Chapter 155 – penyesalan dan pertarungan dua pengguna tombak
Chapter 155 – penyesalan dan pertarungan dua pengguna tombak
Operasi sebelumnya yang dilakukan pelayan petarung yang terbilang sedikit sukses oleh markas pusat membuahkan hasil yang memuaskan untuk keesokan harinya.
Serangan kejutan dilakukan persekutan Kekaisaran di Hutan Sankta wilayah Kerajaan Hertia memaksa seluruh pasukan aliansi yang ada mundur kembali sampai ke kota, mereka kehilangan dua tank dan puluhan ribu pasukan mereka. Sedangkan persekutuan Kekaisaran juga kehilangan jumlah pasukan yang tak sedikit akibat pertempuran di Hutan Sankta.
Peperangan di Hutan Sankta dimenangkan oleh Kekaisaran, meski sebelumnya Kekaisaran sudah menguasai hutan Sankta, namun kini mereka sudah berani menguasai secara penuh hingga mampu menempatkan pasukan di mulut Hutan wilayah Hertia.
Meski demikian, mereka masih harus waspada kepada aliansi terlebih kepada Leo Malvier yang kala itu tak menunjukkan dirinya lagi
Markas pusat memutuskan untuk segera membangun pasukan kembali di perbatasan dan segera menghilangkan reruntuhan di dinding masuk perbatasan Kekaisaran-Hertia yang luluh lantah akibat proyektil Tank aliansi. Setelahnya, pasukan Kekaisaran terus bergerak ke depan–menerobos hutan dengan tujuan kota dekat hutan Sankta.
Pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Astaroth itu diperintahkan untuk menaklukkan kota itu dengan segera selama pasukan Aliansi masih sibuk berbenah kala kekalahan mereka sebelumnya.
Dikerahkannya sang Jenderal Iblis kavaleri juga sebagai bentuk kewaspadaan mereka terhadap Leo Malvier
Perubahan kekuatan fisik yang tak wajar, Void yang mendengar cerita singkat dari Scintia menyimpulkan bila Leo Malvier mengonsumsi obat atau sesuatu yang lain dari organisasi gelap, sama halnya seperti petinggi dari Abyc yang ia sudah lupa siapa namanya. Lalu tangannya yang kembali utuh juga ia yakin jika itu berasal dari organisasi misterius yang mengancam dunia ini.
Terbaring sang Kaisar di ranjang, ia meninggal ruang strategi bersama dengan para penguasa lainnya untuk beristirahat sejenak setelah mereka memberikan izin untuk melakukan serangan balik ke wilayah manusia.
Memejamkan matanya seraya menenangkan pikirannya dan menyingkirkan segala masalah yang di kepalanya untuk sejenak. Terasa begitu berat, sulit ia menentukan menghindari takdir yang mengekang dirinya.
Segala upaya telah ia lakukan, tetapi pada akhirnya semua tak bisa ia kendalikan lagi ketika peperangan pecah. Desa sang pahlawan bisa saja terbakar kapanpun, lalu sampai sekarang pun ia tak memiliki petunjuk dimana tepatnya letak desa tersebut, sebab di dalam game tak begitu jelas dimana letaknya. Mereka–yang membuat game itu hanya menunjukkan jika desa sang Pahlawan berada di wilayah Kerajaan Hertia, kemudian desa itu terbakar hangus oleh para Iblis.
Apakah karena ini alasannya desa sang Pahlawan hangus terbakar? Kapan? Lalu dimana tepatnya desa itu berada? Apakah aku bisa menyelamatkannya jika aku menemukan desa itu dalam keadaan utuh?
Benak Void terus mempertanyakan segala kemungkinan yang ia sendiri menganggapnya mustahil, karena sebagian dari hatinya telah menyerah akan takdir yang menghantuinya.
"Apakah mungkin ... Aku hancurkan saja desanya?"
Tentu itu adalah cara yang paling mudah untuk menghindar takdir, tapi apa berhasil? Batinnya kembali bertanya, otaknya kembali mengingatkannya alasan sang Pahlawan ingin mengincar kepalanya.
"Tidak ... Apa yang kupikirkan? Desanya terbakar saja dia sudah selamat. Apakah harus diledakkan? Bagaimana jika saat itu pahlawan sedang berada diluar desa ... Aaaaaaaaaagh!" Sang Kaisar mengacak-ngacak rambut dengan beban pikiran yang semakin membuatnya tidak waras "Developer sialan! Aku bersumpah tidak akan memaafkan mu!"
Dia berteriak dengan lantang, melemparkan topeng sang Kaisar agung dan kembali menggunakan sosok seorang pemuda 18 tahun yang tak sabaran. Namun tak lama suar ketukan pintu ia dengar, memaksa Void untuk mengambil topeng itu lagi bersama dengan batuk yang ia buat-buat.
"Siapa?" tanya Void.
"Saya, paduka." Seorang gadis dengan suara familiar terdengar di telinga Void, kemudian dirinya pun dipersilahkan masuk oleh sang Kaisar agung itu.
Suara derit pintu terdengar seraya menunjukkan sosok gadis dengan pakaian tempurnya, namun tak menggunakan topeng yang bisa melengkapi set kostumnya itu. Tanpa topeng, ekspresi gadis itu tampak sangat jelas. Dirinya begitu murung, bahkan meski ia mencoba untuk senyum di depan sang Kaisar tetapi itu hanya akan membuat ekspresinya menjadi pahit.
"Scintia ada apa?" tanya sang Kaisar seraya membuat dirinya terduduk diatas ranjang.
Dengan sedikit memalingkan wajahnya, Scintia menjawab "Tidak, saya hanya berpikir jika paduka membutuhkan saya." Mau bagaimana juga dia adalah pelayannya, sudah sewajarnya bila Scintia terus berada disamping sang Kaisar kapan pun dan dimana pun.
Void memahami maksud dan tujuannya "Begitu," ucapnya kemudian ia menyuruh Scintia untuk duduk di kursi meja rias.
Scintia menggelengkan kepalanya "Tidak, paduka. Saya adalah pelayan anda."
Namun sang Kaisar kembali berkata "Tidak apa-apa, duduk saja. Aku juga merasa tidak nyaman jika melihat mu terus berdiri disana." Dia memaksanya untuk mematuhi ucapannya.
Desakannya seolah menjadi perintah untuk Scintia, ia oun menundukkan kepalanya seraya berkata "Baiklah, jika itu yang anda inginkan," kemudian dirinya berjalan mendekati kursi dekat meja rias dan duduk diatasnya.
Gadis itu terdiam sembari terus memandangi tuannya, raut wajah yang ia buat terlihat biasa saja untuk sesaat namun mata Void menangkap kegelisahan yang terlukis di wajahnya.
"Scintia, kamu baik-baik saja?" tanya Void langsung kepadanya, menunjukkan sikap tak biasa yang biasanya akan mencari topik yang lain untuk berbicara.
Scintia menggelengkan kepalanya, kemudian berkata "Ti--tidak, paduka. Saya baik-baik saja."
Void mengerutkan keningnya, lalu ia berdiri seraya mendekati Scintia dengan raut wajah kebingungan. Degup jantung Scintia berdebar lebih cepat dari biasanya begitu dirinya melihat sang Kaisar perlahan mendekat, ia reflek langsung berdiri dan entah kenapa kakinya memaksa ia melangkah mundur. Namun dibelakangnya adalah meja rias hingga menjadikan tempat itu sebagai jalan buntu untuk Scintia.
Berdiri di depannya, sang Kaisar terus menatapnya sambil terdiam. Semakin terheran dirinya melihat Scintia yang malu-malu di depan, karena biasanya Void selalu melihat Scintia yang tak tahu malu jika sedang berdua bersamanya.
"Scintia, apa ada yang sedang kau pikirkan?" tanya Void.
Scintia menjawab dengan wajah terpaling "Ti--tidak paduka, saya tidak sedang memikirkan apa-apa." Sambil berbicara begitu, ia terus merapatkan tubuhnya mendekati meja rias.
"Lalu kenapa kau menjauh?
"Ti--tidak, saya tidak begitu."
"Apakah kau masih merasa bersalah karena kegagalan mu sebelumnya?"
Scintia tersentak, reaksinya memberikan jawaban yang sangat jelas kepada sang Kaisar. Dirinya hanya terdiam tak berkata-kata, menunduk dalam diam dan raut wajah bersalah serta gelisahnya semakin jelas terlukis di wajahnya.
Void menghela napasnya, ia kemudian sedikit menjauh sambil berkata "Sudah kubilang untuk tidaj memikirkannya, kan? Tuan Riedle dan Ratu Sylvia juga sama sekali tidak mempermasalahkannya. Lalu berkat usaha kalian juga, pertempuran kemarin kita menang dan bisa menguasai hutan Sankta dengan total, jadi jangan terlalu dipikirkan, ya?"
Sekali lagi sang Kaisar memaklumi tindakannya, tetapi kebanggaannya tidak "Meski begitu saya sudah mengecewakan anda, seharusnya saya bisa melakukan sesuatu yang lebih baik lagi!" Scintia membantah ucapannya seraya mengangkat wajahnya dan tepat menatap sang Kaisar dengan ekspresi kesal dan sesal.
Emosinya meluap-luap, ia kembali menunduk dengan kedua tangannya yang mengepal dengan keras. Void terkekeh singkat, kemudian perlahan menyentuh kepalanya dan mengusapnya sebagaimana ia biasa mengusap kepala gadis ajinnya.
Emosinya seketika tertahan, hanya meninggalkan rasa sesal disertai rasa malu kala ia sadar telah kehilangan kendali atas emosinya.
"Tenanglah, Scintia. Aku sudah bilang aku tidak marah kepadamu, kalian kembali dengan selamat pun aku sudah sangat senang, terlebih kalian bisa memberi ku informasi tentang perubahan Leo Malvier itu, benar?"
"Tapi ..."
"Tapi, aku ingin kalian tetap mengambil pelajaran dari operasi kalian sebelumnya. Kau mengerti apa yang ku katakan, bukan? Tetapi walau begitu aku tetap ingin kau menjaga semua keselamatan semua unit mu, mengerti?"
Kepala gadis itu terus ia usap dengan lembut hingga dirinya tertunduk, terdiam tak berkata disertai emosinya yang semakin terus terkuras di dalam dirinya. Kemudian matanya perlahan terpejam, dirinya perlahan menikmati usapan lembut dari tangan kasar sang Kaisar, terasa hangat hingga membuatnya sangat nyaman.
"Masih ada yang mengganjal di dalam dirimu, kan, Scintia? Apa kau mau mengatakannya?"
Mata Scintia terbuka seketika seolah ia benar-benar terkejut, tetapi ia merasa tak heran karena ia tahu jika tak ada yang bisa ia sembunyikan dari sang Kaisar.
Dengan kepala tertunduk, Scintia pun berbicara "Maaf, paduka. Sebenarnya saya tidak fokus karena ... Perihal Mona ... Saya masih belum bisa melupakannya. Amarah dan rasa kecewa begitu saya rasakan, tetapi saya juga masih tidak menyangka jika Mona benar-benar berkhianat."
Gadis itu adalah ketua pasukan pelayan petarung, ada rasa tanggung jawab yang ia rasakan bila sesuatu terjadi kepada anggotanya seperti halnya kesalahan atau kegagalan yang mereka dapatkan ketika menjalankan misi. Lalu pengkhianatan juga tak luput dari tanggung jawabnya. Seandainya saja ia bukan seorang pelayan pribadi sang Kaisar, ia tidak akan pernah berani menunjukkan wajahnya lagi dihadapan sang Kaisar.
Void terdiam cukup lama setelah mendengarkan ucapannya seolah itu menjadi alasan kegagalan mereka dalam operasi malam kemarin. Rasa bersalah pula terlukis sesaat di wajahnya, sebab ia yang tahu sejak awal jika Mona berkhianat.
Void sudah menandai sosok berjubah hitam yang menculik Roxine pada hari dimana Roxine dibawa ke Istana, titik merah pada peta itu selalu muncul dimana Mona berada dan ikut bergerak dikala Mona bergerak dan membuktikan dengan jelas jika Mona memiliki persengkokolan dengan para penjual budak di Kekaisaran.
Void menarik tangan yang mengusap kepala Scintia, memegang dagunya dengan tangan itu seolah ia sedang berpikir dengan sangat dalam.
"Kau ingat? Akhir-akhir ini banyak sekali yang berkhianat, bukan? Apakah menurutmu itu wajar?"
"Eh?"
"Jenderal Uridonia, Pangeran Raudels, Lucifer, Mona dan terakhir adalah seorang prajurit dari kesatria suci yang waktu itu menangkis serangan Lilia. Mereka mengkhianati apa yang seharusnya mereka ikuti dan percayai, mereka dengan berani mengangkat pedang mereka kepada orang-orang itu dan meninggalkannya begitu saja tanpa ada alasan khusus. Tetapi, apa kamu ingat dengan kasus pangeran Raudels? Apa yang dikatakan peneliti kita?"
Scintia terdiam sesaat seraya memalingkan wajahnya, ia kembali mengingat-ingat akan hasil penelitian yang terjadi kepada Pangeran Raudels.
"Kalau tidak salah mereka berkata ada sihir kecil yang mempengaruhi otaknya dan kemungkinan itu juga merubah sikap dan perilaku pangeran, benar?"
Void mengangguk dengan senyumannya "Benar, meskipun aku tidak yakin karena Lucifer juga Mona berasal dari ras yang sama, tetapi aku juga ingin mendengar alasan mereka. Karena itu kita tidak bisa membunuh mereka, sama halnya alasan ku tidak membunuh pangeran Raudels. Ingatan pangeran itu masih kabur hingga sekarang, entah dia berpura-pura atau tidak tapi aku ingin menunggunya hingga dia mengatakan apa yang dia ingat ..."
Mata Scintia membulat sempurna mendengar ucapan sang Kaisar, seakan tak percaya hingga ia bertanya "Paduka ... Apa itu berarti anda ..."
"Ya, aku tidak akan langsung membunuh mereka. Mau bagaimana juga kita kesulitan mendapatkan informasi tentang organisasi misterius, bisa saja jika kitamenangkap dua pengkhianat itu, kita bisa mendapatkan banyak informasi dari mereka, benar?"
Senyuman tipis itu ia lihat, menghilangkan apa yang terus membebani hatinya sejak pertama kali ia melihat Mona melukai sang Paus. Air matanya ingin menetes, namun entah kenapa ia tidak bisa mengeluarkannya. Senyuman terbentang dengan luas di wajahnya, menunjukkan betapa bahagianya Scintia.
"Saya tahu, anda benar-benar baik hati meski itu juga berlaku kepada manusia sekalipun,x" ucapnya kemudian tertawa pelan.
Void juga tertawa pelan mendengarnya "Begitu?" ucapnya seakan kebingungan, tawa pelayannya membuat hati Void merasa jauh lebih tenang, meskipun ia tidak yakin dengan semua ucapannya.
Beberapa jam kemudian, 20.000 pasukan persekutuan Kekaisaran yang dipimpin oleh Jenderal Astaroth pun secara serentak bergerak menuju kota. Tujuan mereka adalah penaklukan kota yang ada di dekat mulut hutan.
Segalanya telah dipersiapkan dengan matang, logistik dan bala bantuan di dekat mulut hutan juga sudah bersiap apabila pasukan Astaroth mengalami kesulitan dalam penaklukkan kota.
**
"Jenderal Astaroth ... Ya, apa menurutmu orang bernama Leo itu bisa menghadapinya?"
Mereka berempat berdiri dibalik awan, mengawasi jalannya pertarungan yang kemungkinan akan menjadi titik penentu untuk jalannya pertempuran mereka.
"Entahlah, Bell. Astaroth memiliki kemampuan yang tidak bisa diremehkan, dia adalah salah satu prajurit yang selamat dari pengepungan pasukan aliansi suci 500 tahun yang lalu. Aku tidak bisa berkata jika dia akan mudah dikalahkan," ucap Lucifer kepada rekannya.
"Kalau begitu bagaimana jika kau membuat bawahan mu itu turun tangan? Gadisku juga sudah turun bersama pasukan suci lainnya," tanya Bell seakan mendesak Lucifer.
Lucifer tertawa dengan keras menanggapi ucapannya, kemudia ia menjawab dengan tegas "Tidak, dia akan memiliki panggungnya sendiri, tapi bukan saat ini." Lucifer berbicara seraya menoleh kebelakang, melihat sosok gadis berjubah coklat dengan topeng khas pasukan pelayan petarung.
**
Di dalam markas pusat, tiba-tiba Tenerbis mendapatkan sebuah surat [Message] dari garis depan arena pertempuran wilayah Hertia, kemudian dengan segera melaporkannya kepada Void juga penguasa lainnya.
"Paduka, saya mendapat laporan dari garis depan jika mereka melihat sekelompok pasukan suci yang sudah berbaris di dekat gerbang kota."
Mereka terkejut mendengar laporan itu, Void dan sang Ratu Elf saling menatap sedangkan Tuan Riedle bertanya-tanya akan maksud situasi tak terduga itu.
"Ratu Sylvia, bukankah anda berkata jika Holy Civitas tidak mungkin ikut berperang?"
Begitulah yang Riedle tahu, sebab ia telah mendengar akan dugaan sang Paus dan niat baiknya untuk mencegah kehancuran dunia meski itu meminta bantuan sekutu Iblis sekalipun.
Namun dengan sedikit kebingungan Void memberikan dugaan "Tidak, mereka kemungkinan tetap ikut berperang tetapi komando pasukan suci tidak lagi berada di tangan Tuan Neil'o ataupun sang Paus. Seperti yang kami ceritakan jika ada prajurit suci yang berkhianat, tapi saya tidak menjamin jika hanya satu prajurit saja yang berkhianat. Meski begitu seharusnya tidak mungkin sekelompok prajurit memberontak kepada gereja, jadi mungkin ..."
"Seorang pemimpin gereja yang baru ada kemungkinan memerintahkan mereka untuk maju ke medan perang," ucapan Void dipotong dengan begitu rapih dan dijawab dengan tepat sasaran oleh sang Ratu Elf.
Void memberikan anggukan tanda ia sepakat dengan ucapannya "Paus seharusnya sedang bersembunyi di suatu tepat bersama pengawalnya Tuan Neil'o, jadi untuk sementara dia tidak mungkin berasa di gereja pusat karena Tuan Neil'o juga sadar ada pengkhianat di dalam Gereja Pusat. Ya daripada itu sebaiknya kita kesampingkan untuk sementara dan fokus kepada pertarungan hari ini." Dia menuturkan segalanya hingga pemimpin Dwarf memahami ucapanya, kepalanya kembali menoleh kepada Tenerbis dan bertanya "Apakah kau memiliki rencana lain untuk menghadapi mereka?"
Tenerbis menggelengkan kepalanya "Tidak paduka," kemudian ia kembali berkata menuturkan alasannya "Karena pada akhirnya pasukan suci pasti akan bergabung dengan pasukan utama musuh. Izinkan saya menjelaskan kembali kepada anda. Saat serangan pertama, pasukan Jenderal Astaroth akan menembakkan gungnir mereka ke bagian atas tembok kota untuk sebisa mungkin menghancurkan para pemanah dan penyihir musuh, disaat yang sama pasukan Jenderal Astaroth akan maju kedepan dan memancing mereka keluar nanti pasukan pemananah atau serangan jarak jauh akan membantu mereka. Setelah semuanya terpancing, pasukan penerbang kita akan datang bersamaan dari arah utara dan selatan kota serta menurunkan kotak-kotak prajurit yang mereka bawa dan mendaratkannya ke dalam kota, kemungkinan operasi itu aman karena pasukan musuh sedang berfokus pada pertempuran di timur. Setidaknya begitu rencana saya untuk menguasai kota dengan cepat."
Ratu Sylvia bertanya "Tapi bagaimana dengan pertahanan udara musuh di selatan dan utara? Bukankah mereka akan sangat berbahaya bagi pasukan udara Kekaisaran?"
Tenerbis sekali lagi menggelengkan kepalanya "Tidak," ucapnya "Kemungkinan mereka akan segera pergi ke bagian timur kota untuk memperbaiki pertahanan udara musuh yang kita hancurkan."
"Dengan kata lain kita hanya mengalihkan perhatian pasukan pertahanan udara musuh?" sahur Riedle seraya bertanya.
Tenerbis mengangguk pelan "Benar. Jumlah pasukan musuh seharusnya sudah berkurang dan pertahanan mereka juga seharusnya tidak bisa pulih dalam satu hari. Karena itu mengandalkan kondisi ini, saya bisa menjamin jika pasukan kita dapat menguasai kota dengan mudah."
Lalu begitulah yang terjadi, segala ucapan Tenerbis menjadi kenyataan. Pasukan Astaroth yang maju ke depan secara perlahan mundur kebelakang seraya menahan semua serangan mereka dengan bantuan para pemanah juga penyihir dari jarak jauh. Ketika mencapai jarak yang ditentukan, pasukan penunggang naga berdatangan membawa 4 kotak besar yang tiap kotaknya diangkut oleh 4 naga.
Pasukan pertahanan musuh menyadari kedatangan naga-naga itu tetapi mereka terlambat, pasukan itu sudah menerobos melewati di ding kota dan menaruh kotak-kotak itu diberbagai tempat kemudian mereka memberikan sentuhan terakhir dengan membakar pasukan yang ada diatas dinding kemudian kembali terbang ke wilayah Kekaisaran.
Dikala melihat naga-naga mereka pergi, Astaroth segera memerintahkan semua pasukannya untuk maju dan menghabisi semua musuh yang ada didepan, terus menerobos hingga mencapai kota.
Semangat pasukan Kekaisaran yang tiba-tiba meledak membuat pasukan aliansi kerepotan bukan main, mereka perlahan mundur hingga mencapai dinding kota dan kemudian sosok itu muncul ...
"Ghaaaaaaa!"
Pasukan Kekaisaran terpental ke langit akibat serangan seseorang, dia adalah orang yang sama yang membuat pasukan pelayan petarung terdesak.
Leo mengayunkan tombaknya dengan cepat disertai sorot mata yang tajam, ayunan tombaknya membuat pasukan yang ada di depan terpental hingga membuat jarak diantara pasukan aliansi dan Kekaisaran. Ia mengulurkan tangannya ke depan "Serang." Dengan satu kata keluar dari mulutnya, pasukan aliansi terlalap oleh api semangat dan langsung menerjang pasukan Kekaisaran.
Leo juga ikut menerjang bersama mereka, namun dalam sekejap langkahnya terhenti. Matanya melirik kesana kemari dan ...
"Ghh!"
Dirinya kini terpental karena serangan tiba-tiba seorang prajurit Kekaisaran bertombak yang entah datang darimana. Dia adalah Astaroth, dirinya tak bisa lagi tinggal diam setelah melihat sosok yang diwaspadai markas pusat. Berdiri dengan angkuh, seakan memberikan tatapan yang begitu merendahkan Leo dari balik helmnya hingga memancing murka kapten pasukan divisi pertama Hertia itu.
"Ghaaaaaa!"
Bersamaan dengan teriakannya, dia menerjang dengan cepat dan kemudian mengayunkan tombak kerucutnya itu dengan cepat, namun dengan mudahnya serangan Leo ditangkis.
"Grrrr ..."
Leo menarik tombaknya, kemudian ia berkali-kali mengayunkan tombak serta memberikan tusukan bertubi-tubi. Namun Astaroth memutar-mutar tombak dengan lihai, melompat kesana kemari, memberikan gerakan yang indah dengan hasil serangan Leo tak ada satupun yang menggores zirahnya.
Void beserta penguasa lainnya juga mereka yang mengamati pertarungan langsung menatap takjub melihat layar pertempuran yang diambil dari atas langit.
"Apa ini ... Kekuatan Tuan Astaroth?" tanya Scintia takjub.
Void langsung membalas seakan ia tahu "Tidak, dia masih bermain-main. Dia hanya sedang mempelajari musuhnya, gerakannya yang terus menghindar membuatnya seolah sedang mengulur waktu."
Astaroth kemudian melompat mundur seakan memberikan jarak antara dia dan juga Leo. Kemudian ia hanya berdiri dengan tombaknya sembari terus menatapi Leo yang tampak sangat marah disertai giginya yang menggertak amat sangat kuat.
Tiba-tiba Astaroth berkata "Begitu ... Benar seperti yang dikatakan Nona Scintia, kekuatan dan kecepatan mu tidak wajar. Walau begitu aku akui jika teknik tombak mu cukup hebat."
"Aku akan membunuhmu! Aku akan membunuh mu! Aku akan membunuhmu!" teriak Leo dengan lantang, meluapkan segala kebencian yang tak bisa lagi ia bendung hingga membuat rupanya menjadi sangat marah dan perlahan kulitnya berubah menjadi warna merah.
"Hmm?"
Astaroth bingung dengan sendirinya, ia bisa merasakan kekuatan yang tumbuh di dalam diri Leo secara tidak wajar, begitu cepat pertumbuhannya hingga membuat Astaroth menajamkan matanya dari balik helm baja miliknya.
Void dan Scintia pula terkejut dengan perubahan kulit Leo, perubahan warna kulit yang sama dan juga penumbuhan otot yang tak stabil hingga membuatnya benar-benar berbeda.
"Paduka ..."
"Ya ... Lelaki itu sudah mengonsumsi obat-obatan dari organisasi gelap itu ... Jadi benar, jika Kerajaan manusia sudah ada yang berkomplotan dengan mereka."
Di medan perang yang semakin kacau, fisik Leo berubah drastis dan kekuatannya juga meningkat dengan tajam. Astaroth yang melihat dengan mata juga kepalanya sendiri hanya bisa menghela napas seraya menguatkan kuda-kudanya.
"Bagus ... Sekarang akan makin seru."
Dia menyeringai dibalik helm baja, menikmati pertarungannya dengan pengguna tombak terbaik di wilayah Hertia.
To be continue