Chapter 149 - Mereka yang berkhianat
Chapter 149 - Mereka yang berkhianat
Mereka memiliki perbedaan dalam memandang kehidupan, tentang para dewa dan juga antara semua ras yang ada. Benar dan yang salah, batil dan hak, keyakinan dan keraguan, mereka memiliki pandangan yang berbeda dan terkadang bersebrangan dengan satu sama lain.
Suasana di dalam ruangan menegang kala Ratu Abyc yang menjadi pemimpin pertemuan hari itu membawa mereka semua memasuki topik utama yang akan mereka bicarakan, mencari tahu apa penyebab sang Paus mengundang tamu yang tak biasa untuk bertemu.
Sementara itu diluar bangunan. Atas izin dari sang penguasa Abyc, pasukan pengawal dari 3 negeri yang berbeda diizinkan untuk berpatroli jika berkenan dengan syarat; mereka harus bersama setidaknya 2 orang pasukan penjaga dari Kerajaan Abyc.
Retto dan Ivaldi, mereka adalah salah satu dari beberapa pasukan pengawal sang Kaisar yang berpatroli disekitar wilayah kota–mereka pergi tak mengawal sang Kaisar karena perintah sang Kaisar sendiri "Pergilah dan lihat-lihat kota disana, awasi sekitar dan biarkan Scintia yang menjaga ku." Begitulah ucapnya kepada mereka yang merupakan pengawal pribadinya juga.
Mereka berjalan bersama dengan dua penjaga Kota Rolend, dua penjaga berjalan di depan seakan-akan menjaga jarak dengan mereka. Begitu terasa canggung, namun Retto juga Ivaldi tak merasa heran. Tatapan penasaran dan ketakutan pula mereka terima dari penduduk sekitar, zirah hitam melekat di tubuh mereka dengan tanduk berukuran sedang di atas kening mereka seolah melambangkan mereka sosok paling kejam nan mengerikan di kota itu.
"Baru kali ini aku melihat manusia sebanyak ini ... Luar biasa," cetus Retto tanpa sadar.
Ivaldi langsung membalas ucapannya "Ya ... Yang datang ke Kekaisaran hanya para petualang saja."
"Benar," balas Retto lagi.
Tiba-tiba, langkah Ivaldi terhenti. Dirinya terdiam seraya menatap sesuatu dengan raut wajah datar, sadar akan sahabatnya yang tertinggal pula Retto langsung ikut berhenti dan berbalik, begitu juga dengan dua penjaga di depannya.
"Ivaldi, ada apa?" tanya Retto.
Kala mendekat, Retto pun tahu jika Ivaldi tengah menatapi seorang pedagang yang menjual buku-buku di pinggir jalan. Seorang kakek tua yang nampaknya pula tengah tertidur di belakang karpet dagangannya.
"Dia memiliki banyak buku yang belum pernah ku baca ..."
"Ah begitu ... Tunggu, kita sedang bekerja jadi tahan keinginan mu!"
Tugas lebih penting daripada keinginan, terlebih sang Kaisar yang menugaskan mereka hingga bagi seorang prajurit seperti mereka akan sulit untuk lalai. Namun prajurit dengan raut wajah datar itu tak bisa menahan keinginannya lagi untuk membaca buku-buku yang ia pandangi.
Kala Retto memperingatinya, dua prajurit penjaga kota itu mendekati mereka kemudian bertanya dengan suara yang begitu gugup.
"Ma--maaf, apa ... Ada yang salah?" tanya salah satu penjaga.
Retto langsung berbalik sembari tersenyum canggung dan berbicara kepada mereka "Ah maaf, rekan saya tiba-tiba berhenti karena melihat buku. Jika bisa diberitahu, rekan saya ini memang memilik hobi membaca jadi mohon maaf karena tiba-tiba berhenti ... Hey, Iv–. Ah ..." Kala dia tengah berbicara, Ivaldi dengan seenaknya membeli sebuah buku.
"A--ah te--terima kasih," ucap kakek tua yang begitu terkejut melihat Ivaldi, mungkin karena pelanggannya adalah sosok Iblis yang belum pernah ia temui sebelumnya.
"Tidak."
"Tunggu! Kenapa ... Astaga, baiklah tapi bacalah nanti setelah selesai bekerja!" Retto membentak dengan setengah hati, ingin marah tapi merasa tidak enak dengan sekumpulan manusia yang saat ini masih memandangi mereka.
Ivaldi hanya mengangguk perlahan tanpa rasa bersalah dan menyimpan buku itu dibalik zirahnya.
Dua penjaga kota yang bersama dengan mereka memberikan sorot mata bingung akan tingkah mereka. Bagai anak-anak dan sangat tidak mencerminkan seorang prajurit, begitulah yang ada di benak mereka–mungkin para penduduk di sekitar mereka juga berpikir demikian.
"Toloooong! Pencuri!"
Pekik suara perempuan mereka dengar, datang dari arah belakang yang tak jauh dari posisi mereka. Perempuan itu terjatuh seraya menunjuk seseorang berpakaian hijau yang tengah berlari sangat cepat seraya membawa tas kulit berwarna gelap.
"Ivaldi!"
Ivaldi mengangguk, kemudian dia berlari dengan sangat cepat mengejar pencuri itu. Meski banyak penduduk di jalan, tetapi dengan lihai Ivaldi menghindari semuanya–melompat, berputar, serta berseluncur di tanah kala menghindari orang-orang yang tengah membawa barang.
"Sial!"
Dirinya pun tiba-tiba sudah berada tepat di belakang lelaki itu, ia langsung meraih serta mencengkram tangan lelaki itu.
"Haaa!"
Sebuah pukulan melesat ke arah wajahnya, namun dengan santainya Ivaldi menghindarinya. Serangan yang meleset memberikan celah, dengan tangan satunya ia langsung menarik lengan itu dan membantingnya kebelakang hingga tak sadarkan diri.
"Ah ... Aku berlebihan."
Tak lama kemudian Retto juga dua penjaga kota bersama dengan seorang perempuan muda datang mendekatinya.
"Ivaldi, bagaimana ... Wah." Retto menghela napas kala melihat apa yang dilakukan Ivaldi, memijat keningnya perlahan seakan bingung tak tahu apa yang ingin ia katakan kepada sahabatnya itu.
"Ah, benar. Apakah ini barang yang dia curi?" tanya Ivaldi sambil menunjukkan sebuah tas hitam yang ia ambil dari tangan pencuri itu.
Perempuan yang bersama mereka langsung menganggukkan kepalanya dengan cepat karena rasa gugup yang luar biasa "Be--benar! I--itu tas ku," jawabnya begitu gugup.
"Kalau begitu tolong periksa, mungkin saja ada yang terjatuh saat dia lari," ucap Ivaldi lagi.
Dengan tangan yang begitu gemetaran, perempuan itu mengambil tas dari tangan Iblis tanpa ekspresi itu. Ia membuka dan memeriksanya secara perlahan, kemudian perempuan itu menjawab seraya menggelengkan kepalanya:
"Ti--tidak ada, semua uang ku ada di dalam ..."
"Syukurlah."
Kemudian Ivaldi pun memperbaiki posisinya yang sedikit membungkuk karena setelah membanting pencuri itu, kemudian ia memanggul pencuri itu layaknya sebuah karung beras di atas pundaknya.
"Jadi ... Umm ... Apakah ada pos penjaga di sekitar sini? Mau bagaimana juga dia pencuri, menurut saya dia harus mendapat hukuman kecil."
Begitulah ucapnya sebagaimana ia dapatkan dari pengalamannya dalam berpatroli kala pelatihan sebelumnya. Selama Edward menghilang—pasca mereka keluar dari rumah sakit, tak hanya sekali atau dua kali mereka berurusan dengan Iblis yang bermasalah yang memanfaatkan situasi kekacauan hari itu.
Prajurit penjaga itu langsung menjawab "A--ah benar, hanya beberapa meter lagi di depan sana akan ada pos penjaga. Sebaiknya kita bawa kesana saja."
Ivaldi hanya mengangguk, kemudian dirinya melangkah menjauh menuju tempat yang ditunjukan oleh penjaga itu. Namun tak lama setelahnya, perempuan yang merupakan korban pencurian langsung memanggilnya dengan suara yang teramat sangat gugup.
"A--ah ... Tunggu ..."
Ivaldi langsung berhenti dan berbalik sedikit untuk melihatnya. Tubuh perempuan itu terperanjat untuk sesaat kala sorot mata dingin sang Iblis menusuk dirinya. Namun ia tetap memaksakan diri untuk berbicara.
"A--ah ... Itu ..." Perempuan itu pun menundukkan kepalanya dengan penuh hormat kepada Iblis dihadpaannya "Te--terima kasih karena sudau menolong ku," ucapnya begitu berusaha ia untuk mengucapkannya hingga tampak jelas di ekspresi perempuan itu.
Bagi manusia, sangatlah sulit untuk melakukan hal sederhana seperti itu kepada seorang Iblis. Bagi mereka yang selalu memandang buruk disertai rasa takut yang mendalam, mereka tak bisa bersikap seperti biasa kepada seorang Iblis. Namun segalanya berubah dikala hari dimana sang putri kembali dan dimana Iblis menginjakkan kaki di tanah Abyc untuk pertama kalinya. Pandangan mereka kepada para Iblis pun perlahan-lahan berubah.
Namun dengan tanpa ekspresi, Ivaldi hanya menjawab "Tidak, saya hanya menjalankan tugas saya. Tolong lain kali untuk berhati-hati, mengerti?"
Dengan tegas perempuan itu menjawab "Ba--baik!" Layaknya seorang prajurit dibawah Ivaldi.
Retto yang melihatnya hanya bisa berkata dalam hati "Betapa bodohnya rekan ku ini." Karena melihat sikap Ivaldi yang tak mengeluarkan sedikitpun aura positif kepada sang Korban.
Meski begitu, hasilnya tak begitu buruk. Mereka yang melihat aksi sang Iblis memberikan dua dampak yang bersebrangan, mereka semakin ketakutan melihat kemampuan Ivaldi dan ada pula yang justru terkagum karena kemampuan dan juga keinginannya membantu seorang manusia, padahal dirinya adalah seorang prajurit Kekaisaran.
Dua penjaga itu adalah diantaranya, pandangan yang meremehkan dua Iblis itu dalam sekejap sirna dan berganti 'Dua Iblis itu tidak bisa mereka remehkan'. Kala mereka melanjutkan perjalanan, dua prajurit itu pun banyak bertanya tentang kemampuan Ivaldi.
"Anda luar biasa bisa mengejarnya, lari anda juga sangat cepat!" ungkap prajurit A yang terkagum-kagum.
"Benar, tapi aku pernah mendengar jika fisik para Iblis 2x lebih kuat daripada manusia. Mungkin itu penyebabnya," sahut serta duga prajurit B.
Ungakapannya tidaklah salah, para Iblis memang memiliki kemampuan fisik jauh lebih kuat dibandinhkan manusia. Karena energi gelap yang mereka miliki itu memberikan pengaruh kepada kondisi tubuh mereka sejak mereka dilahirkan.
Namun Retto membalasnya seraya membantah "Saya rasa itu tidak salah dan tidak benar juga. Meskipun kami memiliki fisik yang kuat, tetapi jika tidak dilatih maka semuanya sia-sia. Di Kekaisaran, kami sudah ditempa dengan berbagai pelatihan, jadi latihan itu juga mempengaruhi tubuh kami."
Dua penjaga itu tampak sangat memahami ucapan Retto. Seseorang yang memiliki kondisi fisik kuat, tak akan selamanya begitu jika tidak dilatih.
"Dengan kata lain, kalian juga sama berlatih seperti kami, berolahraga atau semacamnya?" tanya prajurit A dengan wajah penasaran.
Pertanyaan itu terdengar bodoh di telinga Retto, namun ia memakluminya karena betapa renggangnya hubungan dua ras itu hingga tak memahami bagaimana masing-masing dari ras yang berbeda itu menjalani kehidupan mereka.
Seraya tertawa pelan, Retto menjawab "Tentu saja, kami berolahraga dan berlatih untuk menempa kemampuan kami. Jika tidak, mungkin kami tidak bisa menjadi prajurit."
"Heee ... Begitu, pada akhirnya apa yang membuat kita berbeda?"
Pertanyaan dari prajurit B membuat suasana hening untuk seketika. Retto yang baru pertama kali memikirkannya pun tak memahaminya, mereka memiliki begitu banyak kesamaan dengan manusia dan begitu juga manusia yang memiliki begitu banysk kesamaan dengan para Iblis. Meski sudah jelas apa yang berbeda seperti dsri ciri fisik, namun Retto merasa bukan itu maksud dari apa yang prajurit itu tanyakan.
Lalu dengan entengnya Ivaldi menjawab ...
"Ya ... Kami hidup lebih lama dari kalian, kan? Di usia 80 tahun kalian sudah renta, tapi kami masuh hidup sehat."
Ucapannya memecah keheningan, tetapi ucapannya menimbulkan emosi tak terduga dari dalam diri mereka yang mendengarnya. Langkah mereka bahkan sampai berhenti karena ucapan Ivaldi yang tak memiliki rem itu.
Kesabaran Retto pula habis, ia sebuah pukulan cepat langsung menghantam kepala belakang Ivaldi.
"Aw ..."
"Bodoh! Bukan itu maksudnya!"
"Tapi aku tidak salah, kan?"
Retto mengerang jengkel mendengar pertanyaannya yang lain, hanya mengepalkan tangan seraya mengeratkan giginya. Akan tetapi, dua prajurit manusia di depan mereka justru tertawa keras hingga menahan suaranya.
"Ahahaha ... Ya itu tidak salah," ucap prajurit A seraya menahan tawanya.
Ditertawakan oleh manusia, emosi Retto semakin meluap dan kemudian lenyap seakan terbuang begitu saja karena rasa lelahnya.
"Maaf. Rekan ku terlalu bodoh untuk berbicara."
Rasa canggung diantara mereka perlahan lenyap, lebih banyak bicara dan lebih banya kata-kata yang mereka berikan kepada satu sama lain. Sehingga, mereka berempat melupakan batasan jika mereka adalah dua ras yang berbeda.
Mereka kemudian sampai di pos penjaga, dimana disana ada dua penjaga kota lainnya yang berjaga di pos mereka. Dua orang penjaga yang bersama mereka langsung menjelaskan segalanya yang telah terjadi tentnag pencurian, serta alasan kenapa pelaku pencuri itu tak sadarkan diri.
Beruntung setelah penjelasan singkat mereka, dua penjaga di pos itu menjadi sedikit menurunkan kewaspadaanya kepada dua Iblis yang datang dari Kekaisaran itu.
Hingga segalanya berubah dikala ledakan terjadi, tepat di alun-alun Kota Rolend.
**
Beberapa menit yang lalu, tepat saat pertemuan baru saja dimulai. Sang Paus tanpa ragu langsung menawarkan sang Kaisar untuk mengajukan berbagai pertanyaan yang tampaknya ia sendiri sudah tahu apa yang ingin ditanyakan.
"Paduka Void, sebelum itu apakah ada yang ingin anda tanyakan? Pastinya saat ini anda ingin bertanya kan?"
"Tentu saja, mendengar seseorang yang memimpin suatu keagamaan yang ingin menghancurkan kami, pastinya kami langsung bertanya-tanya. Apa yang ingin anda lakukan kepada keluarga kami?"
Tanpa ragu Void langsung menanyakannya dan mengakui dihadapan mereka semua jika Negeri Elf adalah bagian dari keluarga mereka. Mereka yang mendengar, bahkan sang Ratu Elf sendiri pun terkejut bukan main akan pernyataan sang Kaisar yang begitu berani. Namun rasa terkejut itu tak berlaju untuk sang Paus, justru ia semakin tersenyum dan membalas ucapannya.
"Hoo? Saya hanya mendengar jika Kekaisaran dan Negeri Elf adalah sekutu, tetapi ternyata anda sudah sedekat itu dengan mereka."
Void pula imut membalas dengan senyuman angkuhnya.
"Tentu saja, bagi saya Negeri Elf maupun Negeri Dwarf adalah keluarga yang sangat penting bagi Kekaisaran. Mereka adalah Negeri-negeri yang menbantu kami pasca perang, saling membahu dikala dunia memusuhi kami dan mengekang kami dengan segala peraturan bodoh mereka."
Begitu frontal balasan sang Kaisar hingga mengungkit masa lalu mereka. Sebagai Kerajaan yang merupakan mantan anggota aliansi, Ratu Ausele hanya memalingkan wajah karena merasa tak enak setelah memahami apa maksud perkataan sang Kaisar.
Namun, sang Paus tertawa pelan kemudian membalas "Begitu, saya mengerti. Sangat menarik bisa mendengar betapa dekat hubungan anda berdua, Kaisar Void, Ratu Sylvia. Jujur saya sangat terkejut ketika sebagai sebuah bangsa yang diberkati oleh dewa untuk memiliki kekuatan suci bisa sedekat itu dengan ras yang memiliki energi gelap dimana seharusnya dua energi itu sangatlah bertentangan. Benarkan, Ratu Sylvia?"
Ratu Sylvia hanya terdiam dengan ekspresi yang mengeras, ia tak bisa menyangkal pertanyaan atas dasar pengetahuan yang sederhana. Void juga terdiam tak berkata apa-apa karena sudah mengetahui hal itu, bahkan sejujurnya ia pernah menanyakan hal serupa dalam benak kala pertama kali bertemu dengan sang Ratu dan memahami hubungan Kekaisaran juga Negeri Elf.
"Tetapi tenang saja, Kaisar Void. Kedatangan saya bukan untuk menghancurkan hubungan anda dengan Ratu Sylvia, tetapi saya membutuhkan Ratu Sylvia untuk menghindari takdir."
"Takdir?"
Void bertanya seraya menyipitkan matanya tanda ia mendesak akan jawaban sang Paus. Meski demikian, Void sudah mengetahui takdir apa yang akan dikatakan oleh sang Paus berkat Ratu Sylvia yang memberitahukan kepadanya.
Paus itu kembali menjawab "Benar, takdir akan kemunculan orang-orang dengan kebencian kepada dunia ini ... Mereka adalah orang-orang yang memiliki kebencian terbesar hingga mampu mengakhiri dunia ini, Kaisar Void."
Ratu Ausele yang mendengar itu pula langsung melirik kearah sang Kaisar dengan terheran, tentu pikirannya sama seperti apa yang di duga oleh para tetua Elf jika sang Kaisar adalah penyebab dari kehancuran dunia.
Sang Kaisar menghembuskan napas lembut, dengan wajah serius ia kembali berbicara "Para Iblis diciptakan dari kebencian yang ada di dunia, setidaknya begitulah yang kami pahami dan juga dunia ini pahami. Kami juga terlahir lebih kuat daripada manusia dan memiliki kemampuan bertahan hidup yang jauh lebih kuat daripada manusia ... Apakah mungkin nantinya, kami akan menghancurkan dunia ini?"
Bukan sebuah tekanan yang diberikan oleh Void dikala para manusia disana–terutama di kubu Ratu Ausele yang juga mencurigai hal serupa, melainkan ia memberikan sebuah pertanyaan seakan-akan ia tak memahami takdirnya sendiri. Namun itu justru mendesak sang Paus untuk memberikan pendapatnya, karena tergantung dari ucapannya, jalannya pertemuan hari ini akan berubah.
Sang Paus tersenyum dan menjawab dengan santai "Ya ... Aku menduga demikian." Mendengarkan itu, Void hanya menghela napas seakan sudah berpasrah "Tetapi, aku tidak berpikir seperti itu," lanjut Paus Klaus berbicara, berhasil membuat Void terkejut.
Mata Void langsung membulat, ekspresi terkejut terlukis jelas di wajahnya disertai dengan rasa bingung yang bertanya-tanya. Bahkan bukan hanya Void yang merasakannya, tetapi semua orang disana juga terheran dengan ucapan sang Paus.
"Kaisar Void, di dalam kitab memang tertulis jika kami harus melawan kebencian yang kuat. Maka dengan kata lain anda dan gereja sudah di takdirkan untuk bermusuhan, sebab itu saya tidak bisa berkata jika kita akan berdamai." Kemudian mata sang Paus yang sedari tadi terpejam, terbuka perlahan bersama dengan ekspresi serius yang belum pernah ia tunjukkan "Tetapi kali ini, ada kebencian murni kepada dunia yang diciptakan oleh para dewa ... Mereka adalah orang-orang tersesat."
Dengan keningnya yang mengkerut, Void bertanya "Apa maksud anda?"
Paus Klaus kembali menjawab "Mereka adalah orang-orang yang menyembah sesuatu selain dewa ... Mungkin para Iblis juga demikian, karena kalian tidak memiliki dewa maka para Iblis akan menyembah penguasannya ... Tetapi mereka adalah orang-orang yang berbeda, sekumpulan orang itu berasal dari ras yang berbeda dan tujuan mereka adalah ..."
"Menunduk!"
Scintia dengan cepat langsung meloncat ke atas kursi dengan pedangnya, kemudian mengarahkan pedangnya tepat menuju sang Paus. Lilia yang melihat tindakannya pula terkejut hingga ia langsung menarik pedangnya dan berniat menyerang Scintia, namun ia salah duga.
Target Scintia bukanlah sang Paus, tetapi seseorang dengan seragam menyerupai seorang pelayan petarung tepat berada di belakangnya. Dia mengayunkan sabit besar, mengincar kepala sang Paus.
Pedang Scintia dengan sabit itu langsing beradu hingga menciptakan suara nyaring yang memekakkan telinga.
"Kau ..."
Dengan cepat orang itu langsung mengakhiri momen itu dan langsung berputar bersama dengan sabitnya.
Kuncian pedang Scintia lepas, hingga sabit itu kembali berayun dari bawah lalu ... Menancap tepat di dada sang Paus hingga menembus tubuhnya.
"Tidaaaak!"
Lilia mengayunkan pedangnya ke arah orang itu, namun tiba-tiba seseorang dengan zirah perak khas pasukan suci muncul dan menahan serangannya dengan pedang milik orang itu.
"Apa!? Siapa kau!"
Kesatria itu mendorong pedang Lilia dengan pedangnya, kuda-kuda yang tak ia perkuat hingga menbuatnya kehilangan keseimbangan dan terdorong ke belakang.
"[Magic: Dark shape]"
Sebuah duri tajam melesat dari tangan Void mengarah kepada perempuan dengan pakaian pelayan petarung, namun dengan lihai ia menghindar. Orang itu pun meraih kesatria zirah perak lain, lalu menghilang bersmaanya.
"Sial! Ratu Sylvia, bantu aku! Gunakan sihir cahaya untuk menyembuhkan paus, aku akan memakai sihir ku juga!"
Sang Kaisar berbicara dengan melupakan formalitas, memberikan titah seraya dirinya langsung mendekati sang paus dan membaringkannya diatas meja. Void langsung merapalkan sihir, namun pedang Lilia mengarah ke arahnya, tetapi disaat yang sama Scintia sudah berpindah ke belakangnya seraya mengarahkan mata pedangnga ke leher Lilia.
"Apa yang akan anda lakukan? Sihir gelap tidak akan bisa memberikan penyembuhan kepada pemilik energi sihir cahaya! Menjauh dari–. Hey!"
"[Magic: Heal]"
Cahaya berwarna kebiruan terpancar dari telapak tangan sang Kaisar. Bercak cahaya biru itu bukanlah sihir energi gelap, tetapi energi sihir alam yang biasa dimiliki oleh para penyihir.
"Ratu Sylvia! Cepatlah!"
"A--ah! Baik!"
Rati Sylvia juga langsung mendekati sang Paus yang tengah terbaring, lalu dengan cepat ia merapalkan sihir penyembuh dengan energi sihir cahaya.
"[Magic: Holy Light]"
Sebuah bercak cahaya bak cahaya mentari terpancar dari telapak tangan sang Ratu yang diarahkan kepada sang Paus. Matanya terpejam, seluruh konsentrasinya teralih kepada penyembuhan.
Tiba-tiba sang Paus tertawa pelan seraya mengeluarkan ucapan di tengah rintihannya "Ahahaha ... Ghh ... Sudah kuduga ... Mereka bergerak ... Kaisar ... Uhh ... Kuserahkan ..."
"Berisik tua, kau tidak akan mati disini!"
Sebuah balasan yang begitu kasar seolah ia melupakan siapa yang tengah ia sembuhkan saat ini. Namun, sang Paus hanya tertawa, kemudian matanya terpejam seraya kesadarannya perlahan menghilang.
Tiba-tiba ledakan di tengah kota terjadi hingga menggentarkan bangunan mereka.
"Apa it–."
"Jangan berpaling, Ratu Sylvia! Jangan pedulikan apa yang ada diluar! Scintia Kau urus pasukan kita! Jenderal Helsper cepat siagakan pasukan kalian. Jika tidak rakyat anda–"
"Tunduklah, kalian semua!"
Suara yang begitu nyaring mereka dengar, begitu keras dan menggema seakan ia mengenakan pengeras suara untuk berbicara.
"Telah lama kami diinjak, telah lama kami dijauhi, telah lama kami menderita. Tetapi sekarang tidak lagi!"
Perempuan, Void tak melihatnya tetapi suara yang bergema itu adalah suara perempuan yang pernah berhadapan dengan Lilia di kota perdagangan.
"Hari ini adalah hari pembalasan! Setelah 500 tahun kami dipermalukan, kami akan membalaskan semuanya ... Demi Kekaisaran!"
Dalam sekejap semua berubah, sekali lagi Kekaisaran menjadi musuh umat manusia.
To be continue