91| Anything for Felia
91| Anything for Felia
Ia pikir dengan menonton televisi akan membuang banyak waktu sehingga terasa cepat saat menunggu Leo, tapi sama saja kalau waktu ditunggu-tunggu pasti memang terasa akan sangat lama dan ia menyadarinya sekarang.
"Ih padahal tadi aku baru makan sore loh, dan astaga ini sudah mencapai waktu makan malam." gumam Felia sambil mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit kamar yang putih bersih. Kedua tangannya tak henti mengelus permukaan perutnya yang membulat dengan gerakan perlahan, ia sangat sayang dengan sang bayi di dalam sana.
"Daddy mu lama sekali ya, sudah tahu kita berdua lapar kenapa dia pulang lama sekali katanya dua puluh menit tapi ini hampir setengah jam, huh."
Seakan-akan ia memiliki lawan bicara berwujud bayi-nya, mengobrol dengan keluhan sebal.
Tok
Tok
Tok
Tiba-tiba saja, lamunannya buyar dan langsung membuat kepalanya menoleh ke arah pintu kamar. "Iya, siapa?" jawabnya karena tidak ada ucapan apapun dari luar sana, mungkin takut mengganggu kalau sebenarnya ia tertidur.
"Selamat malam Nona, ini saya Bara."
Lenyap sudah harapan Felia yang mengharapkan kalau siapapun di luar sana itu adalah laki-laki yang sedang ia tunggu keberadaannya, ternyata bukan dan mau tidak mau mengubur harapannya.
Dengan anggukan kepala yang refleks, ia membenarkan letak tubuhnya yang merosot kembali menyandar ke kepala kursi. "Iya, Bara masuk saja." ucapnya yang mengizinkan laki-laki di luar sana masuk ke dalam kamarnya yang tidak di kunci sama sekali.
Ceklek
Terdengar suara pintu yang terbuka bersamaan dengan masuknya seorang laki-laki yang masih memakai seragam rapih dan putih bersih, kalau Felia memakai baju putih mah beda lagi ceritanya mungkin sepuluh menit saja sudah ada noda kotor.
"Permisi Nona, maaf lancang sampai memasuki kamar seperti ini." ucap Bara sambil membungkukkan sedikit tubuhnya, masih tetap bersikap sopan.
Felia yang memang setengah tubuhnya di tutupin dengan selimut tebal, dan tubuh atas yang memakai kaos kebesaran milik Leo pun tetap terlihat mungkin dari atas kasur sana. "Iya tidak apa Bara, biar ku tebak pasti makan malam ya?" ucapnya yang sudah meramal maksud kedatangan Bara ke sini, ia pun tidak perlu lagi menanyakan 'ada apa' walaupun kadang masih di pakai untuk berbasa-basi sih.
Soalnya hampir tiap hari sesuai dengan jam pergantian makan, Bara pasti mengingatkan dirinya seolah-olah memang tidak membiarkannya telat makan. Jadi ya Felia sudah hapal dengan rutinitas yang dilakukan laki-laki tersebut.
Bara menunjukkan deretan giginya yang tertata rapih, putih dan tentu saja sangat bersih. Mengatakan seolah-olah 'ramalan' Felia benar adanya. "Iya Nona, sudah memasuki jam makan malam dan saya harus segera mengingatkan pada mu takut telat terlebih lagi pasti kamu sudah lapar." ucapnya yang menurut wanita di depannya ini seperti cenayang, soalnya tahu saja dengan apa yang tengah di rasakan Felia.
"Kalau aku tidak nafsu makan, bagaimana?"
"Ya saya harus melakukan hal apa saja supaya Nona bisa kembali mendapatkan suasana hati untuk makan."
"Kalau tetap tidak mau, bagaimana?"
Felia hanya ingin makanan yang du bawakan oleh Leo, padahal ia bisa meminta Bara untuk membuatkannya. Mungkin karena sudah sangat terbiasa dengan masakan laki-laki tersebut, ia ingin mencicipi rasa baru dari hidangan yang serupa.
Sedangkan Bara, ia selalu setia dengan senyumannya menghadapi Felia yang tengah hamil yang sudah pasti suasana hatinya memang mudah goyah dan berubah-ubah. Baginya, sifat keras kepala seorang wanita saat tengah mengandung adalah hal yang wajar.
"Kalau tidak mau--"
"Harus makan, saya sudah pulang sayang."
Mendengar suara bariton lainnya yang memotong ucapan Bara yang belum selesai, mereka berdua yang tengah melempar percakapan langsung menoleh ke sumber suara.
Leo dengan penampilan yang sudah berantakan --tidak se-rapih tadi pagi saat berangkat ke kantor--, terlihat sudah berdiri di depan pintu dengan senyuman yang merekah.
Pada saat itu juga, Felia rasanya ingin melompat me arah laki-laki itu pada saat ini juga namun sadar karena ia belum bisa melakukan hal itu.
"Leo!" pekiknya dengan senang, bahkan kini terlihat kedua bola matanya yang bersinar bahagia dengan kedatangan seseorang yang telah di tunggu-tunggu.
Bara sudah menutup mulutnya saat melihat Leo yang hadir di dekatnya untuk menenangkan sang kekasih, masih diam karena belum ada aba-aba selanjutnya dari sang Tuan rumah.
Leo menganggukkan kepalanya, "Iya sayang ini aku." setelah itu mengalihkan pandangannya ke arah Bara yang diam dengan sorot mata tenang. "Bara, tolong ambilkan soup cup nanti saya sepertinya agak telat makan malam berarti setelah ini kamu boleh pulang." ucapnya sambil mengendurkan dasi yang terasa seperti mencekik lehernya seharian ini.
Bara yang mendengar perintah dari Leo pun akhirnya menganggukan kepala, pertanda dia mengerti. "Baik Tuan saya akan segera kembali ke sini dan membawakan sub cup yang Tuan minta." ucapnya dengan nada bicara lembut, ia merasa senang bekerja dengan Leo karena lihat bahkan ia diperbolehkan pulang karena Tuan-nya itu memutuskan untuk menunda dam makan malamnya.
Felia yang melihat itu tentu saja mati-matian menahan pekikan bahagia, ia melihat Bara yang sudah keluar dari kamar mereka dan pada saat itu juga Leo menutup kembali pintunya dan tiba-tiba saja... di kunci?
Dengan sebelah alis yang terangkat, ia penasaran kenapa kekasihnya melakukan hal itu. "Kenapa kamu kunci, Leo?" tanyanya bahkan kini nada bicara yang ia ucapkan sedikit gamblang.
Leo hanya terkekeh kecil, lalu berjalan ke arah sebuah telepon rumah untuk menghubungi Bara kembali. Dering pertama tentu saja langsung di angkat oleh seseorang di seberang sana.
"Halo Tuan, apa ada yang di perlukan lagi?" tanya Bara dati seberang sana.
Leo berdehem kecil. "Tidak ada, saya rasa soup cup-nya tidak perlu. Lupa kalau restoran yang saya beli tadi sudah menyediakan untuk take away." ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata ke arah Felia, bermaksud menggoda wanitanya itu.
Sedangkan Felia ia hanya mengangkat bahunya, yang lebih menarik saat ini adalah makanan yang di bawa Leo. Dengan cepat ia menyambar makanan itu dan langsung berbinar, punggung tangannya menyentuh pinggiran cup yang ternyata masih hangat sempurna. "Woah... pasti sangat lezat." ucapnya masih mengembangkan senyuman.
Leo yang melihat itu pun tersenyum hangat, lalu setelah mengatakan hal-hal lain pada Bara yang sekiranya cukup ia langsung menutup telepon dan berjalan sampai terasa lututnya menyentuh tepi kasur. "Nanti saya suapin," ucapnya sambil benar-benar melepas dasi di kerah kemejanya.
"Tidak mau, aku mau makan sendiri anggap saja aku merajuk!" balas Felia dengan nada bicara kekanak-kanakan, seolah-olah seorang gadis kecil yang marah kepala sang Daddy.
Felia sibuk membuka soup cup tersebut dari dalam kantung yang terdapat logo restoran bintang lima terkenal, namun itu bukan poin terpenting untuk dirinya karena yang paling ia tunggu-tunggu adalah mushroom soup ini.
Menggelengkan kepalanya karena tidak habis pikir sekaligus gemas dengan wanitanya, akhirnya Leo melepaskan semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Dari tuxedo, kemeja, celana kerja satu setelan dengan tuxedo, juga lain-lain seperti kaos kaki dan tam tangan pun ia lepas. Menyisakan tubuh bagian atasnya yang telanjang beserta boxer di bawah sana.
"Kalau begitu saya tinggal mandi atau bagaimana?"
"Tidak, tidak boleh mandi kamu sini dulu temani aku makan."
"Ya sudah sekalian saja saya suapi,"
"Tidak mau, maunya makan sendiri."
Felia menjulurkan lidahnya ke arah Leo, benar-benar meledek laki-laki tersebut dengan sifatnya yang berubah-ubah layaknya bunglon. Ia membuka tutup dari soup cup tersebut lalu langsung saja wangi menyeruak dari mushroom tersebut memenuhi indra penciumannya. "Hm tuhkan lezat, makasih banyak ya sayang aku Leo, muach." ucapnya sambil melontarkan sebuah kecupan jauh via udara, seolah-olah melayang dan sampai pada hati laki-laki itu.
Leo menganggukkan kepala, lalu mulai naik ke atas kasur dan memposisikan tubuhnya tepat di samping Felia. Ia menampilkan sebuah senyum, lalu menganggukkan kepalanya. "Terimakasih kembali ya sayang, sini aku yang pegang cup-nya takut panas." ucapnya sambil mengambil alih soup cup tersebut supaya masuk ke dalam genggamannya.
Felia hanya nurut saja, lalu menghadapkan tubuhnya sesuai dengan Leo. Untung saja sudah dapat sendok juga dari sana, jadi tidak perlu bolak-balik menyuruh hal kecil pada Bara.
Suapan pertama mulai masuk ke dalam mulutnya, dan di detik selanjutnya decakan puas menyusul. "Enak banget, Leo. Kamu harus mencobanya," ucapnya sambil kembali menyendokkan soup dan meniupnya secara perlahan. Setelah di pastikan suhunya cocok untuk segera masuk ke dalam mulut, ia menyodorkannya ke hadapan Leo.
"Aaa buka mulutnya Tuan CEO tampan,"
Leo menuruti apa yang diucapkan oleh Felia, daripada nanti wanitanya itu akan merajuk lagi tiada henti. Membuka mulutnya sesuai dengan ukuran sendok, ia menyambut bagus suapan yang di luncurkan Felia.
"Enak, kan?" tanya Felia dengan raut wajah gembira, menyendokkan kembali mushroom soup ke dalam mulutnya.
Bagi Leo, enak atau tidaknya mungkin menurut dirinya sudah biasa jadi tidak ada yang terlalu spesial. Mungkin namanya sedang mengidam, jadi mungkin suasana Felia sedikit berbeda campur senang. Apapun ia lakukan untuk wanitanya.
"Yasudah makan habiskan yang banyak ya,"
"Kamu kenapa mau aku suruh-suruh sih sama aku? maksud ku ya kami kan habis pulang kerja, pasti lelah iya kan?"
"Siapa yang bilang saya lelah, hm? justru dengan saya memenuhi apa yang kamu inginkan dan menghadirkan senyuman di wajah kamu, itu yang saya butuhkan supaya tidak merasa lelah."
Tiba-tiba saja, rasanya rongga dada Felia berdesir seakan-akan ada jutaan kupu-kupu yang berada di dalam sana. Ia menghentikan sejenak kegiatan makannya, lalu menatap Leo dengan sorot mata yang sangat dalam. Mulai masuk ke dalam manik mata tajam itu, melihat sebuah ketulusan yang tercetak jelas di sana.
"Terimakasih banyak sayang, maaf ya akhir-akhir ini emosi aku semakin gak jelas."
"Itu tidak masalah, sayang. Asalkan kamu suka, di makan saja aya akan selalu menurutinya."
"Peluk boleh?"
Leo memperhatikan tubuhnya, lalu menggelengkan kepala. "Tidak, saya bau belum mandi."
"Tidak masalah! justru aku suka sekali wangi mu setelah bekerja, peluk ya..."
Terkekeh kecil, Leo menganggukkan kepalanya. "Sini sayang, cinta yang manis.."
Pada detik itu juga, Felia menghamburkan tubuhnya untuk masuk ke dalam pelukan Leo. Secara perlahan tapi, agar cup yang berada di tangan laki-laki itu tidak jatuh. Ia menghirup dalam-dalam aroma yang masih saja maskulin, jangan di tanyakan seberapa sayang dan seberapa beruntungnya ia memiliki Leo.
"I love you,"
...
Next chapter