My Coldest CEO

48| Annoying CEO!



48| Annoying CEO!

3Berita mengenai kabar Leo dan Felia yang resmi menjalin hubungan percintaan kini sudah tersebar luas, menghilangkan kenyataan kalau mantan best couple bersama laki-laki itu adalah seorang Azrella Farisha Wallie. Dengan cepat, media massa mulai menyorot bagaimana pantasnya Felia bersanding dengan Leo.     

Cemburu? tentu saja Azrell merasa cemburu dengan hal ini! Terlebih lagi ia adalah sosok yang di puja-puji oleh para laki-laki, tapi Leo sama sekali seperti tidak kehilangan berlian yang di cari-cari orang ini.     

Wanita di ibaratkan berlian, walaupun sudah rusak ya berlian tetaplah berlian yang berharga.     

Melempar remote televisi yang hampir semua saluran kesukaan Azrell menampilkan berita tidak berbobot seperti itu, ia sudah mengakui kalau ini murni salah dirinya. Tapi apa tidak ada wanita selain Felia ya di dunia ini? kenapa hanya karena laki-laki saja pertemanan mereka rusak dan saling menatap tidak suka antar satu sama lain?     

Tunggu sebentar, 'hanya'? sepertinya kata itu harus diubah karena Leo bukan sekedar hanya tapi segala-galanya untuk semua kaum. Siapapun yang berhasil dekat dengan laki-laki itu adalah sebuah hal yang hebat, bahkan nama Azrell saja naik lebih drastis daripada menjadi model.     

Ibaratnya, ia mempunyai keberuntungan namun mendapatkan keberuntungan lainnya.     

"Sampah," ucapnya dengan sebal.     

Ingin merelakan pun belum sanggup, kini ia terlihat seperti tokoh antagonis yang berada di film-film layar lebar.     

Pertimbangan mengenai Rio membuat dirinya masih panas hati saat mengetahui kalau Leo dan Felia semakin lama semakin terlihat harmonis dan serasi.     

Akhir pekan yang menyebalkan, iya itu adalah pendeskripsian yang bagus untuk menggambarkan suasana hatinya saat ini. Sam dan Nayya yang mengambil liburan bersama layaknya pasangan muda, oh tentu saja tanpa mengikutsertakan dirinya. Bisa-bisa ia hanya menjadi nyamuk yang berada di tengah-tengah hubungan mereka.     

"Kalau begini, apa yang harus aku lakukan?"     

Malam-malam, dingin, dan... kesepian? hidupnya yang kini terdengar sangat miris. Mengingat semua kerjaan kantor yang sudah selera ia lakukan, membawa dirinya benar-benar di landa kebosanan.     

Tanpa ponsel, ia pikir tidak akan mengetahui kabar apapun tentang Leo dan Felia. Tapi ia salah, televisi adalah media yang paling jahat bagi dirinya karena sudah menghancurkan dinding pertahanan.     

Niatnya ingin mengambil roti dan berbagai macam topping, berniat untuk membuat roti bakar manis. Daripada waktu luangnya disuguhkan dengan acara tidak jelas, lebih baik mengisi perutnya yang jelas-jelas berbunyi kecil tanda lapar.     

Beranjak dari duduk, ia melihat penampilannya sendiri. Kaos polos berwarna merah muda big size, dan bawahannya hanya memakai dalaman tanpa celana lagi. Outfit yang cukup nyaman, lagipula di rumahnya tidak pernah ada maid laki-laki yang diizinkan tinggal satu daerah dengan dirinya. Semua ini tergantung kebijakan Sam yang tidak ingin bentuk tubuh putrinya di telanjangi saat memakai pakaian yang tentu saja dapat mengundang hasrat.     

Belum sempat melangkahkan kakinya ke area kitchen, indra pendengarannya mendengar bel rumah yang berbunyi di setiap sudut ruangan. Menghembuskan napasnya, ia harus berjalan sendiri daripada menyusahkan para maid yang mungkin saja sudah mengistirahatkan diri pada kamar yang masing-masing sudah tersedia.     

Memilih untuk melangkahkan kaki ke saja, lalu menyibakkan tirai jendela untuk sedikit melihat ke arah luar takut itu adalah seseorang jahat yang berniat berkunjung.     

Melihat seorang laki-laki bertubuh tegak yang berdiri tepat di dapan pintu utama rumahnya, mobil Lamborghini sudah terparkir tepat di depan halaman. Mana mungkin penjahat membawa mobil sebagus itu terlebih lagi diletakkan di tempat yang terlalu blak-blakan.     

Tidak ingin membuang-buang waktu, lagipula sosok itu tidak terlihat jelas. Ia segera melangkahkan kaki dan membuka pintu utama rumahnya dengan celah tidak terlalu lebar. Dan voila,     

"Hai, selamat malam."     

Sapaan dengan suara bariton yang khas menyapa indra pendengarannya dengan sopan. Ia menyipitkan kedua bola matanya kala melihat siapa yang datang. "Loh, bukannya kamu marah sama aku? ngapain balik lagi ke sini?" tanyanya dengan kedua alis yang bertautan satu sama lain.     

Iya, memangnya siapa lagi kalau bukan Rio? Mengharapkan jika sosok ini adalah Leo? sungguh itu sebuah pengharapan yang justru sangat ketinggian dan kelewat batas.     

"Bukannya balas sapaan aku, tapi kamu malah menghujam diri ku dengan berbagai macam pertanyaan. Setidaknya, biarkan aku masuk dan duduk di sofa."     

Meneliti dari atas sampai bawah Rio yang tengah menenteng sesuatu di tangannya. "Pizza? ngapain kamu?" tanyanya.     

"Ya buat kamu lah, baik kan aku? sebagai calon suami yang baik harus rela membawakan kamu makanan di malam-malam seperti ini."     

"Aku bahkan tidak meminta apapun, lagipula itu salah mu. Bilang saja modus,"     

Rio terkekeh mendengar tuduhan Azrell yang sedikit benar itu, membuat rongga dadanya terasa geli karena di mata wanita tersebut ia seperti laki-laki yang meresahkan. "Ya tidak sih, hanya inisiatif saja. Selebihnya memang benar aku sekalian modus dengan mu," jawabnya sambil menggaruk pipinya yang benar-benar terasa tidak gatal, hanya formalitas saja untuk menutupi kebenaran.     

"Yasudah, masuk."     

Mereka berdua masuk ke dalam rumah setelah Azrell menutup kembali pintunya, yang laki-laki langsung saja mendaratkan bokongnya seakan-akan rumah sendiri.     

"Aku belum persilahkan kamu duduk di sofa ku ya, Tuan Rio sang CEO besar."     

"Tapi kedua orangtuamu menyuruh aku untuk menganggap rumah ini sebagai rumah ku sendiri, mereka saja mengizinkan masa kamu yang berstatus calon istri ku masih saja seperti itu."     

Azrell menaikkan sebelah alisnya, merasa aneh dengan apa yang diucapkan oleh Rio. "Maaf, kita baru kenal satu hari, Rio. Suka sekali berangan-angan, kasihan." ucapnya sambil duduk di sebelah laki-laki tersebut.     

Sedangkan Rio? ia hanya mengangkat kedua bahunya dengan acuh, lalu menarik kantung pizza dan membuka box tersebut. Langsung saja tersuguh bulatan pizza yang sudah terpotong-potong.     

"Makan dulu, jangan marah-marah mulu jadi orang. Aku tahu kamu lapar, jangan gengsi." ucapnya sambil mengulum sebuah senyuman yang terlihat manis, namun sedikit mengejek Azrell yang memang memiliki ego tinggi.     

Azrell memusatkan seluruh perhatiannya kepada Rio, menatap laki-laki itu dengan tatapan kesalnya. "Menyebalkan sekali makhluk seperti kamu, ya?"     

"Iya memang, supaya kamu bisa tertawa terus kalau berada di samping aku."     

"Jangan, nanti bisa-bisa aku kelepasan memukul dirimu dengan alat berat karena saking kesalnya."     

Rio menaikkan sebelah alisnya, menentang ucapan Azrell yang menurutnya sangat sok. "Masa? Memangnya wanita dengan bobot tubuh sangat ringan dan memiliki body semungil itu bisa mengangkat alat berat?"     

"Bisa lah, kalau mampu."     

Azrell mengambil potongan pizza yang berada di dalam box, tanpa memperdulikan tatapan menggelikan Rio yang kini terlihat di wajah yang menurutnya tampan. "Ke-napha melwihat ku sepwheuti itu?" tanyanya dengan mulut yang penuh dengan kunyahan pizza.     

"Makan dulu, kunyah lalu telan baru bisa mengajak dirinya berbicara dan melampiaskan kekesalan mu."     

Azrell menelan potongan pizza yang sudah lumat di dalam mulutnya, mulai masuk ke dalam indra pencernaan di dalam perutnya. "Ini sudah ku telan, berhenti meledekku."     

Ternyata benar, sekitar 75% dari 100% wanita di dunia kalau merasa lapar dan tidak terbendung maka galaknya akan kalah dengan seekor singa jantan yang ingin menerkam mangsanya.     

"Kamu sudah mendengar berita tentang Leo yang sudah berpacaran dengan Felia?"     

Mendengar kembali kabar yang mampu membuat emosi Azrell cukup tersulut, ia menatap nyalang ke arah Rio. "Diam, jangan bertanya hal yang tidak penting itu." Sebenarnya, ia tidak akan menangis dan melakukan hal merugikan lainnya. Namun tetap saja apa yang bersarang di hatinya sungguh terasa sangat menyesakkan.     

"Loh aku hanya memberitahukan kamu saja, berarti memunculkan celah untuk menuju gunung kita supaya lebih baik lagi."     

"Memangnya kita punya hubungan?"     

"Azrell, jangan sampai aku membuat kamu mendesah nikmat untuk yang kedua kalinya. Bahkan sampai kamu merasakan klimaks tertinggi, dan memuja bagaimana lembutnya perlakuan ku pada mu."     

Blush     

Kedua pipi Azrell memerah. Kunyahan di dalam mulutnya melemah, namun tak ayal ia mengunyahnya dengan benar terlebih dahulu sebelum membalas ucapan Rio.     

"Siapa yang memuji diri mu? Ak-aku menganggap mu pada malam itu sebagai sosok Leo, bukan diri mu yang asli."     

"Tetap saja kamu menikmati setiap sentuhan ku, iya kan?"     

Azrell memutar kedua bola matanya, menghilangkan rasa malu dengan yang diucapkan oleh Rio "Tidak, jangan terlalu percaya diri." ucapnya dengan suara sinis. Ia mengalihkan pandangannya, lebih fokus dengan makanan yang dibawakan Rio. Bahkan makanan dengan si pemilik lebih menaril makanannya, habisnya laki-laki tersebut terlalu berisik.     

"Kalau begitu, ingin melakukannya lagi?"     

"Jangan mesum,"     

"Kan itu kamu berhalusinasi kalau sedang berhubungan badan dengan Leo, bukan dengan diri ku."     

Azrell menaikkan kedua bahunya, lalu beranjak dari duduk. "Aku harus mengambil air dulu, jangan menanyakan hal tidak-tidak." ucapnya sambil menunda pizza yang ingin masuk ke dalam mulut, sisa pizza itu masih berada di tangannya.     

"Biar aku saja, kamu duduk makan pizza dengan tenang."     

"Loh, yang punya aku. Biasanya kan tamu adalah raja, tapi kamu ingin di perlakukan sebaliknya, aneh."     

Tanpa menunggu ucapan Rio yang membalas perkataannya dengan deretan kalimat menyebalkan, Azrell langsung saja berjalan menuju area dapur dengan tangan yang sambil menyuapi mulutnya dengan sisa pizza. Setelah sampai di sana bersamaan dengan pizza-nya yang sudah habis, ia langsung saja berjalan ke lemari pendingin.     

"Rio minum apaan ya?"     

"Red wine, ada?"     

Terlonjak kaget, kalau saja dirinya sedang memegang sesuatu dari bahan kaca pasti sudah hancur berkeping-keping.     

"Rio?! sejak kapan sih laki-laki yang berprofesi sebagai CEO menjadi suka mengagetkan seseorang seperti ini?!" serunya sambil memukul pelan dada Rio dengan ganas. Walaupun dirinya tidak sedang melamun, tapi tetap saja rasa terkejutnya tidak main-main.     

Sedangkan Rio? Ia tertawa terbahak-bahak. Kalau CEO lainnya sangat menjaga etika bahkan di luar jam kerja pun masih terlihat berkharisma, tapi dirinya bukan sosok yang seperti itu.     

Di luar jam kerja, Rio akan menjadi laki-laki dengan tingkat ketenangan yang tinggi. Bahkan lebih ke arah humble dan suka menebar guyonan klasik, tapi ia lebih suka menampilkan sifat aslinya pada Azrell karena wanita itu sangat seru kalau di ajak bercanda.     

"Loh memangnya kenapa? tidak boleh? dasar hormon wanita hamil, pasti bawaannya marah-marah terus."     

"Siapa juga yang hamil? mimpi."     

"Ya lihat saja dua minggu kemudian,"     

"Berisik, mau minum atau terus berbicara."     

Baru kali ini juga seorang Azrell kewalahan menghadapi satu laki-laki, karena biasanya ia yang menjadi pemikat paling kuat. "Ingin minum susu,"     

Azrell menaikkan sebelah alisnya, malam-malam untuk apa minum susu?     

"Tapi susu milik mu,"     

Pada detik selanjutnya kedua pipi Azrell memerah, ia langsung saja memukuli tubuh Rio sekuat tenaga. "MENYEBALKAN!"     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.