84| Simple Attention
84| Simple Attention
Menatap Bara yang masih setia memakai seragam masaknya, membuat senyuman Felia mengembang. Ia menatap ke arah Leo dengan decakan kagum yang tercetak jelas, lalu kembali mengalihkan pandangan pada laki-laki yang berprofesi sebagai private cook itu. "Iya kah? apa yang kamu masak, Bara?" tanyanya yang sudah terlampau penasaran.
Entah ini rencana Leo atau memang inisiatif tersendiri bagi Bara, namun setiap bulannya bertepatan dengan tanggal yang sama dengan tanggal jadi dirinya dengan sang kekasih saat di Paris. Jadi, ini bukanlah sebuah kebetulan semata, iya kan? pasti sudah di rencanakan dan ada dalang dari semua kemanisan ini.
Bara hanya terkekeh kecil dengan ekspresi Felia yang tidak pernah berubah saat merasa senang, ia menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa Nona, silahkan kamu bisa bersiap-siap dulu untuk dinner hari." balasnya sambil menampilkan sebuah senyuman yang penuh dengan rasa hormat.
Leo menganggukkan kepala, iya memang ini semua ini dirinya yang merencanakan. Dengan tangan yang sudah mulai masuk melingkari pinggang ramping wanita yang berada di sisinya. "Sudah jangan terlalu penasaran, yuk kita bersih-bersih dulu supaya Bara bisa melakukan aktifitasnya." ucapnya sambil menatap ke arah Bara dan memberikan sebelah kedipan mata pada laki-laki tersebut, ya mereka sepertinya sudah berkompromi.
Mendengarkan apa yang dikatakan oleh Leo, Felia memilih untuk mengikuti langkah kaki laki-laki itu yang mulai membawanya menjauh dari Bara. Ia melihat setiap langkah kakinya takut tersandung, karena kadang-kadang saja ia bisa loh tersandung angin dalam artian tidak ada apa-apa yang membuat dirinya terjatuh.
"Ini rencana kamu, iya kan Leo?" tanyanya sambil mengulum sebuah senyuman yang sangat manis. Dari hari ke hari rasa cintanya ke Leo semakin membesar, kalau di ibaratkan sih seluas angkasa tapi ya itu mungkin penggambaran yang terdengar terlalu berlebihan.
Leo seolah-olah tidak mengerti dengan apa yang ditanyakan wanitanya, jadi ia pun menutup kemungkinan yang terbesit di dalam pikiran Felia. "Saya? saya tidak melakukan apapun, kalau tidak percaya tanyakan saja pada Bara." jawabnya dengan wajah yang cukup meyakinkan kalau dirinya tidak tahu menahu akan hal ini.
"Ah untuk apa menanyakan hal itu, tidak ah aku malu lebih baik makan dengan nikmat dan anggap saja itu hal yang patut untuk di syukuri."
"Iya sayang, tapi kamu tidak boleh makan sembarangan sih nanti calon bayi kita kenapa-napa."
Felia dan Leo mengakhiri pijakan langkah kaki mereka yang sedaritadi naik perlahan ke deretan anak tangga menuju lantai dua, mereka menghentikan langkah dan saling menatap satu sama lain dengan kilatan manik mata yang memiliki sebuah harapan serupa.
Dengan jemari lentik yang terlihat sangat menjadi dambaan para wanita, Felia mengelus perutnya yang sedikit membuncit. Usia kehamilannya lebih muda daripada Azrell, jadi anggap saja dirinya masih rawan kalau sang kekasih meminta untuk melakukan hubungan badan.
"Dia pasti akan tumbuh sebagai anak yang hebat. Kalau kuat, berkharisma, tampan, itu pasti akan mengikuti kamu, sayang."
Bahkan, kini Felia dengan senang hati sudah memanggil Leo tanpa embel-embel Tuan dan juga panggilan sayang pun sudah terlontar dari dalam mulutnya tanpa rasa tidak enak.
Leo mengacak rambut Felia dengan sangat gemas, lalu mengecup kening wanitanya dengan sangat lembut sambil memejamkan kedua bola matanya. Seolah-olah kekasihnya itu adalah hal yang paling berharga, dan itu memang sebuah kebenaran. "Dan kalau nanti anak kita seperti kamu, lebih bagus dong. Karena kamu lugu, penyayang, penuh perhatian bahkan pemaaf. Saya hampir menyebutkan segala kebaikan yang kamu miliki."
Tersenyum karena Leo mengatakan hal yang sangat manis untuk dirinya, Felia meraih tangan kekar tersebut lalu mencium telapak tangannya tanpa enggan melepas, biarlah bibirnya itu berada di punggung tangan sang kekasih. "Makasih ya sayang, kamu selalu jadi laki-laki terhebat. Bahkan masih sempat-sempatnya memuji aku tanpa rasa bosan sedikitpun, kalau laki-laki lain mungkin semakin lama semakin hilang perhatiannya." ucapnya sambil mengembalikan tangan Leo seperti semula, berada di samping tubuhnya.
Leo terkekeh, lalu menganggukkan kepalanya. "Sama-sama, saya rasa kalau sesuatu yang sedang saya genggam itu sudah pasti hal yang luar biasa. Jadi aku gak mau kehilangan luar biasa itu hanya karena beralasan bosan, atau semacamnya."
Jawaban Leo memang sangat menenangkan tiap hati wanita yang bersamanya, yaitu Felia. Memiliki tingkat kepekaan yang tinggi membuat dirinya memang sudah cocok menjadi laki-laki berumah tangga yang sudah seharusnya memiliki keluarga harmonis pada umumnya.
Felia ingin memeluk Leo, namun ia sadar nanti ada janin yang bisa saja terhimpit akibat ulahnya. Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan lebih dulu masuk ke dalam kamar milik kekasihnya, yang dalam artian miliknya juga.
Setelah masuk ke dalam kamar, ia langsung melepas pakaian sampai tidak tersisa sehelai benangpun. Ia sudah terbiasa dengan hal ini, jadi ya menurut penglihatan kalau sang junior milik Leo berdiri berarti memang benar ia yang memancing.
Mendengar suara pintu yang tertutup, Felia yang sudah meraih pakaian kotornya yang hendak di letakkan ke dalam ranjang kotor pun mengalihkan pandangannya ke seseorang itu. "Kamu mau mandi bersama ku, atau gimana Leo?" tanyanya sambil berjalan ke arah tempat untuk menaruh pakaian kotor lalu menaruhnya di sana.
Leo menghalau pikiran kotornya yang tentu saja memang birahi laki-laki keluar saat di suguhkan hal yang sedang berada di hadapannya saat ini, ia menggelengkan kepala lalu berjalan mendahului Felia mulai masuk ke dalam kamar mandi. "Kamu berendam di bathtub saja, nanti saya pakai shower. Kalau ada bagian tubuh yang kurang terjangkau nanti saya bantu." ucapnya dengan suara bariton yang terdengar cool.
Perhatian-perhatian yang diluncurkan Leo untuk menutupi nafsunya selalu saja membuat Felia terasa tersipu malu. Demi dirinya, laki-laki itu selalu berhasil menelan bulat-bulat keinginan bercinta dengannya.
"Terimakasih sayang ku," gumamnya. Namun percuma juga tidak terdengar karena kini Leo sudah masuk ke dalam kamar mandi. Dengan langkah yang hati-hati --karena biasanya lantai kamar mandi itu licin--, ia mulai masuk ke dalam sana dengan tangan yang memegang apapun untuk membantu jalannya. Hanya supaya dirinya tidak terpeleset saja, ya kan alangkah baiknya memang berwaspada.
Sedangkan Leo, sudah berada di kamar mandi. Ia sudah mengisi penuh bathtub dengan suhu air yang hangat, ia bahkan tidak lupa dengan sabun kesukaan Felia. Pokoknya, ia sudah mengatur segalanya sesuai dengan standar kebiasaan yang di perlukan sang kekasih.
"Sayang, airnya sudah siap nih. Mari saya bantu untuk masuk ke dalam," ucapnya sambil menjulurkan tangan supaya Felia meraih tangannya.
Felia menganggukkan kepala, setelah tangannya saling bertautan dengan milik Leo ia dengan perlahan mulai masuk ke dalam bathtub dengan bantuan kekasihnya. "Terimakasih," ucapnya sambil memberikan sebuah senyuman yang terlihat sangat teramat manis.
"Iya, sayang. Jangan terlalu lama berendam ya takutnya kenapa-napa, saya tinggal mandi dulu dan pintu kacanya tidak akan saya kunci supaya bisa mendengar saat kamu manggil saya."
"Siap laksanakan Tuan sayang!" serunya sambil terkekeh kecil.
Leo hanya mengulas senyumannya yang terlihat tampan, lalu berbalik badan dan melucuti pakaiannya yang melekat di tubuhnya sampai kepada naked. Menaruh semua pakaian itu ke keranjang kotor, lalu mulai masuk ke dalam ruangan kecil yang dibuat penuh dengan kaca buram lalu mulai menyalakan shower.
Felia sibuk memainkan busa dari sabun yang tercipta di permukaan tubuh, ia menelusuri lengan mulus dengan jemari lembutnya. Merasa kalau perhatian Leo adalah hal yang sangat manis, apalagi sampai tau semua kesukaannya sampai sedetail ini.
Dari sabun, pasta gigi, bahkan semuanya deh Leo hapal ya karena memang hampir sebagian peralatan mereka itu berbeda. Bahkan pasta gigi saja beda satu sama lain.
"Fe, jangan senyum-senyum sendiri nandi busa yang rasanya pahit itu akan masuk ke dalam mulut mu. Saya tahu kalau saya tampan, tapi jangan terlalu di pikirkan seperti itu."
Mendengar nada bariton yang terdengar maskulin itu, Felia mengalihkan pandangannya ke sumber suara dan terlihat Leo yang tengah menghadap dirinya. Walaupun berkaca buram, namun masih bisa terlihat jelas dengan mata telanjang. Melihat sebuah benda perkasa yang sudah lama tidak mengunjunginya, akhirnya ia memilih untuk memutuskan pandangan dengan rona merah.
"Tidak! aku tidak memikirkan kamu, Leo."
"Lalu apa? dan kenapa kamu memalingkan wajah saat tadi sempat menoleh ke arah ku?"
Hobi baru Leo sepertinya telah menyerupai Rio yang sangat menjengkelkan. Sudah tahu jawabannya, tapi masih sempat bertanya-tanya.
"Tidak, tidak ada hal apapun. Aku hanya sedang ingin menatap ke arah dinding, memangnya tidal boleh ya?"
Merutuki jawabannya, Felia bahkan tidak tahu kenapa bisa mengatakan hal itu. Bahkan menurutnya itu jawaban yang paling konyol, untuk apa dirinya berkeinginan untuk menatap dinding?
Leo hanya terkekeh saja, ia sebenarnya sangat tahu kenapa wanitanya memalingkan wajah. Apalagi jawabannya kalau bukan karena juniornya yang selalu terlihat perkasa ini?
"Mau bermain dengannya? saya dengan senang hati loh menawarkan ini."
Mengulum senyuman, membayangkan apa yang akan dilakukan Felia dengan juniornya walaupun dengan mulut juga terasa sangat nikmat kok.
Kedua pipi Felia semakin terlihat merah merona dengan apa yang dikatakan oleh Leo. Tubuhnya yang licin karena sapuan sabun membuat dirinya semakin merasa untuk menahan apa yang kini berdesir ke seluruh tubuh, memang pancingan laki-laki tersebut selalu berhasil. Tapi tetap saja, ia menahannya.
"Tidak deh sayang, sebaiknya kita segera ke bawah setelah mandi karena pasti Bara sudah menunggu kita. Kan gak enak nanti makanannya sudah adem, tidak lagi panas."
Leo menganggukkan kepalanya, setuju dengan yang di katakan oleh wanitanya. Kalau sudah bermain, pasti durasinya tidak akan singkat. "Iya benar juga kamu, kapan-kapan saja ya atau... nanti malam juga boleh sayang kalau kamu minat."
Semakin terasa panas, Felia menggelengkan kepalanya berkali-kali supaya menetralisirkan apa yang ia rasakan. "Leo berhenti menggoda ku, ih!"
...
Next chapter