Last Boss

Chapter 131



Chapter 131

0"Ambil ini, mungkin akan berguna untukmu."     

Mengkerut kening Lilia mendengarnya "Kenapa?" tanya gadis itu.     

"Tidak ada alasan khusus. Walaupun pedang tidak bisa dialiri sihir karena memang pedang itu dirancang khusus untuk tidak digunakan dengan sihir, tetapi murni untuk seorang kesatria. Aku yakin jika pedang ini bisa berguna untukmu," tutur Edward kepadanya sembari terus menyodorkan pedang itu kepadanya     

"Ed ..."     

Edward hanya tersenyum dan terangguk pelan seakan menyuruhnya untuk mengambil pedang miliknya itu. Lilia menghela napas pelan, kemudian menggenggam pedang itu dan menariknya perlahan keluar dari sarungnya.     

Bilah besi hitam dengan sisi yang amat tajam membuat matanya membulat sempurna karena begitu terkejut. Sebuah pedang yang sangat cantik yang terbuat murni dari baja yang sangat kuat, bahkan kekuatannya bisa ia rasakan hanya sekali memegang pedang itu.     

"Luar biasa ... Bagaimana kamu–."     

"Sst!" Suara itu menjeda ucapannya, Edward menaruh jari telunjuknya di depan senyuman tipis ya dan berkata "Rahasia seorang pedagang, orang lain tidak boleh tahu," kemudian ia memegang pundak gadis itu dan kembali berbicara "Pokoknya, gunakan saja pedang ini sesuka mu. Tapi karena aku hanya meminjamkannya, jadi setelah semua ini selesai tolong kembalikan, ya?"     

"Eh ...," ucapan seorang pedagang yang begitu perhitungan, begitu menjengkelkan hingga ia ingin bertanya kenapa dia meminjamkannya. Namun setelahnya seluruh perasaannya mengambil alih pikirannya hingga ia sadar, jika apa yang ia takutkan langsung menghilang "Ah," gadis itu dengan cepat langsung menjauh dari Edward seraya terus memeluk pedang pemberian lelaki itu, kemudian berbicara dengan suara berat "Kalau begitu saya berterima kasih, saya berjanji akan mengembalikannya segera. Kalau begitu saya permisi," ucapnya, kemudian pedang di genggamannya hilang dan meninggalkan bercak matrix yang mengudara lalu lenyap, menandakan ia menaruhnya di ruang penyimpanan sihir.     

Kemudian Neil berlari dengan cepat, menjauh dari tempat Edward berdiri. Dibalik senyumannya, gadis itu mengukir senyuman paling indah dalam hidupnya. Sebab, berkat pedang yang ia bawa, ketakutan akan kehilangannya teratasi dan meninggalkan kesan yang menghangatkan hatinya.     

**     

Dikala kota perdagangan terjadi sebuah pertempuran yang sengit antara Uridonia melawan pasukan asing yang tak diketahui darimana mereka berasal..     

Raja August von Uridonia memberikan sebuah titah kepada Jenderal prajurit barunya untuk mengerahkan militer secepat mungkin ke tempat terjadinya pertempuran. Namun bukan hanya mereka saja, tetapi Kerajaan Hertia juga melakukannya atas persetujuan dari Raja Uridonia. Tetangga di timur mereka, Kerajaan Gremain, melakukan hal serupa. Kerajaan yang terkenal dengan meriam-meriam perang mereka tanpa mengirimkan meriam berjalan mereka yang di bawa oleh gerobak dengan tenaga batuan sihir. Namun hanya kerajaan Meridonialis saja yang tak mengirimkan bantuan.     

Bukan tanpa sebab, mereka juga mengalami serangan yang sama di 3 kota sekaligus dan kini mereka lebih memilih fokus dengan kota-kota mereka dibandingkan kota perdagangan     

Namun, perjalanan mereka tidaklah sesingkat yang dikatakan. Perlu waktu beberapa jam untuk mereka sampai di kota perdagangan, lalu selama itu juga para kesatria atau pasukan suci harus bertahan dibawah gempuran musuh yang selalu berdatangan dari segala arah.     

Suara erangan para prajurit semakin terdengar, dentingan pedang yang beradu serta ledakan masih menghiasi kota perdagangan. Pemimpin kesatria suci, Lilia Neil'o, mempercepat larinya menuju pasar besar yang berada di tenggara kota.     

Lalu, langkah kakinya terhenti. Ia membeku untuk waktu yang lama kala menatap pemandangan mengerikan di pasar besar. Seluruh stan yang ada di sana lenyap, hanya meninggalkan kayu-kayu berbau hangus serta kain hitam karena terbakar.     

"Tidak ..."     

Pemandangan pahit nan menyedihkan, sehari sebelumnya ia bisa tertawa bersama lelaki yang membuatnya merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Terasa sangat sakit hingga di dalam helm besinya, sang pemimpin kesatria suci mengeratkan rahangnya penuh dengan amarah.     

Seseorang yang mencoba menyerangnya dari belakang langsung terbelah oleh pedangnya meski wajah gadis itu masih menatap ke depan.     

"Jangan main-main dengan ku!"     

Dia berteriak, kemudian langsung menerjang ke bagian tengah pasar besar dimana para kesatria suci yang bercampur dengan para penjaga tengah bertarung dengan puluhan pasukan asing.     

Kala menerjang, prajurit musuh mencegat namun Lilia dengan lihai menghindari segala serangan. Dirinya melompat seraya memutar bersama dengan ayunan pedangnya, menari ditengah medan perang dengan indahnya seraya tubuhnya terus disirami darah-darah musuh yang ia bunuh.     

"Haaaaa!"     

Ia menggunakan skill dengan paduan sihir pada pedangnya, mengayunkan hingga mengeluarkan tebasan angin yang amat kuat juga tajam hingga terbelah tubuh musuh-musuhnya.     

Sorot mata dibalik helm itu menjadi tajam, seluruh gerakannya menjadi berubah setelah ia melepaskan skillnya. Ayunan pedangnya terasa jauh lebih kuat dari sebelumnya, ia menerjang kesana-kemari seraya menebas semua kepala orang-orang berzirah hitam.     

Insting tajamnya bereaksi, reflek kepalanya menoleh kearah ke langit hingga kemudian ia langsung melompat kala sadar ada sesuatu yang terjatuh dari langit.     

"Ghaaaaaa!"     

Ogre, kembali monster itu berdatangan dan mengepung dari segala arah kala jumlah pasukan musuh juga mulai menipis. Raungan mereka menggetarkan tanah hingga meninggalkan rasa gemetar pada para prajurit penjaga kota.     

Namun Lilia berkata dengan lantang "Jangan gentar! Segera buat kelompok dan sebisa mungkin jatuhkan mereka! Ogre monster yang gerakannya lambat, meski begitu serangannya sangat kuat jadi berhati-hatilah!"     

Mereka kemudian serempak langsung menjawab "Baik!"     

Mereka segera langsung mematuhi ucapan Lilia dan membuat regu kecil yang masing-masing regu menghadapi monster-monster yang berdatangan, para pasukan suci juga terhitung di dalamnya. Mereka yang dianggap paling berpengalaman langsung memimpin penyerangan untuk melumpuhkan Ogre.     

Sedangkan itu Lilia berdiri seorang diri menghadapi dua Ogre sekaligus. Dirinya berdiri tegap seraya memegang pedangnya dengan dua tangan, menatap tajam kearah dua monster itu; menaruh dendam serta amarah yang melonjak di dalam tubuhnya.     

"Beraninya kalian menghancurkan ini, atas nama dewa aku akan membinasakan kalian!"     

Lilia menerjang dengan cepat kearah monster-monster itu. Salah satu monster mengangkat balok kayu dan menjatuhkannya di arah ia berlari, namun kecepatannya tak dapat menyamai kecepatan Lilia hingga berhasil lolos dengan mudahnya. Lilia berseluncur diatas tanah dengan kedua lututnya melewati sela-sela kaki monster raksasa itu seraya menebaskan pedangnya.     

"Ghaaaaaa!"     

Meraung kesakitan monster itu seraya dirinya jatuh sesaat setelah terpotong kakinya dengan sangat rapih. Namun Lilia tak berhenti disana, dirinya langsung kembali berlari kearah monster yang terjatuh itu lalu menjadikannya pijakan. Ia melompat ke salah satu monster dan menendang rahangnya, kemudian kembali melompat seraya mengayunkan pedangnya dari setinggi langit hingga terus terseret ke bawah bersamaan dengan jatuhnya Lilia.     

Lalu gadis itu kembali mengambil pijakan dari monster yang terjatuh. Balok kayu monster itu ayunkan ke arahnya, namun dirinya melompat seraya meliukan tubuhnya hingga terhindar dari serangan itu, kemudian tebasan pedangnya tepat menebas leher monster raksasa hingga monster itu tak bisa lagi meraung.     

Dua monster ia jatuhkan dalam sekejap, hingga menyisakan satu monster yang masih tergeletak dan meraung-raung kesakitan. Kaki yang masih menginjak tubuh monster itu perlahan mendekati bagian kepalanya yang tengah meronta dan meraung-raung.     

Lalu tanpa segan sedikitpun, tanpa rasa kasihan juga ampun, Lilia menancapkan pedangnya hingga menembus kepala monster itu tanpa mengeluarkan kata-kata ataupun erangan penuh emosi. Ia hanya menghela napas setelahnya, kemudian melirik kembali kearah para pasukan yang sedang melawan Orge. Mereka semua berhasil tanpa jatuh korban, hingga Lilia sadar jika seluruh orang-orang berpakaian hitam itu menghilang.     

"Aneh ..."     

Suara dentingan pedang telah berhenti, tak ada lagi teriakan kesakitan ataupun ledakan. Seluruh prajurit bersorak-sorai gembira atas kemenangan mereka. Namun berakhirnya pertempuran mereka dengan tiba-tiba dan berganti dengan kesunyian, meninggalkan rasa janggal di dalam hati sang pemimpin kesatria suci.     

"Huh!?"     

Lilia melompat mundur kala sebuah trisula yang terbuat dari energi gelap jatuh dari langit.     

"Tch!"     

Lilia berdecih kala dugaannya benar jika semuanya belum berakhir.     

"Luar biasa, sudah kuduga kau bisa menghindarinya."     

Scintia menoleh ke segala arah, bahkan ke langit juga namun ia tak bisa melihat siapapun. Hingga sesosok perempuan dewasa muncul di tengah-tengah tempat pasar besar, ia mengenakan mantel hitam dengan kerah berbulu berwarna putih, ia juga mengenakan sebuah anting dengan bandul kristal berwarna hitam. Perempuan itu juga membawa sebuah tongkat sihir dimana terdapat kristal sihir berwarna merah darah yang mengambang di bagian atasnya. Rambutnya bergaya ekor kuda dengan warna kuning terang, sorot matanya amat angkuh seakan meremehkan Lilia.     

Tercekat napas Lilia kala dirinya melihat tubuh ogre yang ia injak sebelumnya menghilang bersamaan dengan trisula hitam legam itu. Dengan cepat ia langsung memasang kuda-kuda seraya mengawasi segala pergerakannya.     

"Siapa kau?" tanya Lilia penuh waspada.     

Terkekeh wanita itu mendengarnya "Kenapa? Begitu pemasarannya kah kamu kepada bibi?" balas wanita itu berlagak ramah.     

"Jawablah!" bentak Lilia.     

"Wah seram! Bibi jadi takut. Tapi, benar juga ya ... Dimana pun kita harus berkenalan ya. Baiklah," ucapnya sembari tersenyum ramah, lalu ia memutar-mutar tongkat sihirnya lalu mengarahkannya ke arah Lilia seakan tengah melakukan atraksi kecil "Perkenalkan, aku adalah Puppete Magician, nama ku Bell. Senang bertemu dengan anda, Tuan Neil'o ... Atau mungkin harus ku panggil, Nona?"     

Menegang wajah Lilia dari balik helmnya, para prajurit–selain pasukan kesatria suci yang mendengar itu juga menjadi terheran kala mendengar panggilan Nona yang diberikan oleh wanita misterius itu. Namun seakan tak ingin memikirkan hal itu lebih dulu, ia langsung mendesaknya dengan pertanyaan     

"Apa yang kau inginkan? Apakah kau dalang dari semua ini? Apa tujuan mu sebenarnya!"     

Namun, bukannya gentar. Wanita itu tertawa lebar hingga suaranya menggema ke sekitar area itu.     

"Hahahahaha! Benar, aku adalah dalang dari semua ini. Bagaimana? Hebat bukan? Boneka-boneka ku?"     

Terheran seketika Lilia mendengarnya, hanya reaksi bingung yang ia berikan kepada perempuan itu.     

"Huh?"     

Terkekeh kembali Bell untuk sesaat, kemudian berkata "Benar, mungkin akan sulit untuk kau mengerti ... Bagaimana jika ...," Bell kemudian mengayunkan tongkatnya searah jarum jam kemudian menghentakkan tongkatnya ke tanah "Begini!"     

Seluruh mayat orang-orang berjubah hitam kembali berdiri, tubuh mereka yang terpotong juga kembali menyatu dengan sempurna hingga mampu untuk berdiri kembali seperti semula.     

Wajah seluruh prajurit termasuk Lilia menegang seketika, mereka tak percaya dengan apa yang mereka lihat, semuanya seakan menjadi mimpi buruk yang sangat panjang bagi mereka semua.     

Tawa lepas diberikan Bell kala ia melihat reaksi menyedihkan para prajurit yang sudah menjatuhkan tombak mereka ke tanah "Beginilah maksudku, apa kau mengerti, Nona kesatria? Mau berapa kali pun kalian mengalahkannya, mereka tidak akan pernah mati. Mereka adalah boneka-boneka kesayangan ku, bagaimana? Hebat bukan? Mereka adalah seni terhebat ku!"     

Menekankan dirinya untuk tenang, pertanyaan sinis Lilia keluarkan "Boneka? Yang kulihat mereka hanyalah orang-orang yang kau paksa untuk hidup? Jangan sembarangan mengakui itu seni jika kau hanya mengambilnya dari orang lain."     

Meradang Bell mendengarnya, wajahnya menjadi marah seraya mengerang menatap Lilia.     

Lilia kembali bertanya "Katakanlah, apa tujuan mu sebenarnya? Apa yang kau inginkan dari kota ini?"     

Terkekeh Bell mendengarnya, ia menutupi sedikit mulutnya dengan punggung tangannya seraya memasang ekspresi angkuh kembali "Uhuhu, ingin tahu? Sebenarnya tidak ada."     

"Huh? Apa maksudmu!?" tanya Lilia kembali dengan bentakan yang amat keras.     

Bell kembali menjawab "Seperti yang kubilang, kami tidak memiliki rencana apa-apa. Diriku hanya menguji boneka-boneka ku saja, ya walau tidak sebanding dengan mu tetapi setidaknya mereka bisa membuat satu kota hancur. Mungkin aku akan–."     

Lilia menerjang dengan sangat cepat seraya mengayunkan pedangnya kearah perempuan itu. Namun sayangnya reaksi Bell tidak kalah cepat, ia langsung membuat sebuah pelindung sihir yang amat kuat hingga memantulkan kembali serangan Neil.     

Lalu dirinya melompat mundur, ia mengambil sikap kuda-kuda sempurna; berdiri tegak, tubuhnya menyamping sempurna dengan wajah tetap menghadap ke arah target, dua tangan menggenggam pedang dengan erat tepat di samping wajahnya.     

"Sword Style, Guilty thorns, Second Form!"     

Lilia menghilang, setelahnya perisainya terguncang begitu keras seakan di tabrak sesuatu namun tak bisa Bell lihat apa yang menabraknya. itu adalah teknik Lilia, dia menerjang dengan sangat cepat, lurus hingga berkali-kali menabrak dan menyerempet kubah pelindung Bell yang teramat kuat.     

Berkali-kali Neil melakukan serangan yang membabi-buta dengan harapan pelindung itu hancur, namun semuanya sia-sia. Semua serangannya tidak membuat sedikitpun retakan ataupun goresan yang berarti.     

"Sia-sia saja, dengan kekuatanmu yang sekarang, kau tidak akan pernah bisa mengalahkan ku ... Bahkan dengan pedang rune mu itu."     

Bell menggerakkan sedikit tongkatnya, hingga di serangan berikutnya kembali mengenai pelindung sihir, Lilia dibuat terpental cukup jauh dari posisinya berdiri.     

"Aaaaaagh!"     

Terpelanting hingga helmnya terlepas dari kepalanya, zirahnya mulai retak dan pelindung bagian bahu kiri juga kedua kakinya sudah hancur hingga melihat tubuh seorang gadis yang tampak amat rapuh. Para prajurit sekali lagi tak menyangka bila mereka dapat melihat sosok Niel yang sebenarnya, seorang gadis yang amat cantik nan manis yang tengah mengerang kepada perempuan misterius di depannya.     

Tak mengenal menyerah, Lilia kembali bangkit dengan kedua kakinya yang sedikit gemetar. Namun, ia berhasil berdiri dengan gagahnya seraya memberikan sorot mata tajam kepada Bell.     

Bell yang melihatnya kembali berhasil bangkit hanya tersenyum kagum kearahnya.     

"Holy Magic: Self-heal!"     

Seluruh tubuh Lilia dalam sekejap di selimuti cahaya terang untuk sesaat, lalu setelah cahaya itu menghilang, seluruh luka yang ada di tubuhnya menghilang; tak ada lagi rasa sakit di dalam tubuhnya ataupun diluar tubuhnya. Mereka yang melihat, bahkan Bell begitu terkejut kala melihat sihir penyembuhan yang amat dahsyat itu.     

Lilia melepaskan zirah-zirahnya yang sudah rusak, menghancurkannya dengan mudah bagaikan merobek sebuah kertas hingga menyisakan zirah yang masih utuh.     

"Aku tidak tahu siapa kalian dan apa tujuan kalian yang sebenarnya, tetapi jika tujuanmu yang sesungguhnya adalah seperti yang kau katakan ... Sungguh, dewa tidak akan pernah mengampuni mu."     

Suaranya amat tenang, namun terdengar sangat mengancam. Bell tertawa lepas kala mendengarnya "Dewa? Kenapa kau terus percaya dengan sosok itu? Mereka bahkan tidak peduli dengan kondisi dunia ini ... Lalu dia sendiri menebarkan kebencian kepada kalian dan meminta kalian meminta bantuannya untuk berlindung dari kebencian itu ... Ah sungguh, betapa bodohnya dirimu!"     

Seluruh boneka Bell langsung bergerak serentak keadah Lilia yang tengah berdiam diri. Namun tanpa hitungan detik, seluruh bonekanya terpenggal. Terbelalak mata Bell tak percaya apa yang ia lihat, ia menggeram dan kembali menggunakan kekuatannya untuk memulihkan boneka-boneka itu dan kembali menyerang.     

Tetapi Lilia dengan kembali memotong mereka dengan sangat cepat, hingga hal itu terus berulang. Kemudian Lilia berjalan begitu santai seraya terus mengayunkan pedangnya kearah orang-orang berjubah hitam yang terus menerjang kearahnya. Terus berjalan mendekati Bell seraya mengayunkan pedang yang amat ringan itu, pedang hitam legam dengan baja yang amat kuat namun jauh lebih ringan dibandingkan pedang rune miliknya.     

"Gh!"     

Hingga sampai di depan Bell lagi, Lilia mengayunkan pedangnya kearah perempuan itu dan penghalang itu kembali muncul menghadangnya. Akan tetapi, semuanya berbeda. Serangan Lilia jauh lebih kuat dan tidak lagi memantul seperti pedang rune miliknya.     

"Apa!?"     

"Heh, sudah kuduga jika penghalang mu ini hanya memantulkan sihir. Pedang Rune selalu dilapisi oleh sihir setiap kali digunakan, karena itu pedang milikku tidak akan bekerja. Meski begitu, harus kuakui ... Jika penghalang mu sangat kuat ... Gh ..."     

Dua kekuatan itu beradu, Bell tampak terus menahan dikala Lilia terus menekankan pedangnya. Namun, itu hanyalah lagak Bell semata. Ditengah adu kekuatan itu, Bell langsung berdiri tegak sembari tersenyum angkuh.     

"HAHAHAHA! APA KAU PIKIR HANYA KEKUATAN SEPERTI ITU KAU BISA MENGALAHKAN AKU!?"     

Bell menghantamkan tongkatnya ke tanah hingga menciptakan gelombang tak terlihat yang sangat kuat. Sekali lagi Lilia terpental cukup jauh, namun kali ini pedangnya tak ia lepaskan dari tangannya begitu saja.     

"Lilia Neil'o. Seperti yang dibicarakan kau memanglah sangat kuat, tetapi itu masih belum cukup bahkan dengan bantuan pedang itu ... Darimana kau sebenarnya mendapatkan pedang seperti itu? Ah ya terserahlah," tutur Bell merendahkan segala usaha Lilia dengan kesombongannya, kemudian ia mengetuk tanah dengan pelan dan kemudian sebuah lingkaran sihir terbentuk dibawah kakinya "Kurasa sudah cukup main-mainnya, aku harus kembali dan meningkatkan kembali boneka-boneka ku. Semua ini belum berakhir, kita akan bermain-main lagi nanti, Lilia," kemudian sosoknya menghilang.     

Bersamaan dengan seluruh orang-orang berjubah hitam.     

Lilia hanya tertunduk sembari terus menggenggam pedang itu dengan sangat erat seakan ia tak ingin melepaskannya. Dirinya terus terduduk disana dan tak lama kemudian, entah sejak kapan langit cerah menjadi mendung dan perlahan rintik hujan mulai membasahi kepala dan pundaknya. Meski demikian, dirinya masih terdiam tak berbuat apa-apa hingga para kesatria suci mendekatinya. Seolah tak terjadi apa-apa, Lilia langsung berdiri tegak dan memerintahkan mereka untuk kembali ke gereja dan mengajak sisa pasukan penjaga untuk berkumpul di gereja. Meski identitasnya telah terbongkar, tetapi Lilia tetap berlagak sebagaimana Neil'o yang selalu jarang bicara dan juga berekspresi.     

Mereka kembali ke gereja untuk berkumpul dengan pasukan lainnya, lalu melihat para penduduk yang juga berlindung disana. Vienna tersentak untuk sesaat kala melihat helm Lilia terlepas dan ia berjalan bersama dengan prajurit penjaga lainnya. Namun Lilia hanya menggeleng seakan mengisyaratkan jika ia enggan untuk berkata apa-apa.     

Lalu pertempuran di kota perdagangan pun berakhir.     

Beberapa saat kemudian, pasukan bala bantuan datang disaat yang terlambat. Lilia dengan zirah barunya langsung segera menemui Jenderal dari Uridonia serta para pemimpin pasukan bantuan dari kerajaan lain untuk menjelaskan apa yang ia ketahui dan apa yang sebenarnya terjadi.     

Sebab dari pertempuran itu hanya meninggalkan bangunan-bangunan yang hancur serta beberapa ogre yang sangat tak mungkin bisa menghancurkan 70% apa yang ada di kota perdagangan. Terlebih, seluruh mayat orang-orang berjubah hitam yang mayoritas dilaporkan oleh para penjaga kota, semuanya tidak ada di lapangan.     

Kota perdagangan lumpuh total, banyak pedagang yang pergi dari kota itu dan memutuskan untuk kembali ke kerajaan mereka dan melanjutkan usaha mereka. Kerajaan Uridonia juga rugi besar karena perlu membangun kota kembali serta mengganti kerugian para pedagang yang ada di pasar besar. Sebab Kerajaan Uridonia memberikan harga sewa yang cukup tinggi untuk tempat itu dan mereka juga berkata jika keamanan disana sangat terjamin, akan tetapi hari ini semuanya terbantahkan dan Kerajaan Uridonia dituntut oleh para pedagang di pasar besar untuk mengganti rugi barang-barang mereka yang rusak disana. Tetapi itu tak berlaku untuk para pemilik toko yang sudah menetap di suatu bangunan disana, sebab mereka yang tinggal disana adalah penduduk asli Uridonia yang akan mendapatkan kompensasi yang berbeda dari Kerajaan.     

Meski begitu ada satu toko yang tidak murni berdarah Uridonian. Lalu toko itu juga salah satu toko yang tetap buka disana, meskipun mereka tidak berdagang.     

Toko bernama Bellesia yang dimiliki oleh Edward melakukan upaya bantuan kecil-kecil seperti membagikan makanan untuk para penduduk yang terkena dampak dari serangan yang mengakibatkan mereka kehilangan harta juga tempat tinggal dan juga untuk para pekerja yang mulai membangun kota setelahnya.     

Lilia juga melihatnya, seseorang yang harus ia temui sedang membagikan sup hangat serta berbagai macam roti kepada para penduduk lokal. Ia ingin mendekat, ia ingin banyak berbicara sebelum dirinya harus kembali ke Holy Civitas atas panggilan ayahnya atau tepatnya seorang paus pemimpin gereja pusat. Tetapi, ia merasa tak sanggup untuk melakukannya. Sesuatu di dalam dirinya menahan ia untuk mendekat, hingga ia mengurungkan seluruh niatnya untuk pergi kesana.     

Lilia kembali ke taman itu, taman dimana mereka sosoknya sebagai seorang gadis bertemu dengan pria berambut itu. Ia terduduk di kursi dimana lelaki itu duduk sebelumnya, hanya terdiam sembari menatap langit biru yang amat cerah.     

Lalu giginya mengerat begitu kuat. Rasa kesal dirinya tak menghilang dengan mudah, pertarungan sebelumnya adalah kekalahan telak baginya. Jika ia tidak memiliki pedang yang diberikan Edward, ia tidak yakin jika bisa bertahan lebih lama lagi ... Bahkan ia tidak yakin bisa mengalahkannya.     

Sosok pemimpin kesatria suci yang disegani oleh para kesatria dan dianggap sebagai sosok paling kuat hingga mampu menyamai jenderal Andares dari Hertia, kalah dengan mudahnya melawan sosok perempuan misterius bernama Bell itu.     

Kesal, jengkel, marah serta malu bercampur menjadi satu di dalam dirinya, hingga ia merasa jika dirinya tak lagi pantas menjadi seorang pemimpin kesatria suci.     

"Syukurlah tidak sulit menemukan mu, Lilia."     

Namun dalam sekejap, semua perasaan itu hilang untuk sesaat. Wajahnya langsung menghadap ke depan dan matanya langsung mendapati sosok pria berambut putih yang ingin ia temui, mendatanginya dengan senyuman tipis yang biasa menghiasi wajah lelaki itu.     

"E--Edward?"     

"Ahaha ... Kemarin benar-benar kacau ya, beruntung tempat ini tidak hancur."     

Lilia memalingkan wajahnya tanpa sebab seraya bertanya kepada Edward.     

"Apa yang kamu lakukan disini?"     

Edward langsung menjawab "Tentu saja untuk mengambil pedang ku lagi," alasannya benar-benar sederhana hingga membuat Lilia merasa terkejut, tetapi lelaki itu melanjutkan ucapannya "Bercanda ..."     

"Eh?"     

"Ya walau tidak sepenuhnya bercanda, sih. Tetapi aku datang kesini karena benar-benar mencarimu, sebelumnya kau datang ke toko ku, kan?"     

"Ah ..."     

Merona wajah Lilia mendengarnya, keberadaannya disadari oleh lelaki itu hingga berhasil membuatnya tersipu malu.     

"Karena itu ketika aku melihatmu pergi lagi, aku sedikit cemas dan akhirnya mengikutimu ... Lalu, bukankah kemarin pertarungan hebat?"     

"Eh?"     

"Yah, aku tidak tahu apa hasilnya. Tapi sebagai mantan petarung aku juga bisa merasakan adanya kekuatan besar disana, walau aku tidak tahu siapa itu. Tapi ya, siapa peduli? Setidaknya kamu sudah berjuang dan menyelamatkan penduduk kota dan berhasil kembali dengan selamat."     

Lilia membantah seraya menundukkan kepalanya dengan kasar, suaranya menjadi keras hingga terkesan membentak Edward     

"Tapi aku tetap gagal melawannya! diriku bahkan tidak bisa melukainya sedikit pun aku ... aku–."     

Namun Edward memotong ucapannya dengan lembut.     

"Menurutku itu bukan sesuatu yang buruk, Lilia."     

Lilia kembali berbicara dengan keras seraya mengangkat wajah penuh emosinya; menatap kearah Edward.     

"Kenapa kamu bisa berkata seperti itu? apakah kamu tidak tahu jika dia adalah orang yang berbahaya? kemampuannya sangat tidak normal, jika dibiarkan begitu saja maka orang lain akan bahaya, tidak, bahkan dunia ini!"     

"Tapi kamu tidak memiliki tanggung jawab itu."     

"..."     

Tersentak Lilia mendengar jawabannya, perasaannya semakin jengkel namun ia tak bisa marah kepada Edward. Ucapannya benar, itulah yang ada dipikiran Lilia setelah mendengarkan ucapannya.     

Edward semakin mendekatinya kemudian berlutut di depannya seraya kembali berbicara.     

"Lilia, hanya karena kamu kalah, bukan berarti akan seterusnya seperti itu. Kekalahan mu bukanlah kekalahan mutlak selama kamu masih hidup. Jika dirimu gagal mengalahkan musuh mu, maka pelajari dia dan aku yakin, jika itu dirimu maka kamu pasti bisa melakukannya. Penilaian seorang pedagang tidak pernah salah, haha."     

Edward mengibarkan senyuman lembutnya dihadapan gadis suci itu. Wajah Lilia memerah bagaikan sebuah apel pada masa panen, begitu memerah karena merasa sangat malu untuk beberapa alasan.     

Sesak di dadanya kembali, kebahagiaan yang tidak ia rasakan kala pertarungan berlangsung kembali menerpa dirinya. Ia hanya menunduk seraya memejamkan matanya.     

'Astaga! Astaga! Astaga! ini buruk, aku tidak bisa menahannya. Jika seperti ini terus, maka aku akan gagal jadi biarawati!' batinnya linglung akan perasaan manis yang terus mendesaknya untuk melakukan kontak fisik dengan pria yang ada di depannya.     

"Ahahaha, Lilia sepertinya kamu sudah mencapai batas mu ya."     

"Nona Lilia, apakah anda lupa jika anda biarawati?"     

Lilia tersentak seketika mendengar suara yang tak asing lagi di telinganya. Dirinya langsung menoleh kebelakang kala wajahnya masih memerah, hingga nampak semua segala bagian di wajahnya amat memerah disertai ekspresi yang begitu panik.     

"Vi--Vi!? Kenapa kamu ada disini? Ba--bapa Joshua juga!? i--ini bukan seperti yang kalian lihat ... hanya saja, kami ..."     

Dirinya terpergok oleh orang-orang gereja dan untuk pertama kalinya, sang Iblis bertemu dengan seorang pastor gereja ... sosok yang seharusnya ia hindari, justru datang menghampiri.     

To be continue     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.