Chapter 129 - Perasaan yang terlarang
Chapter 129 - Perasaan yang terlarang
"Evakuasi penduduk! Fokuskan tujuan dengan amankan semua penduduk kota! Setelahnya kita akan urus mereka semua!"
"Baik!"
Pasukan suci yang masih menetap disana langsung menyebar dibawah perintah pemimpin mereka. Mereka dengan pasukan kecil bergerak dengan cepat, terkadang juga mereka menjadi benteng pertahanan untuk pasukan penjaga kota yang tengah berusaha keras membawa serta membawa para penduduk ke berbagai kota terdekat dan juga melintasi perbatasan.
Namun, meski ada bantuan dari prajurit tetapi para pedagang yang tidak siap untuk dievakuasi hanya memiliki satu pilihan yaitu membawa sedikit uang dan meninggalkan semua dagangan mereka.
Meski demikian hal itu tak berlaku untuk mereka.
"Paduka, apa yang harus kita lakukan?"
Edward hanya terdiam seraya melihat dari balik jendela lantai dua; menatap kobaran api yang semakin membesar yang melalap seluruh toko di sebrang mereka. Ia juga sama halnya seperti pedagang lain, tak memiliki pilihan dan berpikir panjang, akan tetapi pilihan yang ia miliki berbeda dengan mereka.
Suasana yang harmonis serta damai di pagi hari itu dalam sekejap berubah menjadi mimpi buruk untuk mereka semua.
Beberapa jam yang lalu tidaklah demikian, seluruh penduduk masih menyungingkan senyumannya serta melakukan aktivitas seperti biasanya. Sedangkan para pasukan suci yang masih harus beristirahat pasca pemurnian yang memakan begitu banyak energi sihir para pendeta yang mereka bawa dari gereja pusat, namun menjadi pengecualian untuk Lilia. Sebab, dirinya memiliki energi sihir cahaya yang jauh lebih banyak dibandingkan para pendeta lainnya.
Meski sehat secara fisik tetapi tidak mentalnya, setidaknya itu yang Vienna katakan kepada dirinya sendiri kala melihat sahabatnya tengah terduduk di meja di ruangannya sembari terus menatap boneka beruang yang ia sendiri tak tahu darimana dia mendapatkannya.
"Lilia, kamu baik-baik saja? Sedari tadi wajah mu merona dan terkadang tersenyum sendiri seperti orang tak waras, sungguh aku jadi khawatir kepada mu," ucap Vienna dengan raut wajah cemas.
Tersentak gadis itu hingga langsung menoleh; menunjukkan jelas kedua pipinya yang merona padam.
"Eh? A--ah aku baik-baik saja, tidak perlu khawatir," bantah Lilia seraya tersenyum canggung seakan sedang menutupi sesuatu dari Vienna.
Menatap penuh curiga untuk sesaat hingga sorot mata teralih kepada boneka beruang yang terduduk manis diatas meja. Dengan sigap Lilia meraih boneka itu dan menyembunyikan boneka beruang itu di belakang tubuhnya seakan mencoba terang-terangan bila dirinya menyembunyikan sesuatu dari gadis tinggi bermabut coklat itu.
Gerak gerik yang begitu mencurigakan hingga menyipitkan mata Vienna, ia mendekatinya tanpa berkata-kata. Terus mendekat hingga Lilia merasa takut untuk beberapa saat hingga dirinya berdiri dan langsung melangkah mundur; menjauh dari sahabatnya hingga meninggalkan nilai yang semakin mencurigakan di mata Vienna.
"Perlihatkan padaku," ucap Vienna seraya menadahkan sebelah tangannya dengan ekspresi begitu serius.
"A--apanya?" tanya Lilia bagai orang bodoh, atau tepatnya ia berpura-pura tak tahu akanmaksud pertanyaannya.
Kedua tangannya menyilang di depan tubuh dengan mata yang masih menaruh segala kecurigaannya kepada gadis berambut pirang dihadapannya
"Kemarin kamu datang sangat terlambat, setelah menyerahkan makanan ku kamu langsung berlari ke kamar dan mengunci diri sampai hampir melewatkan makan malam. Jadi apa yang terjadi kepada mu sebenarnya? Apakah terjadi sesuatu selama kamu di kota?"
Wajahnya langsung memaling tanpa berkata-kata; menolak untuk menjawab segala pertanyaan Vienna. Reaksi menjengkelkan yang ia lihat hingga membuat helaan napas lelah menghembus perlahan keluar dari mulutnya.
Namun ia tak kehabisan akal untuk menghadapi sikap Lilia yang tiba-tiba menjadi aneh itu, seringai penuh kengeriannya meninggalkan jejak pertanda buruk bagi Lilia hingga terperanjat dirinya sesaat.
"Lilia, kondisi mu yang seperti ini nantinya akan mempengaruhi yang lain, loh? Bagaimana jika nanti akan mempengaruhi saat kamu memberi perintah? Bukannya itu gawat?"
Sekali lagi gadis itu membujuk Lilia untuk berbicara, meski Lilia masih memalingkan sedikit wajahnya dengan kedua telinga serta pipinya yang memerah bagaikan buah apel.
"Kalau begitu akan ku beritahu papa kalau kamu bersikap aneh."
"Eh!?"
Itulah senjata rahasiannya, tidak lain tidak bukan adalah aduan kepada seseorang yang mereka anggap seperti ayah sendiri karena sejak kecil sudah bersamanya. Meski begitu, tidak hanya mereka berdua yang menganggap orang itu sebagai orang tua mereka. Beberapa anak-anak yang diadopsi oleh gereja juga menganggapnya demikian, lelaki yang mereka sebut papa itu adalah seorang kepala gereja pusat atau tepatnya seorang paus yang memimpin gereja.
Tersentak Lilia mendengar ancaman yang begitu tidak adil baginya.
"Ja--jangan! Nanti papa akan menceramahi ku lagi ... Terlebih aku juga tidak mau papa atau siapapun tahu soal ini!"
"Meski itu diriku?"
Terbungkam mulut Lilia setelahnya, ia menunduk dengan ekspresi kebingungan.
Terkejut sesaat Vienna mendengar tutur kata yang begitu halus dan cangging dari gandis itu, kemudian dirinya terduduk di atas ranjang gadis itu dan kembali berbicara.
"Lilia, katakan saja. Aku berjanji tidak akan mengatakannya kepada siapapun, kau juga mengenal ku, kan?"
Kembali membujuk Lilia dengan ucapan pelan serta senyuman tipis. Senyuman yang begitu pantas di wajah gadis itu, Lilia terdiam cukup lama sembari tertunduk hingga akhirnya kepalanya terangkat penuh dengan sorot mata yang masih penuh akan keraguan.
"Kalau begitu berjanjilah."
"Um!"
Vienna mengangguk dengan mantap sebagai balasan dari titah sang pemimpin kesatria suci itu.
"Bersumpahlah kalau kau tidak akan berkata kepada siapapun, atas nama dewa!"
"E--eh ...."
Titahnya semakin kuat, sangat kuat ketika Lilia mengatakannya dengan ekspresi serius serta suara yang lugas. Vienna kembali menghela napasnya perlahan, kemudian kembali memperbaiki senyuman tipisnya dan berkata.
"Tenang saja, Lilia. Aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun, aku bersumpah kepada dewa."
Ucapannya lembut, namu
n keseriusannya amat kuat hingga berhasil merebut kepercayaan Lilia. Tertunduk untuk sesaat dan mengambil napas panjang seakan tengah bersiap menghadapi sesuatu yang begitu sulit untuknya.
Kemudian semuanya ia katakan, semuanya tentang mulai dari pertama ia bertemu dengan sosok lelaki berambut perak bernama Edward hingga perjalanan mereka di pasar besar dan alasan kenapa ia kembali membawa boneka beruang dengan sikap canggung.
Mata Vienna membulat sempurna, mulutnya ternganga saking tak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut seorang kesatria yang begitu hebat dan di segani oleh umat manusia. Bahkan bila dirinya berada di dalam zirah, Lilia bisa menarik hati perempuan-perempuan lain.
"Setiap aku memikirkannya, dada ku terasa sesak, tetapi disaat yang sama juga aku merasa senang ... Lalu boneka ini ... Setiap kali aku melihatnya ... Aku ... Uuuu!"
Lilia tak sanggup untuk berbicara lagi hingga ia menyembunyikan semua bagian wajahnya dengan boneka beruang pemberian seorang lelaki bernama Edward.
Dalam dekapan boneka itu dirinya bicara "Hey, katakan sesuatu ...," hingga mengakhiri lamunan Vienna.
"Ah ... Maaf, aku sedikit terkejut ...," ucap Vienna kemudian kembali terdiam seraya memalingkan wajah yang ikut merona setelah mendengar kisah manis pemimpin pasukan suci itu.
"Aku tau ... Aku sadar apa arti perasaan ku ini ... Tetapi, Vi ... Aku tidak ingin melanggar aturan gereja," tutur Lilia terdengar sedih.
Gadis itu terjebak dalam kebingungan hingga tak bisa memilih salah satu jawaban yang sangat bertentangan dengan jawaban lainnya. Sebagai seorang biarawati dan juga seorang pemimpin kesatria suci, ia seharusnya tahu apa yang paling ia prioritaskan, terlebih ia sadar bila itu sangat bertentangan dengan apa yang ia prioritaska. Tetapi keegoisan akan perasannya terus menentang dan membuatnya terjebak hingga sulit membuat keputusan, akhirnya ia hanya bisa terdiam tanpa berkata-kata.
Vienna terkekeh singkat mendengar ucapannya, kemudian mengelus perlahan kepala gadis itu meski ia tampak dihiraukan "Astaga, kenapa pemimpin ku jadi lucu sekali," ucapnya sembari tertawa pelan, memberikan tatapan hangat kepada gadis yang baru merasakan apa yang namanya jatuh cinta, kemudian ia kembali berbicara "Umm ... Ya aku mengerti maksud perkataan mu, meski aku belum pernah merasakannya sih. Tapi, menurutku itu bukan sesuatu yang aneh untuk dirasakan. Mau bagaimana juga kamu adalah manusia, kamu memiliki perasaan untuk tertarik kepada seorang lelaki. Tetapi, kamu harus bisa untuk memikirkan posisi mu sekarang. Kami juga sadar akan hal itu, kan?"
Lilia hanya mengangguk perlahan sebagai responnya, terus tertunduk dan masih tak berkata apa-apa.
Vienna kembali berbicara "Aku mungkin tidak bisa memberikan saran yang terbaik. Tapi ada baiknya kamu membuang perasaan itu, bagaimana?"
Tersentak Lilia mendengarnya, kepalanya terangkat disertai ekspresi yang begitu terkejut seakan dan disusul raut wajah murung seakan menambah kegelisahannya.
Tawa pelan Vienna melihatnya "Astaga ... Siapa sangka sosok yang pemimpin pasukan suci bisa jatuh cinta ... Kalau begitu kamu tidak memiliki pilihan lain selain menerimanya, lalu selanjutnya kamu usahakan untuk tidak melibatkan perasaan mu saat bekerja, mengerti?"
"Tidak melibatkan ... Perasaan?" tanya Lilia bingung.
"Benar, kamu bisa ... Seharusnya kamu bisa melakukan hal seperti itu, kan? Seperti sama halnya kamu menyamarkan identitas mu sebagai pemimpin kesatria suci, benar?" ucap Vienna.
Wajah resahnya dalam sekejap berubah drastis, perlahan tampak bercahaya ekspresinya hingga menunjukkan harapan yang begitu besar kepada perasaannya.
"Tapi apa tidak masalah jika aku menerima perasaan ini?" tanya Lilia lagi yang tertinggal dari perasaan ragu yang perlahan lenyap.
Dengan percaya diri, Vienna mengangguk dan berkata "Tidak apa-apa. Peraturan di gereja hanya melarang kita untuk tidak memiliki hubungan spesial dengan laki-laki, kan? Artinya sama sekali tidak salah jika dirimu menerima perasaan itu selama kamu tidak mengatakannya kepada siapapun bahkan kepada lelaki yang bernama ... Uhh ... Reward?"
"Edward!" koreksi Lilia dengan tegas.
"Ah benar, dia. Jadi selama kamu menyimpan sendiri itu tidak masalah, tapi yang jadi masalah adalah jika kamu tidak bisa menyimpan perasaan itu lebih lama lagi dan ingin memberitahukannya kepada lelaki itu ... Karena itu pesan ku hanya satu, berhati-hatilah, ya?" lanjut Vienna seraya kembali mengelus kepala gadis itu perlahan.
Raut wajah Lilia semakin bersinar, keraguan itu sepenuhnya lenyap dari hatinya. Dirinya tak lagi menyangkal akan perasaannya yang sesungguhnya, bila dirinya telah jatuh cinta pada pandangan pertama kepada lelaki yang belum lama di temuinya.
"Viii!" Lilia menyingkat nama sahabatnya seraya melompat dengan perasaan bahagia dan mendekapnya dengan begitu erat "Terima kaish," utasnya.
Vienna yang tak sanggup menahan beban tubuhnya akhirnya dipaksa terbarung di ranjang dan kembali mengusap kepala gadis itu.
"Ahahaha ... Menyenangkan ya bisa merasakan jatuh cinta ... Tapi bagaimana bisa dirimu jatuh cinta dengan laki-laki yang belum laam kamu kenal?" tanya Vienna, lalu dalam sekejap Lilia terdiam dan tak bergerak seolah-olah tengah tertidur "Lilia?"
" ... Mannya."
"Hah?"
Ia langsung mengangkat wajah dengan cepat disertai wajahnya yang memerah bak sebuah apel yang manis, semanis perasaan yang Lilia rasakan sekarang.
"Aku bilang senyumannya, duh!"
Begitu ucapnya membuat Vienna terkejut dan kembali tak percaya.
"Saat itu ketika kita pertama kali tiba di kota ini dan kita berpencar untuk sekalian berpatroli, kan?"
"Benar, terus?"
"Saat itu aku bertemu dengannya. Dia memiliki toko, gaya bicaranya terdengar konyol tetapi saat dia tersenyum, wajahnya menjadi sangat lembut dan aku ... Uuu!"
Ia kembali membenamkan wajahnya diatas dada Vienna dengan rasa malu yang tak dapat lagi ia tahan. Kejujuran yang amat manis Vienna dengar hingga dirinya tak bisa menahan tawa karena pertemuan yang begitu senderhana hingga membuat sang pemimpin pasukan suci jatuh cinta.
"Ahahaha ah begitu rupanya ... Ah, benar aku mendengar dari prajurit yang mengikutimu jika saat itu kami sempat terdiam cukup lama di depan toko yang baru di buka, apa mungkin itu ..."
Belum selesai Vienna berbicara, Lilia langsung menganggukkan kepalanya perlahan tanda ia mengakuinya. Pengakuan yang begitu jujur itu membuat Vienna tak bisa lagi berkata apa-apa, ia hanya terdiam seraya tertawa pelan sembari terus mengelus kepalanya perlahan.
Hingga tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Karena tak Lilia tak bisa bisa membalas sebab sedang berhadapan dengan rasa malunya, Vienna pun menanyakannya.
"Siapa?"
"Anda ... Nona Vienna?"
"Benar, ada apa?"
"Apakah ketua Niel ada di dalam? Saya membawakan berita darurat dari tim di kota lain!"
Dalam sekejap Lilia langsung menyingkir dari atas tubuh Vienna dan bergegas langsung membuka pintu hingga nampak sesosok prajurit berzirah putih yang langsung berlutut kala pintu terbuka.
"Ada apa?" tanya Vienna.
"Ketua, baru saja seekor merpati pembawa pesan datang ke gereja dengan membawa pesan dari tim yang bertugas di salah satu kota di Meridonialis," ucapnya kemudian mengeluarkan sebuah gulungan kertas kecil dari burung merpati yang prajurit itu maksud "Saya tidak bisa berbicara lebih lanjut karena saya belum tahu isinya, tolong anda baca surat ini."
Lilia langsung mengambilnya dan menbuka gulungan kertas itu secara cepat. Tampak beberapa kalimat kecil yang tertulis di kertas itu, meski demikian Lilia masih mampu membacanya.
"Apa!?"
Lilia tersentak setelah membaca isi surat itu, suaranya keras hingga membuat Vienna langsung mendekatinya dari belakang.
"Ada apa? Lilia?" tanya Vienna disertai ekspresi bingung.
Lilia langsung berbalik dengan wajah yang begitu terkejut serta panik "Gawat! Kota Meridonialis diserang pasukan asing! Pasukan kita yang ada disana sedang mengevakuasi penduduk."
"Apa!? Siapa yang menyerang mereka? Pasukan mana? Apakah Abyc?" tanya Vienna yang ikutan panik setelah mendengar berita itu.
Namun dengan sedikit tenang Lilia menjawab disertai gelengan kepala "Tidak, mereka berkata jika pasukan itu tidak tergabung dalam pasukan kerajaan manapun. Ada kemungkinan mereka tentara bayaran."
Tentara bayaran, seperti namanya, mereka adalah sekelompok orang yang bekerja di medan perang untuk sebuah uang. Mereka tidak terikat dengan kerajaan atau negeri mana pun, mereka bergerak secara terorganisir dengan jumlah yang dikatakan sangat banyak dan memiliki banyak markas rahasia di berbagai wilayah.
Dugaan Lilia tak bisa disangkal Vienna, hingga akhirnya mereka menduga demikian jika penyerangan itu dilakukan oleh sekelompok tentara bayaran.
"Kalau begitu kita harus–."
Belum dirinya selesai berbicara, sebuah ledakan besar menggelegar hingga menggetarkan gereja. Mereka dengan cepat langsung bergegas menuju jendela luar kamar itu, mereka melihat asap tebal membumbung tinggi di balik pepohonan yang menghalangi setengah pemandangan mereka ke langit.
"Apa yang–. Ugh!"
Sebuah ledakan lainnya terdengar namun terasa lebih jauh daripada sebelumnya, kemudian diikuti beberapa ledakan beruntun yang saling bersautan. Suara teriakan penduduk yang begitu keras hingga melambung tinggi ke udara sampai ke telinga mereka, menjerit sekuat tenaga meminta tolong.
Kala pertama kali mendengar kata-kata itu, Lilia langsung mengenakan zirah peraknya yang melindungi seluruh tubuhnya juga mengambil pedang yang ia simpan di dalam lemari.
"Vienna cepat bersiap dan turun ke aula gereja, kita harus bergerak cepat! Sepertinya disini juga dan mungkin di tempat lain pasukan kita berada juga diserang. Lalu kau, cepat kumpulkan pasukan yang lain! Aku tidak ingin ada yang terlambat!"
Mereka berdua–Vienna dan prajurit itu menjawab dengan serempak "Baik!" Kemudian langsung melaksanakan titah sang pemimpin kesatria suci.
Lilia langsung bergerak menuju aula utama–tempat dimana biasa orang-orang berdoa kepada dewa mereka. Kala sampai disana, ia melihat pendeta Joshua bersama dengan suster yang lain tengah berkumpul dan juga ada beberapa warga yang sebelumnya sedang berdoa.
"Tuan Neil, apa yang sedang terjadi?" tanya pendeta Joshua, ia sengaja memanggil tuan karena melihat Lilia yang menggunakan helmnya lagi dan terlebih disana juga ada penduduk kota yang tak boleh mengetahui identitasnnya.
Lilia atau sekarang ia akan dipanggil Neil'o langsung menjawab pertanyaan itu dengan lugas "Sebelumnya saya mendapat surat dari pasukan saya di kota lain jika kota mereka diserang pasukan asing, kemungkinan kota ini juga sama. Meski tidak ada bukti valid apakah mereka orang yang sama, tetapi kita tidak bisa membiarkan penduduk kota ini menderita," dirinya terdiam sejenak seraya terus melihat wajah para suster dan para penduduk yang ketakutan akan ledakan beruntun sebelumnya. Mengerat begitu kuat kepalan tangannya, amarahnya meluap dari rasa tak tega melihat raut wajah mereka yang ketakutan, hingga ia kembali berbicara kepada pendeta itu "Bapa Joshua. Bisakah saya meminta sesuatu kepada anda?"
"Katakan saja, Tuan Neil."
"Saya ingin menjadikan gereja ini sebagai tempat perlindungan, saya ingin suster disini dan pendeta lainnya juga bekerja untuk menyembuhkan apabila kami membawa orang-orang terluka, maka dari itu tolong siapkan segala ramuan dan alat-alat jahit apabila nanti ada yang terluka parah. Saya akan menaruh sebagian pasukan saya untuk melindungi gereja dan saya beserta pasukan lainnya akan pergi ke kota untuk menyelamatkan orang-orang sebisa kami, apa anda bisa melakukannya."
Dengan mantap pendeta itu menganggukkan kepalanya dan berkata "Baiklah! Aku dan pendeta lain juga suster akan membantu sebisa kami."
"Baiklah, kalau begitu saya akan menemui pasukan saya yang lain," balas Neil kemudian melangkah menjauh.
"Tolong jaga diri anda!" utas pendeta itu melepas kepergiannya.
Dirinya mengambil langkah tegas menuju pintu dan membukanya sedikit lebar dari zirahnya. Dibalik pintu itu, 30 prajurit suci telah berbaris dengan tegas menghadap kearah gereja. Neil'o terus berjalan hingga benar-benar tepat berada di depan mereka, hanya beberapa langkah saja yang memberikan jarak diantara mereka.
Neil menghela napas berat, kala ia ingin kembali berbicara, Vienna yang merupakan wakil dari kepemimpinan pasukan itu langsung berbaris tepat disamping Neil. Sadar akan keberadaannya, Neil langsung berbicara dan memberikan informasi yang ia ketahui.
"Perhatian!" setelahnya berkata seperti itu, pasukan suci menghentakkan kaki dan berdiri semakin tegap di depan Neil–tanda mereka telah siap mendengarkan dan mendapat perintah dari pemimpin mereka "Kalian semua sudah mendengar ledakan sebelumnya. Meski belum ada bukti nyata tetapi teman kita di beberapa kota lain mendapat serangan yang serupa dan kemungkinan kita juga menghadapinya. Karena itu prajuritku, pergilah dan selamatkan para penduduk. Bantulah para penjaga kota, lalu jangan utamakan untuk melawan tetapi prioritaskan untuk menyelamatkan para penduduk dari tempat ini, mengerti!"
Serempak mereka langsung menjawab dengan tegas "Baik!"
"Lalu aku juga ingin sebagian dari kalian untuk menjaga gereja dan sebagiannya lagi ikut dengan ku ke kota, karena tempat ini nantinya akan menjadi pengungsian bagi penduduk kota dan aku ingin kalian menjaga tempat suci ini dengan nyawa kalian!"
Sekali lagi mereka serempak menjawabnya "Baik!"
"Baiklah, laksanakan!"
"Baik!"
Lalu, seluruh pasukan suci disana menjalankan tugas yang diperintahkan oleh pemimpin mereka. Neil memimpin pasukan penyelamatan di kota, sedangkan Vienna, Neil perintahkan untuk memimpin pasukan pertahanan di gereja.
Para pasukan penyelamat bergerak cepat dengan kuda, kala mereka melewati gerbang, mereka melihat pemandangan yang amat mengerikan. Beberapa bangunan hancur dan yang lainnya terlalap oleh api besar hingga tak mungkin lagi untuk dipadamkan. Sepanjang perjalanan mereka bertemu beberapa penduduk yang tengah berlari tanpa arah karena dikejar oleh sekelompok orang dengan memakai pakaian serba hitam.
"Serang!"
Beberapa pasukan suci langsung bergerak cepat dengan kuda mereka kemudian menerjang langsung kesrah sekelompok orang berpakaian hitam seraya menghunuskan tombak mereka. Tanpa segan, ketiga orang itu langsung meregang nyawa kala masing-masing prajurit berhasil menembus jantung musuh mereka.
"Kalian pergilah ke gereja, disana ada pasukan kami yang berjaga. Berlindunglah disana sampai serangan ini selesai!" perintah Neil'o kepada para penduduk yang berlarian.
Tanpa ada keraguan, penduduk kota yang mendengar titahnya langsung berlari menuju gereja di taman pusat kota. Kala dirinya memberikan titah, beberapa pasukan penyerang semakin bertambah dan menyerang pasukannya yang dipaksa turun dari kuda mereka.
"Sial!"
Namun Neil masih diatas kudanya, ia memacu kudanya dengan cepat seraya mengayunkan pedangnya tepat ke arah leher musuh mereka, hingga kepalanya terpisah dari tubuh orang itu. Neil terus menerus melakukan hal serupa, mengayunkan pedangnya dan membunuh tanpa ampun pasukan-pasukan yang sama sekali tak ia ketahui darimana aslinya.
Hingga ledakan besar lainnya terdengar kala ia mengakhiri musuh terakhir disana, ledakan itu berasal dari arah pasar besar. Kala mendengarnya, pikiran Neil hanya langsung tertuju kepada seseorang yang ia akui jika ia mencintainya.
"Ed ..."
To be continue