Chapter 176 - Tujuan dari kegelapan
Chapter 176 - Tujuan dari kegelapan
"Gh!"
Meski begitu lawannya tak kalah lihai dari serangannya. Cambuk itu terus menangkis segala serangannya. Bukanlah cambuk biasa yang musuhnya–Bell, the Puppets Magician– gunakan. Cambuk itu amat keras layaknya baja, namun tampak ringan bagaikan tali.
Meski berulang kali Lilia mencoba menembus pertahanan musuhnya dengan pedangnya, tetapi semua serangannya di tahan dengan cambuk itu. Justru beruntung selama ini pedang Lilia tidak terikat dengan cambuk itu. Jika itu terjadi, maka ia tak lagi memiliki senjata untuk melawannya.
Lilia menghentikan serangannya, bersamaan dengan Bell pula yang menjaga jarak tanpa menyerangnya. Kedua mata mereka menyipit tajam seakan saling mengawasi satu sama lain.
"Pedang itu ... Apa yang terjadi dengan pedang kebanggan mu itu?"
Bell menyadarinya. Pedang baja yang tak memiliki desain menarik selain warna hitam pekatnya, bilahnya juga tak sepanjang pedang sihir miliknya.
Lalu Bell menyeringai seraya mengeratkan cambuknya "Ah benar, sudah patah ya?"
Giginya menggertak kuat, ekspresi mengerikan yang tak dapat dilihat siapapun karena helm bajanya, tercipta akibat penghinaan yang ia dapatkan dari pertarungan mereka sebelumnya. Pedangnya yang dikatakan unik itu hancur menjadi tak berguna, sampai kapanpun ia tak akan melupakannya. Karena itulah ia kembali ... Meski harus meminjam kekuatan seorang Iblis.
"Tapi ini merepotkan ... Karena pelindung yang ku buat untuk melawan mu jadi tidak berguna."
Ucapan Bell menarik perhatiannya. Tanpa mengendurkan kewaspadaannya, ia bertanya "Apa maksudmu?"
Bell terkekeh karena sesuatu "Tentu saja seperti yang ku katakan, Nona Neil'o."
Cambuk itu melesat dengan cepat mengarah ke wajah Lilia. Namun, ia mampu menghindarinya dengan mudah. Meski normalnya kecepatan cambuk itu tak dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi bagi seorang kapten pasukan kesatria suci, itu bukanlah ancaman berarti.
Lilia melompat ke samping menghindari hunusan cambuk. Tetapi itu adalah senjata yang digunakan penggunanya dari jarak yang cukup jauh, Bell dapat dengan mudah melihat pergerakan Lilia.
Dengan seringai di wajahnya, Bell mengayunkan cambuk itu menyamping.
"Lambat!"
Lilia masih melayang di udara, cambuk telah mendekati dan siap membelah tubuhnya menjadi dua. Ia memiliki cara, yaitu dengan menangkisnya dengan pedang hitamnya, namun ia tahu jika itu terjadi maka pedangnya akan terikat dengan cambuk itu. Lantas bagaimana?
Lilia bukanlah kesatria biasa, ia seorang kesatria yang terbiasa menggunakan senjata sihir. Hanya dengan itu saja dapat membuktikan kepada siapapun jika dirinya adalah penyihir yang mumpuni.
"[Magic: Wind Step]"
Meski kakinya belum menginjak tanah, tetapi sihir angin yang ia rapalkan mampu melakukannya. Ia mendorong tubuhnya dengan kaki dan bantuan sihir angin, melompat seraya memutar diatas cambuk yang melesat kearahnya.
Cambuk itu menghantam tanah dengan kuat, meninggalkan bekas yang begitu besar di tanah. Entah bagaimana tubuhnya sekarang bila terkena serangan cambuk itu.
"Cih. Ternyata jabatan mu bukan hanya omong kosong belaka, ya?"
Cambuk ia tarik kembali seraya memasang wajah masam. Mulutnya memaksa ia mengakui kemampuan Lilia. Meski bukan pertama kalinya Bell mengakui hal ini.
'Kemampuannya sangat berbahaya. Aku sudah mengetahui kekuatannya, tapi ...'
Retakan perisainya yang tercipta kala mereka berhadapan pertama kali–pertempuran di kota perdagangan, disanalah Bell mengakuinya.
Dibawah langit gelap yang bercampur awan merah bak darah yang mewarnainya. Pertarungan dua kekuatan besar tak sapat dihindari, bahkan awan yang tampak tak wajar itu juga tercipta karenanya.
Buruk, sangat buruk. Begitulah yang ada di benak Bell saat ini.
'Meski saat ini diriku ingin mencabik-cabiknya ... Tetapi kondisi ini sangat mengerikan. Aku akan terkena imbasnya ... Haaah, mundur saja lah.'
Cambuk ia gulung, menghela napas dihadapan Lilia. Mata kapten kesatria suci itu seketika menyipit tajam melihatnya tak memiliki niat bertarung.
"Kau ..."
"Pertarungan ini sia-sia, masih belum saatnya kita–"
Ucapannya belum selesai, sebuah pedang menghunus dengan cepat ke arah wajahnya, tetapi reflek Bell menyelamatkannya. Tangannya dengan cepat mengeratkan tali cambuk yang sekeras baja di depan wajahnya, membuat arah serangan Lilia berubah melukai pipi Bell.
Sangat kuat, sangat cepat, meski begitu Lilia masih tak dapat memenggal kepalanya. Bell melompat mundur dengan wajah jengkel, meski begitu dirinya terlihat jelas sedang menahan diri. Kenapa? Lilia bertanya-tanya setelah melihat raut wajah perempuan itu.
"Gadis sialan ... Kau benar-benar tidak sabar, ya?! Ah sialan!"
Meski mulut Bell memberikan umpatan kasar, tetapi caranya berdiri dan memegang senjata sama sekali tak menunjukkan niat untuk bertarung.
"Kenapa ... Kenapa kau tidak bertarung? Apa kau takut?"
Lilia bertanya tanpa mengendurkan sedikitpun kewaspadaan, pedangnya selalu terarah kepada lawannya, kuda-kuda yang kuat dan sorot mata tajam di balik helmnya sama sekali tak ia lepaskan.
Bell menarik ujung bibirnya, tersenyum meremehkannya "Ya, kondisinya menjadi lebih buruk. Aku sudah tidak ada niat untuk bertarung."
Memang, Lilia juga menyadari hal itu. Peperangan ini bukan lagi perang antara Kekaisaran dengan Aliansi persatuan benua Ziuria, bisa dikatakan pertempuran ini seolah menjadi ajang pembuktian dua kekuatan besar yang mempertaruhkan kehidupan dunia ini.
"Apa tujuan kalian sebenarnya? Apakah itu sang Kaisar?" tanya Lilia dengan rasa curiga.
Pertanyaan itu membuat Bell menyeringai penuh arti di "Hee ... Kenapa kau menduga hal itu, Nona Kesatria?"
Lilia menjawab "Aku tidak yakin. Hanya saja, matamu, selalu melihat ke langit."
Mengkerut kening Bell mendengarnya.
"Bahkan saat kau menghindari serangan ku dan menyerang, matamu menyempatkan diri melihat kepada sang Kaisar Iblis. Matamu itu seolah-olah sedang mengamatinya ... Dari sanalah aku menyimpulkan jika tujuan kalian adalah mengamati Kaisar Iblis, Void. Benar?"
Dia tidak menyerang, tidak pernah memberikan serangan agresif kepada Lilia. Bertahan dan memberikan serangan balasan seraya menjauh. Tak seperti Lucifer yang benar-benar ingin bertempur, Bell hari ini tak sedikitpun memiliki niat itu pada cambuknya.
Terbahak-bahak Bell mendengarkan ucapan Lilia "Astaga, anda benar-benar jeli ya, Nona Kesatria. Benar sekali, tujuan kami hari ini hanyalah untuk mengamati kekuatan Kaisar Void."
Matanya kembali menatap kearah langit, melihat sang Kaisar Iblis yang bertarung dengan "dewanya"
"Kaisar itu memiliki apa yang kami butuhkan, justru dia melebihi apa yang kami bayangkan. Tapi ... Orang itu juga."
Sosok yang mengaku sebagai dewa para Iblis, dialah yang Bell maksud.
"Sosok misterius yang berhasil merebut hati pemimpin kami, dalam sekejap dia menjadi atasan kami. Dihadapan kami juga dia membual hal bodoh dengan mengaku sebagai Iblis ... Tetapi, melihat kekuatannya sekarang ..."
"Apa kau percaya jika dia adalah dewa?"
Pandangan tajam Bell berganti menjadi sinis begitu mendengar pertanyaan dari Lilia.
"Pada awalnya ... Tetapi, bagaimana bisa seorang makhluk ciptaannya menyamai kekuatan dewanya sendiri?" jawab Bell kemudian bertanya dengan suara penuh misterius disertai senyuman angkuhnya. "Tapi harus kuakui jika kekuatan mereka berdua sangat mengerikan, mungkin saja dunia ini bisa hancur karena mereka berdua, kan?"
Lilia tak menjawab, sebab kemungkinan itu bisa saja terjadi. Itulah alasan Lilia menampakkan dirinya di arena pertempuran, demi menghentikan semuanya sebelum terlambat.
Bell kembali berbicara dengan rupa angkuhnya "Tapi, Nona Kesatria. Bagaimana jika orang itu benar-benar seorang dewa?"
Dua alis Lilia menukik tajam mendengar pertanyaan itu "Apa maksudmu?"
"Kita tidak tahu siapa pencipta para Iblis, benar? Kita tidak tahu bagaimana rupanya dan kekuatannya sang Dewa para Iblis, benar? Andaikan saja ... Bagaimana jika sosok yang dilawan sang Kaisar adalah seorang dewa?"
Lilia menggertakkan giginya "Mustahil!" jawabnya dengan membentak "Iblis tidak diciptakan oleh dewa, tetapi mereka tercipta dari kebencian umat manusia–"
"... Lalu dikehendaki oleh dewa, benar? Lantas apakah dewa kehidupan–yang memberi kehendak kepada seluruh makhluk hidup untuk memiliki nyawa di dunia ini yang menciptakan para Iblis? Bukankah gadis gereja sepertimu selalu percaya jika segala hal di dunia ini dikehendaki oleh dewa?"
Lidah Lilia seakan tergigit karena ucapannya, mulutnya tak bisa membantah apa yang dikatakan oleh gadis pengendali boneka itu, karena begitulah kebenarannya. Orang-orang gereja percaya jika segala hal di dunia ini–masa depan, takdir, kematian, musibah, rezeki dan semua kenikmatan maupun kepahitan dunia ini ada karena kehendak para Dewa.
Begitupula bagaimana mereka diciptakan dan dihidupkan, mereka percaya jika semua itu karena kehendak para Dewa. Tapi, apakah Iblis juga demikian? Para manusia diizinkan untuk menyembah semua Dewa yang menciptakan dunia ini selain Dewa yang mereka ciptakan sendiri.
Para Dewa yang menciptakan dunia ini, pula menciptakan makhluk hidup mereka. Lalu dapat bernyawa setelah dikehendaki dewa kehidupan. Manusia itu sendiri diciptakan oleh dewa kehidupan–Dewa yang dianggap lebih tinggi dari Dewa manapun.
Karena itu juga mereka merasa spesial.
Dewa hutan yang menciptakan bangsa Elf, Dewa bumi yang menciptakan bangsa Dwarf,
Dewa Kehidupan yang menciptakan manusia ... Tapi siapa yang menciptakan Iblis? Tak ada satupun nama Dewa–bahkan tak disebutkan secara langsung di dalam kitab mereka keberadaan Bangsa Iblis.
"Begitu ... Mereka tak menyembah dewa karena mereka tidak mengetahui dewa mereka, jadi begitu maksudnya."
Kata-kata itu baru Lilia sadari hari ini, kata-kata yang dikatakan sang Paus sebelum dirinya disembunyikan.
"Dengan kekuatan sihir sebesar ini dan bencana yang bisa mereka ciptakan, bagaimana bisa aku tidak menganggap jika mereka adalah Dewa?"
"Mereka? Kaisar juga!?"
"Fufufu ..."
Tawa kecil dengan raut wajah puas terlukis jelas pada wajah penyihir boneka itu. Dirinya kembali menatap langit dengan raut wajah takjub, seakan ia mendapatkan sesuatu yang berharga. Tidak, tentu saja begitu. Kekuatan sang Kaisar yang ia anggap sebagai kekuatan yang setara dengan dewa adalah informasi yang berharga dari tugas pengamatannya.
"Baiklah, sudah saatnya aku pergi. Kau ..." Bell melemparkan bola seukuran batu kerikil ke tanah, lalu dalam sekejap bola-bola itu mengeluarkan asap yang begitu pekat bersamaan dengan munculnya sosok jubah hitam dibaliknya. Sosok yang sama seperti yang ia hadapi di Kota Perdagangan "Bermainlah dengan mereka. Aku harus melaporkan semuanya."
"Sialan! Tunggu!"
Lilia berusaha menerjang, namun boneka-boneka itu mwnghalanginya.
"Sampai jumpa, Nona Kesatria. Kuharap kita bertemu kembali ... Lalu, kuharap kau bersabar untuk bertemu orang yang melukai orang tua angkatmu ..."
Lalu, dia menghilang bersama kilauan cahaya. Dibalik helm baja kesatria, wajah garang yang tak ingin di lihat siapapun terlukis dengan jelas sebagai bentuk kekesalan yang tak dapat dibendung. Sebab, kembali ia kehilangan jejak akan perempuan itu.
"Haaaaa!"
Lilia mengayunkan pedangnya, mulai menari ditengah boneka-boneka sihir yang mengepungnya.
"Aku bersumpah tidak akan melepaskannya lagi!"
Pertempuran masih berlanjut. Dua kekuatan besar memperebutkan dominasinya, meskipun dunia menjadi taruhan.
Di suatu tempat bagian timur benua, Bell meninggalkan kedua rekannya di neraka itu. meski terdengar kejam, tetapi jika terlambat sedikit saja ia tidak bisa menjamin dirinya bisa kembali.
Kakinya melangkah di dalam kegelapan, meski tak dapat melihat apapun tetapi kakinya seakan tahu kemana ia sedang berjalan. Hingga, kakinya berhenti begitu merasakan suatu penghalang di depannya. Bell menarik napasnya, memusatkan fokusnya ke telapak tangan kanannya, mengalirkan energi sihirnya.
"Serial kode, 08(=dibaca; Zero Eight), Magician Puppetter, Bell."
Dalam sekejap, aliran sihir itu mengalir dengan cepat ke seluruh penghalang bagaikan petir. Kemudian sebuah gerbang terbuka, dibaliknya terdapat cahaya yang amat terang dengan ruang megah.
Matanya tertuju
To be continue