Last Boss

Chapter 61 - Permintaan para pelayan



Chapter 61 - Permintaan para pelayan

2"Dia tertangkap?!"     

"Benar, tuan. Saya mendapat informasi dari mereka yang berhasil melarikan diri dari tempat itu."     

"Hmph! Tenang saja, dia akan bebas. Walau dia hanya bidak ku tapi aku tidak bisa membiarkan dia tertangkap."     

"Ta--tapi, Tuan. Orang-orang yang membawa succubus itu adalah para pelayan yang bekerja untuk Kaisar."     

"A--apa!? Pelayan yang bekerja Kaisar!? Mereka adalah pasukan elit Kekaisaran, kenapa bisa?! Astaga ini sangat buruk, kenapa bisa-bisanya pasukan elit Kekaisaran ikut campur?! Bukan hanya bisnis ku, hidupku juga terancam!"     

"Tenang saja."     

Dari sisi gelap lain, langkah sepatunya menggema bersama dengan suaranya, sayap gelapnya merekah di dalam ruangan yang redup.     

"Ka--kau! Hey kau punya cara? Mau bagaimana juga kita tidak bisa dia buka suara tentang kita! Aku tidak mau mati!"     

"Aku bilang tenang saja ... Kita memiliki ahlinya, kan?"     

\*\*     

Di ruang singgasana, perempuan berambut hijau yang dibawa Scintia menatap Void ketakutan, wajahnya pucat, kepanikan terasa jelas dalam dirinya. Dari kesaksian sebelumnya, perempuan itu berkata jika ia menjadikan Iblis yang ia culik sebagai budak.     

Void tidak tahu apa-apa tentang hukum perbudakan, apakah itu diperbolehkan atau tidak. Meski diperbolehkan, Void tidak menerima caranya menjadikan Iblis yang masih memiliki keluarga yang selalu menunggu para korban pulang sebagai budak.     

"Apa kau menjual mereka?" tanya Void kepadanya.     

Dia menjawab dengan terbata-bata "Be--benar," jawabnya, ia sama sekali tidak menunjukkan niatan untuk berbohong. Rasa takut yang sudah mengurung dirinya membuatnya sulit untuk berkata kebohongan.     

"Kepada siapa?"     

Namun, meski sulit berkata bohong. Tapi perempuan itu masih memiliki keberanian untuk menolak bicara.     

"I--itu ... Sa--saya tidak tahu," jawabnya.     

"Hah?" Void mengerutkan keningnya sesaat, jawaban yang menjengkelkan itu membuatnya sedikit marah. Namun ia bisa menahannya sedikit lebih lama lagi "Apa maksudmu? Seorang pedagang tidak mungkin tidak tahu kepada siapa dia menjual barangnya," Void berdiri dari singgasananya, berjalan menuruni tangga, mendekati perempuan itu seraya berbicara "Pedagang buah menjual dagangan mereka kepada mereka yang menginginkan buah, mereka tentu akan bertemu dengan sang pembeli dan melayaninya. Lalu kenapa bisa-bisanya kau memberi jawaban sebodoh itu?"     

Perempuan itu terduduk, menatap getir Void yang terus mendekatinya, ketika ia mencoba mundur, Scintia sudah berdiri di belakangnya menjadi penghalang jalannya untuk menjauh.     

"Kepada siapa kau menjual mereka? Kepada siapa kau menjual orang-orang dari bangsa mu sendiri!" Void menarik tangannya yang terikat hingga membuatnya menggantung. Wajahnya berhadapan, sangat pucat dan dibanjiri air mata ketika Void melihat lebih dekat wajah perempuan itu "Jawab aku!" Ketika ia membentak dengan sangat keras, Void sadar ada sesuatu di leher perempuan itu.     

Sebuah kalung hitam tanpa bandul, bagian tengahnya berkedip lambat namun konstan berwarna merah. Void pernah melihat kalung seperti itu, namun ia lupa dimana ia melihat kalung seperti itu.     

"Kau juga budak, ya?" tanya Scintia tiba-tiba, membuat Void langsung menoleh kearahnya, itu membuat Scintia terkejut juga dan langsung memberi hormat "Maafkan saya karena sudah ikut berbicara, paduka."     

Void menjawab "Tidak apa-apa," karena berkat Scintia ia bisa mengingat kalung apa itu.     

Kalung budak, berdasarkan ingatan Void, jika di dalam game kalung budak berfungsi untuk mengikat seseorang dengan beragam aturan yang dan memaksa pemakainya selalu menuruti permintaan si pemasang kalung itu. Sekuat apapun makhluknya, jika mereka memakai kalung itu, mereka tidak bisa melawan perintah yang diberikan pemiliknya.     

'Jika melawan biasanya pemakai kalung akan tewas, haah side-quest seperti itu membuatku bad mood untuk sesaat. Ternyata kalung seperti itu juga ada disini ya, ya wajar sih ini dunia dari gamenya,' batin Void mengingat kenangan buruk dari game itu.     

Void langsung melepaskannya, lalu berjalan kembali menuju kursi singgasanannya. Dugaanya benar, jika perempuan itu juga dikendalikan oleh orang lain. Ada orang lain yang mengendalikan penculikan itu dan mungkin saja ia juga dipaksa untuk menculik penduduk Ibukota, begitu pikir Void seraya dirinya menopang kepalanya dengan kepalan tangan.     

"Paduka, menurut saya sia-sia. Saya merasa dia juga disuruh oleh orang lain," tukas Ink Owl setelah mengamati obrolan mereka.     

Void menganggukkan kepalanya "Benar, dia bisa saja diperintah untuk tidak berbicara atasannya," balas Void, ia terdiam sesaat menatap wajah perempuan itu, air matanya telah menyusut tetapi ketakutannya masih terlihat jelas. Void menghela nafas berat, tahu introgasi ini tidak akan memberi hasil "Tangan ku hari ini sudah kotor, aku tidak mau mengotori tangan ku lagi. Aku juga harus mengunjungi mereka, jadi untuk hari ini ... Bawa mereka semua ke penjara."     

"Baik, paduka," ucap para pelayan, kemudian beberapa dari para pelayan membawa mereka keluar, begitu juga dengan perempuan succubus itu.     

Scintia melepas topengnya setelah mereka keluar, wajahnya tampak sangat murung, seakan ada penyesalan dari raut wajahnya itu. Beberapa pelayan lainnya juga melepaskan topeng mereka dan menunjukkan raut wajah yang serupa dengan Scintia.     

"Kalian ... Kenapa?"     

Dengan serempak mereka berlutut dan Scintia berkata "Maafkan kami, paduka."     

"Eh? Untuk apa?" tanya Void tidak mengerti ucapan mereka.     

"Meski kami membawa perempuan itu tapi anda tidak mendapat informasi apa-apa. Kami minta maaf."     

Mereka merasa bersalah, meski tugas mereka sudah berhasil di selesaikan tapi karena sang Kaisar tidak mendapat informasi yang diinginkan membuat mereka merasa bersalah. Void tersenyum tipis, membalas ucapan mereka "Apa yang kalian katakan. Kalian sudah melaksanakan perintah ku dengan baik, justru aku senang dengan kalian yang bekerja dengan sangat cepat. Aku memuji cara kalian bekerja," raut wajah mereka jauh lebih baik dari sebelumnya "Lalu, jika kalian menganggap aku tidak mendapat informasi itu salah. Saat ini kita tahu jika ada orang lain lagi dibalik penculikan yang terjadi di Ibukota."     

"Kalau begitu paduka, apa sebaiknya kami mencari orang itu?" tanya Scintia tiba-tiba.     

"Mau mencari kemana?" Scintia kembali menunduk dengan kesal mendengar itu, bukan kepada Void tapi kepada ketidaktahuannya "Ya, kalian tidak perlu bergerak. Aku juga tidak ingin perempuan succubus itu mati, perlakukan mereka semua dengan baik di penjara. Selama kita belum tahu siapa yang ada dibalik semua ini, jangan sampai mereka semua dibiarkan mati. Scintia, Ink Owl, aku ingin kalian mencegah hal seperti itu terjadi, andaikan dia mati maka kita akan buta arah, mengerti?"     

"Baik, paduka," ucap Ink Owl dan Scintia serempak.     

Void menghela nafas lembut dan melemaskan kedua pundaknya, kemudian kembali bertanya "Oh ya, kalian bilang di markas succubus itu ada beberapa perempuan Iblis yang ditahan, kan? Dimana mereka sekarang?"     

Scintia menjawab "Ya paduka, saat ini saya menyerahkannya kepada pelayan yang lain untuk merawat mereka."     

Void kembali bertanya dengan cemas "Apa mereka juga memakai kalung budak?"     

Scintia menggelengkan kepalanya seraya menjawab "Tidak paduka," membuat Void dapat bernafas lega mendengar itu.     

Kalung budak bisa saja dihancurkan tanpa melukai pemakainya kecuali dihancurkan sendiri oleh pemiliknya sendiri yaitu dengan menggunakan sihir \[Curse-Breaker] tetapi saat ini Void tidak memiliki sihir itu sekarang.     

'Banyak sihir yang berguna, tapi aku tidak memilikinya. Aku rasa aku harus mengumpulkan semua sihir yang berguna, itu juga berguna untuk melawan pahlawan sih. Lagipula kenapa bisa-bisanya Kaisar Iblis hanya punya 3 sihir saja? Merepotkan sekali, ya terserahlah. Nanti aku akan mencarinya lagi,' batin Void berkeluh-kesah tentang kekurangannya.     

"Kalau begitu Ink Owl ...," Lagi-lagi nama itu ia sebut dan akan ia pinta melakukan sesuatu, Void terdiam sesaat sambil melihat kearah burung hantu yang lebih besar dari tubuhnya itu dengan pandangan tak tega "Maaf ... Sepertinya kau sudah cukup sibuk, ya? Aku akan menyuruh yang lain kalau–."     

"Tunggu! Apa yang anda katakan paduka?! Saya sama sekali tidak merasa sibuk!" balas Ink Owl panik.     

"Tapi aku sudah meminta mu mengurus masalah tambang, lalu mengawasi orang-orang tadi juga, rasanya aku tidak enak karena menyuruhmu terus, belum lagi pekerjaan mu yang lainnya, kan?"     

Ink Owl menggelengkan kepalanya dengan cepat, raut wajahnya tampak sangat serius kemudian ia berkata "Tidak apa paduka, saya berterima kasih karena paduka memikirkan kondisi saya. Tapi saya justru senang karena paduka sangat mengandalkan saya, sebaliknya saya akan kebingungan jika tidak melakukan pekerjaan dari paduka. Karena itu tolong biarkan saya melakukan apa yang paduka pinta."     

Seorang maniak kerja, begitulah Void memandang Ink Owl setelah mendengar ucapan itu keluar langsung dari mulut burung hantu itu. Void tidak bisa menolak lagi jika sudah mendengar Ink Owl berkata seperti itu.     

"Baiklah, kalau begitu aku akan memberikanmu pekerjaan ini. Bisakah kau mencari keluarga mereka? Mungkin sampai, tidak, pastinya sampai saat ini keluarga mereka sedang mencari mereka. Jadi aku ingin memulangkan mereka, tapi untuk mereka yang tidak memiliki tempat tinggal, biarkan saja mereka untuk sementara tinggal disini."     

Ink Owl tersenyum kemudian mencondongkan tubuhnya–memberi hormat "Anda begitu murah hati, paduka. Seperti yang anda pinta, saya akan mencari keluarga mereka. Justru di bidang inilah saya memiliki pekerja yang bisa membantu saya, jadi paduka tidak usah khawatir."     

Satu persatu masalah segera terselesaikan, walau ada juga masalah yang harus ia tunda karena kekurangan informasi. Penculikan di Ibukota berbuntut panjang melebihi dari apa yang Void pikirkan, satu-satunya yang ia khawatirkan adalah jika orang yang dibelakang gadis Succubus itu adalah manusia.     

Dalam dunia perbudakan sangat kecil kemungkinannya jika satu bangsa atau satu ras menjadikan orang yang sama–satu bangsa dengan mereka dijadikan budak. Karena itu Void berpikir jika besar kemungkinan orang yang membeli dan membelakangi penculikan ini bukan berasal dari bangsa Iblis.     

"Aku juga harus mengunjungi Retto dan Ivaldi ... Haaah hari ini aku benar-benar sib–," ucapannya terhenti ketika ia berdiri dan menatap Scintia juga pelayan lain yang sudah berdiri dengan raut wajah gelisah, raut wajah itu bukan seperti rasa bersalah yang mereka tunjukkan sebelumnya, ini berbeda. 'Ah benar,' begitu pikir Void ketika sadar ada yang harus ia lakukan.     

"Tapi sebelum itu kurasa aku harus memenuhi ucapan ku dulu ya? Memalukan jika Kaisar seperti ku tidak memegang kata-katanya," ucap Void sembari tersenyum kearah para pelayan di depannya, membuat senyuman terlukis indah di wajah mereka "Baiklah, aku akan memenuhi permintaan kalian," ucap Void kemudian ia duduk kembali di singgasanannya "Kalian, kemarilah," ucap Void, meski ia berkata seperti itu dengan percaya diri tetapi degup jantungnya justru meningkat dengan cepat.     

Mau bagaimana juga ia belum terbiasa jika bersentuhan dengan wanita, tapi untuk merubah diri ia harus melakukannya, walau bukan karena niatnya, sebagai Kaisar ia pula harus memegang kata-katanya.     

'Tapi syukurlah hanya 4 orang saja, aku rasa aku mampu melakukannya,' batin Void merasa lebih tenang.     

Gadis pelayan yang lebih kecil dari yang lain melangkah dengan cepat melewati Scintia hingga Scintia dan pelayan lain tak bisa menghentikan langkahnya, wajahnya gembira tak sabar menerima apa yang pinta dari sang Kaisar. Gadis itu tersenyum bahagia dengan mata bersinar di depan sang Kaisar, kemudian membungkukkan tubuhnya tanpa berkata apa-apa.     

Di bawah Scintia merasa jengkel dengan sikap gadis itu yang tak menunjukkan rasa hormat kepada sang Kaisar, sementara dua lainnya tidak berkata-kata hanya melihat dengan perasaan iri.     

"Ba--baiklah," ucap Void seraya menggerakkan tangannya perlahan kepada gadis itu, mengelus perlahan rambut merah mudanya.     

"Aaaaah\~ aku bisa beristirahat dengan tenang," gumam gadis itu sangat menikmati elusan di kepalanya.     

Void tidak berkata apa-apa selain tersenyum mendengar gumamnya. Sedikit demi sedikit rasa gugup pada dirinya menghilang, aroma manis rambut gadis itu tercium sangat jelas. Apa gadis memang baunya seperti itu? Memikirkan hal itu membuatnya ingin memukul dirinya sendiri karena terasa tidak benar.     

"Ba--baiklah, sudah," ucap Void     

Namun gadis itu tidak membiarkan Void menurunkannya, ja langsung memegang tangan Void kembali dan menempelkan kembali tangannya di atas kepala gadis itu.     

"Pa--paduka, tolong sebentar lagi, ya," pintanya dengan suara manja.     

Ucapannya meninggalkan demage yang begitu kuat pada hati Void, seolah menjadi serangan tiba-tiba yang tidak bisa Void tahan.     

'Astaga, manisnya!' batinnya menjerit.     

"Lizzy! Sudah cukup!" Scintia yang entah sejak kapan sudah berada di belakang gadis yang bernama Lizzy itu menariknya kebelakang.     

"E--eh!? Ta--tapi aku belum selesai!" ucap Lizzy membela diri.     

Namun itu tidak berpengaruh untuk Scintia yang marah atau tepatnya murka "Jaga sikapmu di depan paduka! Apa kamu tidak punya malu?" Bentaknya.     

Wajahnya seketika murung, isak tangis pula terdengar darinya. Ekspresi bahagia yang ia tunjukkan sebelumnya seketika hancur bagai gelas kaca yang terjatuh dari ketinggian, namun meski membuatnya begitu Scintia tidak gentar memberikan murkanya.     

"Sci-Scintia ...,"     

Scintia langsung berbalik melihat kearahnya dan berlutut penuh penyesalan juga seakan mewakili Lizzy yang isak tangisnya tengah ia tahan.     

"Maafkan dia paduka, nanti akan saya hukum karena bersikap tidak sopan kepada Anda."     

Scintia sebagai ketua dari kelompok petarung maid juga kepala pelayan merasa begitu bertanggung jawab atas apa yang dilakukan Lizzy kepadanya, mungkin itu juga terjadi jika pelayan lain yang diluar kelompon petarung melakukan kesalahan yang serupa.     

Void tersenyum kemudian sedikit membungkuk. Sentuhan dikepalanya membuat Scintia mengejang untuk sesaat, Void mengelusnya perlahan kemudian berkata "Scintia, aku tidak apa-apa, jadi jangan hukum dia. La--lagipula aku berkata untuk memenuhi satu permintaan kalian karena sudah melakukan pekerjaan yang ku minta dengan baik, jadi tidak apa-apa, ya?" Seraya mengakhiri ucapannya, Void menarik tangannya dan menegakkan tubuhnya kembali.     

Raut wajah bahagia kembali terlukis di wajah gadis kecil itu. Scintia pun berdiri dengan wajah yang merona kemudian berkata "Baiklah, jika itu yang paduka inginkan."     

"Haha! Lihat paduka membela ku! Paduka memang baik hati, tidak seperti kak Scintia yang kejam seperti mosnter!" ledek Lizzy seraya menyungingkan senyuman penuh kemenangan.     

Namun yang dilakukannya bagaikan menari diatas ladang ranjau, ketika ia menginjak ranjau maka ia tidak terselamatkan. Begitu juga dengan saat ini, Scintia bebalik menatapnya tajam penuh murka.     

"Baiklah! Meski paduka memaafkan mu tapi aku tidak begitu!"     

"Hiii!"     

Lizzy berlari menuruni tangga dan bersembunyi di balik pelayan hang lebih besar. Void tertawa kecil melihat ikatan mereka, meski bertengkar tapi Void merasa mereka sangatlah dekat bagai keluarga. Selanjutnya, Void memenuhi permintaan dua pelayan lainnya yang meminta hal yang serupa.     

Diam-diam Void tidak hanya mengelus mereka untuk memenuhi permintaan mereka, tetapi ia juga melihat parameter status atribut mereka. Void tercengang melihat para meter mereka, cukup tinggi meski berada di bawah Scintia tetapi sangat tinggi diatas prajurit pada umumnya.     

'Luar biasa, aku tidak tahu Kaisar memiliki pasukan seperti ini. Di dalam game tidak ada, loh,' batin Void sambil terus menatap keempat pelayan petarungnya.     

Nama mereka juga tertera jelas, gadis kecil dengan rambut merah muda yang panjang adalah Lizzy, lalu perempuan yang tampak lebih dewasa dari segala hal–tubuh, sikap, maupun gaya bicara adalah Mona, rambutnya hitam tergerai hingga ke punggungnya dan warna iris mata yang serupa dengan rambutnya. Lalu yang terakhir adalah seorang pelayan yang bukan hanya suaranya tak bernada tak rupanya pun tak berekspresi, mengingatkan dirinya kepada Ivaldi, nama gadis itu adalah Uksia, rambut perak pendek sebauh dengan warna iris mata biru cerah.     

Malam yang terasa sangat panjang, namun belum berakhir. Para pelayan pergi, Void merapalkan mantra penyamaran dan berubah menjadi seorang pemuda dengan rambut perak. Ia sudah berpesan kepada Karma akan menjenguk malam ini karena itu ia akan memenuhi ucapannya itu. Edward meminta Ink Owl untuk menteleportasinya ke tempat terdekat rumah sakit dekat alun-alun Ibukota.     

"Terima kasih, Ink Owl," ucap Void setelah berhasil berpindah tempat ke sebuah gang kecil yang sepi dekat jalan utama Ibukota.     

"Berhati-hatilah, paduka. Kalau begitu saya permisi," balas Ink Owl kemudian menghilang.     

Melangkah keluar dari gang, ia bisa mendengar suara langkah kaki yang ramai dan suara pedagang pinggir jalan yang menawarkan dagangannya. Suasana Ibukota malam hari, menjadi pengalaman baru Void di dunia baru itu. Terasa dingin udara menerpanya, ia berpikir untuk segera mencari rumah sakit, inginnya begitu tetapi baru beberapa langkah ia menemukannya. Bangunan tinggi seperti penginapan, namun tanda palang merah yang terukir di atas kanopi bangunan itu menjadi tanda jika itu rumah sakit.     

"Wah, syukurlah dekat dengan tempat ku teleportasi. Lalu, palang merah di dunia mana pun menjadi tanda rumah sakit, ya? Aneh sekali," Gumamnya, ketika ia ingin melangkah ke halaman rumah sakit, kakinya tertahan karena teringat sesuatu "Mungkin aku membeli sesuatu untuk mereka, buah-buahan mungkin?" ucapnya kemudian menarik kakinya dan melangkah pergi menuju alun-alun Ibukota.     

"Ah! Benar! Uangnya? Oh ada," gumamnya sendirian ketika ia meraba kantong celananya.     

Kepingan perunggu sisa kembalian dari pembelian makan siang yang mereka pakai, walau itu adalah uangnya. Edward tidak memasukannya kembali ke tas tetapi ia kantongi di celananya.     

Edward membeli beberapa buah-buahan, membawanya dengan kantung kertas yang diberikan pedagang lalu kembali ke rumah sakit. Di depan meja resepsionis, Edward merasa sedikit gugup tanpa alasan jelas. Rasanya berbeda ketika bertanya pada orang lain dan bertanya kepada orang lain yang sedang bekerja, begitu pikirnya sekarang.     

"Pe--permisi?"     

"Ya, apa ada yang bisa saya bantu?"     

"Ah ya saya ingin mencar–."     

"Edward?"     

Suara yang tidak asing memanggilnya, membuatnya langsung menoleh kearah orang yang memanggil namanya. Seorang prajurit pria yang memiliki wajah santai, seseorang yang ia baru kenali kemarin.     

"Kapten?" sahut Edward sedikit terkejut melihatnya.     

Karma mendekati Edward seraya bertanya kepadanya "Kau mau mengunjungi mereka?"     

Edward mengangguk "Ya, apa mereka baik-baik saja?"     

"Ah, ya aku tadi mengunjungi mereka. Mereka sedang makan malam, jadi tidak apa-apa kay mengunjungi mereka. Aku ingin keluar, yah ... menghirup udara malam sebentar."     

Karma melangkah ke arah luar rumah sakit, namun sebelum menjauh Edward memegangi tangannya hingga membuatnya menoleh kebelakang.     

Raut wajah Edward cemas, ia ingin bertanya namun sangat sulit untuknya mengeluarkan kata-kata yang tepat. Karma tersenyum tipis seakan mengerti apa yang ingin Edward tanyakan, ia pun menjawab "Fornelia masih belum sadar, tetapi perawat bilang kondisinya baik-baik saja, tidak ada luka yang berarti di tubuhnya. Jadi tidak perlu khawatir."     

Edward menganggukkan kepala, hanya tersenyum mendengar itu meski belum merasa lega sama sekali. Karma pun memberi tahu dimana Ivaldi dan Retto berada, mereka di ruangan yang sama dengan nomor kamar 204. Entah kebetulan atau bagaimana, nomor ruangan itu mengingatkannya dengan nomor pos penjaga yang mereka tempati meski berbeda pada nomor awalan.     

Setelah tahu, Edward sesegera mungkin menuju ruangan itu. Bayangan ketika Retto yang babak belur kembali teringat jelas dalam ingatannya. Menyusuri lorong, mencari ruangan 204 "Ah ini," cetusnya ketika menemukan ruangan yang diberitahu oleh Karma. Tangannya tertahan ketika ingin memegang gagang pintu, bayangan itu kembali lagi membuat emosinya meluap. Edward menghela nafas kasar, ia mengetuk tiga kali sesuai tata Krama yang diajarkan padanya sejak kecil.     

"Siapa?" Suara Retto terdengar dari dalam bertanya.     

"Ini aku, Edward," jawab Edward.     

"Oh, Edward! Akhirnya kau datang. Masuklah," balas Retto lagi.     

Memutar gagang pintu kemudian mendorongnya perlahan, ia melihat kedua temannya yang tengah terduduk berhadapan di atas ranjang mereka. Memegang nampan yang menjadi alas makanan mereka yang sebentar lagi habis.     

"Yo! Akhirnya kau datang. Kupikir sudah malam begini kau tidak datang," ucao Retto sambil tersenyum lebar.     

"Aku mebgantuk," sahut Ivaldi.     

"He--hey! Edward baru datang masa kau tinggal tidur!"     

"Habisnya ..."     

Tingkah mereka tidak berubah, meski sudah mengalami hal buruk seperti itu tapi tingkah dua sahabat itu sama sekali tidaj berubah. Void tersenyum lega, sangat bersyukur melihat dua temannya baik-baik saja. Luka lebam pada tubuh Retto pun sedikit memudar daripada saat yang ia lihat sebelumnya, ia mendekati mereka sambil menyunggingkan senyuman.     

"Aki bawakan ini untuk kalian," ucap Edward seraya memberikan kantung kertas berisi buah kepada Retto.     

"Oh! Tidak perlu repot-repot padahal."     

"Tidak apa-apa, setidaknya itu bisa menjadi pencuci mulut kalian, kan?"     

Retto tertawa mendengarnya, sangat peka mungkin itu yang ia nilai dari Edward saat ini.     

"Baiklah aku terima, terima kasih ya."     

Ikatan ia jalin, ikatan yang tidak ia miliki di kehidupan sebelumnya, tidak akan ia hancurkan dan tidak ada yang bisa menghancurkannya.     

To be continue     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.