu mengingat kembali masa lalu mereka dan lagipula ia memang tidak memaksa untuk di jawab kok. "Iya, cantik Mommy." hanya itu saja tanggapannya, seolah-olah tidak ingin tahu lebih lanjut lagi.
"Memangnya kenapa? pasti kamu ingin tahu keberadaannya, iya kan? Mommy yakin pasti begitu, soalnya bukan kamu doang yang bertanya seperti ini. Tapi Mommy gak pernah jawab,"
"Iya Mom, lagipula aku sangat mengerti dengan privasi yang sedang Mommy jaga. Aku juga hanya bertanya seperti itu, tidak lebih."
Lina menatap Azrell. Ia tahu kalau wanita itu penasaran dengan apa yang terjadi, namun masih dengan sopan menutup rasa penasaran itu dengan menguburnya dengan embel-embel mengerti privasi. "Memangnya apa yang ingin kamu tanyakan, hm? sebisa Mommy akan menjawabnya." ucapnya sambil meraih sebuah tissue yang berada di atas meja, lalu membersihkan sudut bibirnya yang terasa masih ada bulir air mineral.
Azrell mengerjapkan kedua bola matanya, ia niatnya hanya sekedar berbasa-basi saja namun sepertinya Lina welcome kepada dirinya. "Euhm aku hanya ingin bertanya, siapa namanya?" Untuk mengetahui kemana perginya putri Wallson, ia tidak tertarik lagi karena sudah di jelaskan oleh Rio beberapa menit yang lalu.
"Nama? ah iya kali saja kamu mengenalnya dan bisa membantu kami. Tapi Rio sudah menemukannya, hanya tinggal memastikan saja."
"Iya Mommy, aku ingin membantunya."
Menatap Lina dengan sorot mata penasaran yang sudah tidak dapat di tunda lagi, ia akhirnya mulai memajukan tubuhnya untuk lebih menyimak kembali apa yang akan di bicarakan wanita tersebut.
Lina mulai mengambil napasnya, entah kenapa pada Azrell ia ingin jujur. Lagipula memangnya apa salahnya satu orang mengetahui semua ini? kekasih dari putranya itu terlihat wanita baik-baik. "Felia Azruela Wallson, putri ku yang sudah bertahun-tahun tidak menampakkan wajahnya dan ya aku sudah lupa bagaimana wajah cantiknya saat ini." ucapnya sambil mengulas sebuah senyuman yang terlihat berusaha tegar dengan apa yang dihadapinya.
Mulai mencerna dengan apa yang dikatakan oleh Lina, ia pikir indra pendengarannya kurang berfungsi dengan baik tapi..
"Tunggu, bisa kau katakan sekali lagi, Mom?" ucapnya yang meminta pengulangan nama tersebut, kini dadanya berdebar tak karuan. Rasanya... ia seperti membuat kesalahan namun tidak tahu harus berbuat apa.
Lina menatap Azrell dengan heran, melihat wanita tersebut yang sudah mengubah raut wajahnya. "Kenapa dengan mu, Azrell?" tanyanya sambil menatap wanita di hadapannya dengan kedua mata yang menyorot khawatir.
"Euhm tidak, Mom. Hanya butuh pengulangan biasa saja, tadi telingaku berdengung."
"Oh, bilang astaga.. Mommy pikir kenapa. Baiklah dengar ya sekali lagi, simak baik-baik."
Azrell menganggukkan kepala, tentu saja ia tidak akan melewatkan kesempatan yang satu ini. Ia hanya takut dengan apa yang didengar beberapa detik lalu itu salah. "Iya Mommy, aku menunggu." jawabnya dengan nada bicara yang tercekat.
"Felia Azruela Wallson." ucap Lina sekali lagi dengan nada bicara yang sedikit di perlambat supaya jelas di dengar.
Bum
Bagaikan bom nuklir yang jatuh di dekatnya, ia mengerjapkan kedua bola mata. "Felia?" ulangnya dengan nada suara yang lemah, masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Sungguh, ia sangat kenal dengan seseorang yang memiliki nama tersebut. Ya jelas saja toh itu wanita yang bekerja di rumah lamanya sebagai maid, bahkan pernah menjadi teman dekatnya. Tapi untuk marga yang melekat di belakang namanya... ia sama sekali tidak pernah tahu.
Lina memperhatikan semua raut wajah yang di tampilkan Azrell, lalu menganggukkan kepalanya. "Kamu tahu?" tanyanya.
"T-ten--"
"Maaf lama ya,"
Suara bariton itu memotong ucapan Azrell yang sudah berada di ujung tenggorokan, membuat wanita itu kembali menarik kata-katanya lagi. Mereka berdua menoleh ke sumber suara, dan ya seperti dugaan itu adalah Rio yang tengah berjalan ke arah mereka dengan langkah kaki santai.
"Ah sayang, tidak masalah kok lagipula kamu pas sekali datang saat kita sudah selesai makan." sahut Lina sambil menunjukkan senyuman yang sangat manis untuk putranya. Ia menepuk-nepuk kursi di sebelahnya, seolah-olah mengatakan secara tersirat kalau Rio harus duduk di sebelahnya.
"Iya, Mommy."
Azrell memperhatikan Rio yang sudah duduk di sebelah Lina, ia menatap laki-laki tersebut seperti meluncurkan tatapan yang menghujam. Bayangkan saja kenapa ia tidak tahu semua ini? yang dalam artian.. ia dekat dengan abangnya Felia? coba tebak seberapa hinanya ia saat ini!
"Kalian kenapa sih? kok Azrell keliatan tegang banget, Mommy? habis bahas apa? jangan bilang Mommy bicara macam-macam tentang hubungan kita, iya kan?" pertanyaan beruntun itu langsung keluar dari mulut Rio karena tidak biasanya melihat Azrell yang menegang seperti itu, apalagi melihat raut wajah Mommy-nya gang biasa saja. Nah, sudah dapat di pastikan ada udang di balik batu.
Azrell bergeming, tidak menjawab pertanyaan tersebut. Ia membiarkan Lina saja yang berbicara, tidak masalah berbohong. Tapi nanti lihat saja ia akan membuat Rio meminta maaf pada dirinya, ia juga tidak akan menepati 'deal' tentang perjanjian mereka tadi kalau laki-laki tersebut berhasil bersikap tidak menjengkelkan dengannya. Pokoknya ingin meminta penjelasan supaya tidak berada di posisi seperti manusia bodoh seperti pada saat ini.
"Tadi kita lagi membicarakan bagaimana pengalaman Mommy dulu mengurus kamu, dan ya mungkin Azrell sedang berpikir bagaimana ribetnya menjadi seorang istri." Itu yang dikatakan Lina pada Rio, ia hanya tidak ingin kalau putranya ini memikirkan hal itu saat tengah ada tamu.
Rio menganggukkan kepalanya, paham. Lalu tangannya terjulur ke atas puncak kepala Lina, dan mencium kening wanita yang selalu menjadi nomor satu di dalam hidupnya. "Yasudah Mommy bersih-bersih tubuh dulu sana, air di bathtub sudah aku isi." ucapnya dengan lembut. Tampil sifat tulus sang anak yang sangat memperhatikan orang tuanya.
Azrell hanya memperhatikan percakapan mereka tanpa minat, sampai terasa telinganya enggan menerimanya suara dari luar lagi.
"Azrell, Mommy tinggal dulu ya. Kamu mengobrol saja dengan Rio, dia memang sedikit iseng, sampai nanti ya.."
Dan ya, akhirnya suara Lina yang pamit dengan dirinya pun terdengar membubarkan lamunannya. "E-eh iya Mommy, selamat melepas penat." Mau bagaimana pun, ia yang salah bukan sebaliknya. Namun rasanya ingin meminta maaf pada Felia sangat berat, namun hati malu karena dekat dengan salah satu keluarga wanita tersebut.
Kini, tersisa Azrell dan Rio yang menatap satu sama lain secara bersebrangan.
"Kamu kenapa? kok daritadi aku lihat kayak bad mood gitu sih? marah gara-gara aku ke toiletnya kelamaan atau gimana, sayang..?"
"Loh siapa juga yang permasalahin kamu ke kamar mandi? mau semenit, satu jam, satu abad pun bodo amat."
Kan, sekarang suasana hati Azrell terasa sangat sensitif sekali. Rasanya ingin menghujam Rio dengan banyak pertanyaan, namun ia sadar kalau hal itu nanti pasti akan membuat laki-laki tersebut berpikiran kalau ia adalah wanita dengan tingkat penasaran yang sangat tinggi.
"Ih? kok marah... tadi kamu gak kenapa-kenapa loh sama aku, sayang. Ada apa sih? cerita aja. Pasti gara-gara Mommy, iya kan?"
Ini bukan perihal gara-gara siapa. Tapi ini perihal rasa penasaran yang akhirnya di utarakan namun kenyataan membuat sesak mulai merasuk ke dalam hatinya, sungguh lebih baik tidak tahu saja, iya kan? namun kalau di tunda-tunda malah taunya belakangan, ia pasti tambah sesak. Ih memang serba salah!
"Iya, kenapa tidak menjelaskan kalau Felia itu adik kamu? kenapa harus disembunyikan seperti ini?"
"Ya aku hanya tidak mau kamu malah menjauh dati aku, Azrell."
"Kalau kayak gini aku merasa kamu deketin aku cuma untuk balas dendam kan karena aku sudah mempermalukan Felia di muka umum, iya kan?"
Azrell mendengus sebal, entah kenapa ia menjadi sensi seperti ini padahal tadinya ia tidak peduli apapun tentang Rio.
Mendengar penuturan Felia yang jelas saja tidak ada kebenarannya, tentu Rio membelalakkan kedua bola mata karena di tuduh seperti itu. "Eh? siapa yang ingin balas dendam? kayak laki-laki brengsek saja, itu mah urusan kalian. Kalau urusan ku ya ini, mencintai kamu tulus dari hati."
"Jangan mulai gombal, itu sama sekali tidak membantu dalam situasi seperti ini, Rio."
"Ah iya terimakasih sudah mengingatkan karena pasti nanti kalau gagal aku tidak jadi menggempur dirimu nanti malam ya?"
Azrell memutar kedua bola matanya, merasa kalau topik pembicaraan itu belum penting untuk diobrolkan sekarang. "Jangan mengalihkan pembicaraan, jadi? kenapa tidak memberitahu aku?" tanyanya dengan nada bicara yang melemah, ia sedikit kecewa dengan Rio.
"Hei, jangan bersedih..."
"Bagaimana tidak sedih saat apa yang kamu sembunyikan ternyata aku tahu dari orang lain? kenapa sih laki-laki sukar mengatakan kebenaran dan akhirnya berbohong..?"
"Tap--"
"Kenapa? jawab... jangan terus menerus menghindari topik pembicaraan atau aku akan pulang pada saat ini juga."
Rio yang melihat Azrell seperti itu tentu saja tidak tega, ia langsung beranjak dari duduknya lalu segera menghampiri wanita itu. Berdiri di belakang kursi Azrell, lalu memeluk tubuh tersebut dari belakang --walaupun kini tubuhnya terhalang oleh kepala kursi--. Ia merasa tidak enak hati karena sudah membuat Azrell merasakan kecewa ya walaupun bukan kecewa besar, namun sangat jelas kalau wanitanya itu terluka.
"Hei maaf, aku tadinya ingin mengatakan hal ini pada kamu. Tapi aku sendiri saja belum mengetahui kebenarannya, lagipula saat di taman aku hanya bersenda gurau saja untuk menghibur dirinya dan tidak sempat menanyakan hal itu."
"Lain kali, jujur saja jika itu adalah hal yang penting. Kalaupun bukan hal yang penting, tapi setidaknya tolong jujur pada ku."
Kejujuran merupakan kunci dalam suatu hubungan, dan itu memang benar-benar kunci utama. Namun bagi Azrell kunci hubungan itu tidak pernah ada, karena... ia dan Rio menjalani hari tanpa status.
...
Next chapter