Chapter 119 - Identitas Edward
Chapter 119 - Identitas Edward
Setelah 3 tahun menjalani sekolah kesatria lalu dilanjut dengan 1 bulan pemantapan mereka sebagai prajurit, kini para kadet yang memasuki pelatihan pemantapan untuk menjadi prajurit Kekaisaran telah berakhir.
Langkah mereka keluar gerbang pelatihan, masa depan yang tak terlihat dengan kesetiaan penuh yang mereka berikan kepada sang Kaisar mereka tapaki bersama. Lulusnya semua prajurit dari pelatihan, memberi peningkatan yang cukup besar bagi prajurit Kekaisaran.
Mereka yang lulus akan langsung ditempatkan di berbagai markas prajurit Kekaisaran yang ada di dalam ataupun luar kota Kekaisaran, lalu hari itu juga seluruh tubuh, jiwa dan raga mereka akan menjadi milik Kekaisaran.
Namun, hal itu tidak terjadi kepada 3 lelaki yang merupakan kader dari benteng Drachen. Kala mereka ingin melangkah keluar bersama yang lain, mereka bertiga diminta untuk menetap oleh seorang prajurit senior atas perintah dari Belial.
Sorot mata penuh tanya dan lagak tawa yang dikeluarkan kadet lain mereka dengar maupun lihat, beranggapan bila 3 lelaki itu kembali melakukan sebuah kesalahan yang mungkin membuat mereka gagal menjadi prajurit. Ivaldi dan Edward mungkin tak membalas ucapan mereka, Retto sempat membentak mereka dan melempar mereka dengan pasir.
"Jangan sembarangan bicara kalian brengsek!"
Begitu teriaknya, meski hanya disahuti oleh tawa dan ejekan dari para kadet. Prajurit-prajurit senior pula tak mengambil tindakan meski melihat amarahnya meluap, mereka hanya melihat dalam diam dengan wajah datar seakan tak peduli dengan tindakan Iblis berambut merah itu.
"Retto tenanglah, jika kita tidak lulus maka tidak mungkin prajurit senior akan menaruh medali di dada kanan kita, kan?" ucap Edward mengingatkannya akan medali pertama yang mereka dapat dan menjadi sebuah bukti jika mereka bukan kadet lagi.
"Aku tahu! Tapi mereka menyebalkan!" balas Retto, sorot mata dengan ekspresi marahnya tertuju jelas kepada para kadet yang sudah keluar dari gerbang benteng Drachen; menuju ke Ibukota Kekaisaran–semua kadet di benteng Drachen ditempatkan di markas militer Ibukota Kekaisaran.
"Tapi, kenapa ya Tuan Belial menyuruh kita menunggu disini?" tanya Edward seraya mengangkat wajah bingungnya menghadap langit biru yang amat cerah.
"Entah," balas Ivaldi seraya memejamkan matanya.
"Ed! Apa kau membuat kesalahan lagi?" tanya Retto tiba-tiba menuduhnya dengan raut wajah marah.
"Tunggu! Selama sepekan ini aku tidak membuat masalah sama sekali loh!" balas Edward tak terima dengan ekspresi jengkel yang dibuat-buat.
Retto mendekat seraya melemparkan lagi beragam tuduhan kepada Edward
"Tapi selama sebulan ini hanya dirimu yang paling sering berbuat masalah, kan!?"
Edward pula mendekat seraya memasang wajah yang tampak begitu marah, meski terkesan begitu dibuat-buat.
"Haaa!? Tapi aku sudah menjalani semua hukumannya! Jadi tidak masalah!"
"Pastinya tidak begitu! Aku yakin karena masalah mu itu belum benar-benar selesai!"
Mereka semakin mendekat, masing-masing tangan mereka saling mencengkram kerah pakaian mereka, saling memberikan tatapan melotot; memberikan tatapan penuh kebencian.
"Kalian benar-benar akrab ya," tukas Ivaldi
"Mana ada!" Jawab dua Iblis di depannya dengan setempak.
Kala mereka saling bersitegang dengan segala tuduhan yang mereka lemparkan, tanpa mereka sadari sosok yang menjadi pemimpin seluruh pasukan Iblis tengah berjalan mendekat sembari terus mengamati mereka.
"Ahem!"
Hingga suara deham khasnya membuat mereka gemetar dan langsung melepaskan masing-masing cengkraman kemudian berdiri tegak dan diam bak sebuah patung.
Belial berjalan mendekati mereka dengan zirah tebal serta pedang besar yang menggantung di punggungnya, sebuah pakaian yang amat tidak biasa dimata mereka. Selama pelatihan sejak awal hingga tadi pagi saja, Belial tak pernah mengenakan zirah yang menutupi bagian depan dan belakang tubuhnya. Hanya mengenakan plat baja dengan duri tumpul di kedua pundaknya dan memakai sepatu besi yang melindungi telapak hingga punggung kakinya.
Lalu dirinya juga tidak datang seorang diri, melainkan dengan seorang pelayan yang pernah mereka temui satu kali.
"Dia ..."
Retto mengingatnya dengan jelas, pelayan yang pernah berbaik hati kepada Edward saat mereka akan pergi ke Ibukota untuk membantu penjaga disana.
"Bagus, kalian semua sudah berkumpul. Kalau begitu kita akan segera pergi," ucap Belial dengan tegas.
Diselimuti kebingungan, Retto bertanya dengan sedikit terbata-bata "Ma--maaf, Tuan Belial. Jika boleh tahu kemana kita akan pergi? Lalu apakah kami melakukan kesalahan sampai dipisahkan dengan kelompok lain?"
Terdiam sejenak seraya menutup mata Belial ketika dirinya mendengar pertanyaan itu, kemudian menjawab "Tidak, kalian tidak melakukan sesuatu yang buruk. Walau ya, harus kuakui kalian bertiga memang prajurit yang selalu membuat masalah."
"Nah, Tuan Belial, tolong salahkan itu kepada Retto," ucap Edward dengan mata terpejam seraya tersenyum puas.
"Hah!? Kenapa aku!? Kau yang sering berbuat masalah!" bentak Retto membantah tuduhan Edward.
Raut wajah mereka yang tega; menahan segala emosi kala berhadapan dengan Belial, dalam sekejap meledak begitu mereka slaing memancing emosi yang mereka tahan
"Hah!? Bukannya kau yang sering berisik sampai diperingati senior berulang kali!?"
"Menurutmu apa alasanku terus berteriak!? Semua itu salahmu, Edward!"
"Kenapa aku!? Kau sendiri padahal yang sering teriak-teriak tidak jelas!"
"Sudah kubilang, semua itu karena kebodohan mu!"
Hingga teman mereka yang selalu diam mulai bicara dengan niat menengahi mereka.
"Bukankah kalian berdua sama saja?"
"Kau juga sama salahnya!"
Namun bentakan yang lebih keras Ivaldi terima hingga membuatnya terdiam seraya memalingkan wajahnya.
"Menurutmu salah siapa yang sering terlambat latihan pagi!?" bentak Retto.
"Kau juga pernah tertidur saat ditengah latihan!" bentak Edward.
Suara mereka yang begitu lantang hingga menggema di benteng yang sunyi itu, emosi yang menguasai mereka hingga membuat mereka melupakan dua sosok di depan mereka. Hingga tawa kecil seorang gadis mengembalikan kesadaran mereka dan merasa gelisah dalam sekejap.
Belial kemudian berbicara kembali kepada mereka "Kalian benar-benar akrab, ya, astaga. Seperti yang ku bilang jika kalian dipisahkan bukan karena masalah yang kalian perbuat, meski terkadang kalian tidak disiplin tetapi nilai kalian cukup tinggi diantara prajurit lainnya, jadi tidak masalah. Alasan ku menahan kalian disini karena ada seseorang yang ingin bertemu dengan kalian, karena itu kami akan mengantar kalian kepada beliau."
Tutur kata Belial semakin membuat mereka bingung, bahkan mata Ivaldi yang sedar tadi terpejam juga langsung kembali sebab dirinya penasaran.
Retto kembali bertanya "Jika boleh tahu, siapa yang ingin bertemu dengan kami? Sepertinya orang itu bukan orang yang kami kenal."
Belial membalasnya dengan pertanyaan "Kenapa?"
"Karena anda menggunakan kata Beliau," jawab Ivaldi menggantikan Retto yang memilki dugaan serupa "Jika anda menggunakan kata Beliau, maka ada beberapa kemungkinan yang kami duga. Orang itu mungkin lebih tinggi dari anda, orang itu mungkin sangat anda hormati, orang itu mungkin adalah kerabat dekat anda. Selama kami berlatih disini, kami belum pernah menemui seseorang yang jauh lebih tinggi dalam hal kedudukan."
Terkekeh Belial mendengar penjelasan dari seorang Iblis muda itu "Pengamatan yang bagus, Ivaldi, Retto juga," puji Belial.
"Sepertinya prajurit yang anda latih tahun ini memiliki nilai lebih, ya, Tuan Belial," ucap pelayan disampingnya juga memuji mereka.
"Benar, mungkin bagian intelejen militer Kekaisaran semakin lebih baik jika ada mereka," sahur Belial.
Kepala dua prajurit Iblis itu menunduk seketika "Terima kasih," ucap mereka dengan penuh rasa hormat. Namun, diantara mereka hanya ada satu yang masih berdiri tegap dengan pandangan sedikit yang merendah.
"Kenapa, Edward? Apa ada yang kamu pikirkan?" tanya Belial menyadari apa yang tengah dilakukan oleh Iblis berambut perak itu.
Edward langsung menjawab "Tidak, hanya ada satu orang yang bisa saya duga."
Kembali tegak Retto dan Ivaldi kala mereka mendengar jawaban itu, raut wajah mereka tampak bingung disertai dengan kening yang mengkerut dengan kuat.
"Ho? Katakan, siapa menurutmu yang ingin bertemu dengan kalian," ucap Belial lagi seraya melipat kedua tangannya di depan tubuh kemudian memejamkan matanya.
Edward kemudian menjawab dengan senyuman kecil di wajahnya "Orang yang memiliki peringkat lebih tinggi dari anda, orang yang paling anda hormati, orang yang mungkin dekat dengan anda. Dari segala apa yang dikatakan Ivaldi hanya ada satu orang yang saya curigai, yaitu ... Kaisar Iblis Agung, Paduka Void."
Sebuah kemungkinan yang tak mungkin mereka dapatkan di ucapkan oleh Iblis berambut perak itu, sontak wajah mereka menegang dalam sekejap mendengar dugaan yang mereka anggap tak mungkin terjadi itu. Namun sebelum dibantah Edward langsung menjelaskan kepada mereka semua.
"Berdasarkan sejarah Kekaisaran, Tuan Belial adalah Jenderal pertama yang diangkat oleh paduka Void ketika beliau belum lama naik takhta menjadi penguasa mutlak Kekaisaran. Dari sana saja sudah jelas seberapa dekat dan apa saja yang telah mereka lalui, terlebih Tuan Belial juga memiliki peranan penting kala perang besar 500 tahun berlangsung. Lalu, Sebagai seorang Jenderal–. Tidak, bahkan seorang prajurit seperti kami pun seharusnya tahu siapa orang yang harus paling kami hormati, tidak lain tidak bukan hanyalah paduka Void, apa benar?"
Tersenyum puas Iblis perak itu kala menuturkan segala alasan kenapa ia menduga sosok yang begitu agung di tanah Kekaisaran adalah orang yang ingin menemui mereka.
Belial tertawa pelan, lalu menjawab "Benar sekali, sosok yang akan kalian temui adalah paduka Void. Saya tidak diberitahu apa alasannya, jadi persiapkan diri kalian untuk menemui paduka Void," jelasnya, kemudian dirinya menoleh sedikit kearah Scintia yang selalu berdiri di sampingnya "Lalu perempuan yang disamping ku adalah Nona Scintia, kudengar kalian pernah bertemu dengannya sekali, apa benar?"
Retto menjawab dengan terbata "A--ah be--benar, saat kami diserang monster ketika sedang menuju Ibukota."
Belial mengangguk pelan "Ya. Nona Scintia bukanlah pelayan biasa, tetapi Nona Scintia adalah pelayan pribadi Kaisar Void."
Kejutan yang tak mereka duga. Retto ternganga begitu tahu identitas pelayan itu sebenarnya. Mulutnya tak bisa berkata-kata lagi dengan mata yang terus terpaku kepada Scintia.
Terkekeh pelan Scintia melihat reaksi mereka, kemudian ia perlahan mengangkat sedikit rok yang menyatu dengan seragam bersamaan dengan pundak yang merendah dan kepala yang sedikit menunduk.
"Perkenalkan, saya adalah pelayan pribadi Kaisar Void, nama saya Scintia," ucapnya mengenalkan diri.
Kemudian Belial menyambung ucapannya "Nona Scintia akan mengantarkan kalian menemui paduka Void di Istana, jadi persiapkan diri kalian dan jangan ribut. Karena sebentar lagi kalian akan bertemu dengan penguasa Kekaisaran."
Dengan perasaan yang masih diselimuti kebingungan serta gelisah tanpa sebab, ketiga prajurit itu kemudian menjawab dengan serempak.
"Baik!"
Kemudian tanpa berkata-kata lagi, Belial dan Scintia berdiri di dekat mereka lalu dalam sekejap mereka berlima berpindah tempat. Pemandangan tembok tebal dengan tanah lapang, berganti menjadi aula yang begitu kuas dengan dinding dicat warna merah. Di atas langit, mereka melihat lampu hias yang terbuat dari serpihan kristal sihir. Degup jantung mereka menjadi lebih cepat, perasaan kagum yang tak bisa tertahankan itu juga membuat mereka gemetar seakan merasa tak pantas bagi mereka untuk menginjakkan kaki disana.
Terlebih setelah mereka mendengar dimana mereka berada sekarang.
"Ini adalah kastil Kekaisaran Iblis. Kalian saat pergi ke Ibukota mungkin pernah melihatnya dari kejauhan, maka ini adalah aula utamanya," jelas Belial.
Kemudian, pelayan pribadi sang Kaisar mendahului mereka lalu berkata dengan tubuh sepenuhnya menghadap mereka "Tuan-tuan tolong ikuti saya, paduka Void sudah menunggu di ruang singgasana," ucapnya kemudian berbalik kembali dan melangkah ke depan; mendahului mereka berempat.
Lirikan mata tak bisa diam, Retto menyusuri kesana-kemari; melihat apa yang ada di sepanjang aula utama yang amat luas itu dengan tatapan kagum. Hal serupa juga dilakukan Ivaldi, namun Iblis tanpa ekspresi itu melirik dengan perlahan bak aliran sungai yang tenang.
Lalu Edward, dirinya hanya menatap lurus ke depan dengan senyuman tipis di wajahnya. Raut wajah kekaguman bahkan penasaran tak terlukis di wajahnya, hingga Retto menyadari hal itu dan bertanya.
"Ed, sepertinya kau terlihat biasa saja? Apa kau tidak kagum dengan semua ini?" bisik Retto tepat di telinganya.
Menoleh sedikit Iblis itu kala mendengar suaranya, ia menjawab dengan suara pelan "Tidak, aku sangat kagum loh. Hanya saja aku sedang menahan diri, karena ada yang lebih ingin kulihat."
"Apa maksudmu paduka Void?" tanya Retto lagi dengan pelan.
Lelaki berambut perak itu tak menjawab, hanya tawa pelan lalu kembali melihat ke arah depan dengan senyuman tipis yang masih tak ia lepaskan, hingga membuat Retto mengerutkan keningnya tanda ia tak mengerti.
Perlahan mereka kemudian menapaki 30 anak tangga yang dimana di ujung anak tangga itu terdapat sebuah pintu besar berwarna merah yang dihiasi dengan batuan-batuan kecil permata Ruby dan gagang pintu yang berwarna emas.
Scintia kembali berbalik menghadap mereka lalu dirinya kembali berbicara "Dibalik ruangan ini adalah ruang singgasana, ruangan yang hanya memiliki satu kursi dan kursi itu hanya boleh di duduki oleh seorang penguasa Kekaisaran saja, lalu sangat dilarang siapapun yang berdiri terlalu dekat dengan anak tangga yang ada di dekatnya. Karena itu menjadi pembatas antara tamu bahkan orang yang bekerja disini juga. Menjadi pengecualian jika orang itu sudah diizinkan oleh paduka Void, jadi tolong berhati-hatilah."
Penjelasannya seakan menegaskan betapa pentingnya hal itu untuk diingat, seolah-olah akan ada hukuman yang begitu berat bila mereka melanggar aturan itu. Anggukan yang disertai rasa gugup Retto lakukan seakan berusaha keras untuk mengingat hal itu.
Kemudian Scintia kembali berbalik lalu membuka pintu besar itu dengan menariknya ke belakang. Sebuah ruangan yang menyanikan pemandangan yang begitu membuat Retto dan Ivaldi takjub, pilar-pilar penyangga disisi kiri dan kanan berwarna kuning kecoklatan, di bagian atasnya dipasangi oleh bendera-bendera Kekaisaran yang amat megah seakan menunjukkan kebesaran tempat tinggal mereka itu.
Kaki mereka untuk sesaat merasa ragu untuk melangkah, hingga Scintia memberikan sebuah anggukan kecil yang mendorong langkah mereka untuk masuk kedalam.
Seraya melangkah, mata mereka kemudian kembali menyusuri di sekitar pilar-pilar itu. Beberapa prajurit dengan zirah hitam tengah berdiri dengan tombak mereka, berbaris tanpa ada gerakan sedikitpun sampai Retto sekilas mengira mereka adalah sebuah patung.
Lalu kala mereka melihat ke depan, tepat ke arah kursi singgasana. Mereka tidak melihat siapapun yang duduk di kursi itu, hanya sebuah kursi kosong yang seakan sudah melekat dengan ruangan itu.
Langkah mereka kemudian dihentikan oleh Belial, tepat 8 langkah lagi mendekati anak tangga yang disinggung oleh Scintia. Namun Scintia melebihi batas itu, dirinya tetap berada di depan mereka kemudian berbalik dan berbicara.
"Maaf, tolong tunggu sebentar, ada barang yang harus saya ambil. Tuan Belial, bisakah anda membantu saya?" ucap lalu pinta Scintia yang kemudian menoleh kearah Belial.
Seraya mengangguk, Belial menjawab "Tentu saja," kemudian mereka berdua pergi menuju ke sebuah ruangan yang ada di sisi kanan kursi itu, meninggalkan mereka bertiga sendirian bersama dengan para penjaga yang tengah berdiri.
"Astaga, luar biasa. Siapa sangka akan menjadi seperti ini," ucap Edward cukup keras.
Begitu keras hingga Retto dan Ivaldi terkejut dan langsung melirik tajam kearahnya.
"Ed! Pelankan suaramu, kau seharunya tau kita harus menjaga sikap disini. Apalagi disini juga ada prajurit, aku tidak mau terkena masalah lagi, jadi tolong jangan bicara yang macam-macam!" pinta Retto dengan suara yang begitu pelan, Ivaldi pula hanya mengangguk-angguk tanda ia sepakat dengan ucapan Retto.
Namun seolah tak mendengar hal itu, Edward justru tertawa cukup keras "Hahaha, kau terlalu khawatir. Tenang saja, kita akan baik-baik saja," ucapnya dengan sangat percaya diri.
Retto langsung menoleh ke sekelilingnya dengan waspada disertai kepanikan begitu merasakan tatapan yang tertuju kearah mereka.
"Ed! Aku bersumpah akan memukulmu jika kau berisik. Aku mohon, aku tidak mau terkena ma–. He--hey!"
Belum selesai berbicara, Edward meninggalkan mereka dengan berjalan terus kedepan; melewati batas yang telah diperingatkan Scintia. Wajah mereka menegang, Retto panik hingga bingung tak tahu harus berbuat apa.
"E--edward! Oh tidak astaga astaga astaga! Dia akan membunuh kita! Ivaldi, akatakan sesuatu!"
Kala Retto membujuk Ivaldi, sahabatnya tengah mendangah ke atas dengan mata terpejam.
"Ya ... Aku sudah menduga kalau hal ini akan terjadi, aku senang bisa hidup selama ini," dirinya pasrah.
"Jangan begitu bodoh!" bentaknya cukup keras tanpa sadar "Oy Ed–. Ah ... Tidak," begitu kembali menoleh kearah Edward, teman mereka yanng memiliki rambut perak itu sedang bersantai duduk di atas singgasana.
Dirinya menaruh siku di atas lengan kursi, menekuk lengannya lalu mengepalkan tangan dan wajahnya bertumpu di atas kepalan tangan itu, lalu kaki kanannya pula menumpu di atas kaki kiri bak seorang penguasa.
"Edward! Kau sudah tidak waras atau bagaimana!?" bentak Retto benar-benar marah "Kau tidak boleh duduk disana! Astaga kenapa kau ini!?"
Dengan santai Edward hanya berkata "Retto, tenang saja. Tidak akan terjadi apapun."
Retto kembali membalas dengan membentaknya seakan tak peduli lagi dengan prajurit-prajurit di belakangnya "Apanya yang tidak, bodoh! Bagaimana kalau Nona Scintia dan Tuan Belia–. Ah," ketika dia memperingati apa yang ia takutkan, dalam sekejap hal itu terjadi.
Suara derit pintu terdengar, Belial dan Scintia keluar dari ruangan itu dengan membawa dua kotak berwarna hitam dengan bagian atas yang tampak bisa dibuka. Mereka yang ada disana hanya bisa mematung cukup lama kala itu terjadi, ternganga Iblis berambut merah itu tak tahu harus bagaimana dirinya beralasan.
Hingga Belial menoleh kearah Retto dengan ekspresi datar, kemudian melangkah mendekatinya.
"Tu--tuan Belial. To--tolong maafkan dia, ka--kami sudah memperingatinya ... Karena itu.
Namun kala dirinya sudah semakin mendekat, Belial berbalik ke arah Edward yang tengah duduk bak seorang penguasa. Lalu dirinya berlutut dengan kepala tertunduk, hal serupa juga dilakukan oleh Scintia yang sudah berdiri cukup dekat dengan kursi itu.
"Eh? A--apa? Kenapa?"
Ribuan pertanyaan langsung muncul denga cepat bagaikan petir yang menyambar, semua pertanyaan yang tak bisa ia jawab. Bahkan Ivaldi sendiri hanya memejamkan mata kemudian menghela napas tanpa disadari siapapun.
"Ed ... Apa ... Apa ini?"
Edward terkekeh melihat ekspresi kebingungan sahabatnya itu, kemudian dalam sekejap wajahnya menjadi serius dan dirinya pun berdiri lalu mengayunkan tangannya dan terpaku ke arah depan "Wahai prajuritku, keluarlah dari ruangan ini dan kembalilah pada pekerjaan kalian yang menjaga kastil ini!"
Seluruh prajurit yang berbaris itu dengan serentak menjawab "Ha!" tanda mereka patuh, kemudian mereka melangkah kedepan bersama-sama hingga menjapai karpet merah di tengah ruangan itu, lalu melangkah keluar dari ruangan itu.
Hanya terdiam dengan tatapan tak percaya apa yang baru saja ia lihat dan ia dengar. Kala dirinya melihat kembali kearah Edward, lelaki berambut perak yang selama ini ia kenal sebagai teman dekatnya selama pelatihan hanya tersenyum penuh kepuasan.
"Paduka, tolong izinkan saya kenakan ini untuk anda," ucap Scintia yang sudah berdiri lagi sembari memegang jubah hitam di belakang Edward.
"Ah, ya. Terima kasih, Scintia," ucap Edward.
Hanya ucapan terima kasih saja, senyuman Scintia menjadi sangat berbeda dibandingkan dengan apa yang Retto lihat sebelumnya. Iblis berambut perak itu memakai sebuah jubah yang begitu megah dan bahkan tampak sedikit lebih besar daripada ukuran tubuhnya. Setelah itu kemudian dirinya kembali mengambil pose duduk seperti sebelumnya
"Bagaimana? Aku keren, kan?" tanya Edward tersenyum lebar kesrah dua sahabatnya yang mematung.
Meski suara dan gaya bicara yang sangat ringat itu sudah sering meteka dengar hingga mereka merasa tak asing sebab terbiasa, tetapi mereka tak bisa membalas seperti biasanya dikala mereka bersamaan telah menduga satu hal yang sama persis meski tak bisa mereka percaya.
Edward menghela napas lembut tanpa melepaskan senyuman tipisnya "Mungkin waktunya untuk sedikit serius, saja," ucapnya pelan meskipun dapat di dengar mereka semua karena ruangan yang sangat sunyi itu, kemudian Edward kembali berbicara "Selamat siang semuanya, terima kasih karena sudah datang ke kastil ini. Lalu, Jenderal Belial."
"Ya, paduka."
Mendengar Belial yang selalu mereka hormati serta takuti membalas dengan panggilan itu, semakin membuat Retto dan Ivaldi tak bisa percaya dengan kenyataan yang mereka lihat.
"Kuucapkan terima kasih dan kupuji dirimu karena pelatihan prajurit tahun ini telah menciptakan banyak prajurit berbakat untuk Kekaisaran. Berkat dirimu juga kekuatan Kekaisaran selalu berada dalam titik stabil meskipun beberapa pekan terakhir ini kita telah diguncang beberapa kali konflik, mau itu dari dalam dan dari luar Kekaisaran," tutur Edward memuji Belial.
Dengan kepala tertunduk Belial menjawab "Saya hanya menjalankan tugas saya, paduka."
"Kalau begitu atas keberhasilan mu, apa ada yang ingin kau inginkan?" tanya Edward.
Namun dengan jelas Belial jawab "Tidak, paduka. Pujian yang anda berikan saja sudah cukup bagi saya."
Kesetiaan yang hanya diberikan kepada satu orang saja, meski tahu hal itu tetapi Retto dan Ivaldi terkagum melihat betapa besar kesetiaan dan pengorbanan diri Belial kepada sang Kaisar.
"Begitu," kemudian sorot mata Edward tertuju kepada kedua sahabatnya, Retto mengejang untuk sesaat karena terkejut di tatap oleh temannya sendiri. Kemudian Edward kembali berbicara; ia menoleh secara bergantian ketika menyebutkan nama sahabatnya "Retto, Ivaldi. Kuucapkan selamat kepada kalian karena secara resmi kalian telah menjadi prajurit Kekaisaran. Lalu, mulai sekarang berikanlah kesetiaan dan jiwa kalian kepada ku, lalu lindungilah tanah ini tanpa mengkhawatirkan kematian yang menjadi resiko pekerjaan kalian," kemudian dirinya berdiri kembali, lalu tangannya mengulur kearah mereka dengan telapak tangan terbalik "Aku, penguasa tanah Kekaisaran Iblis, Kaisar Void, memberikan kalian sebuah tanggung jawab untuk menjadi pedang dan juga perisai untuk Kekaisaran Iblis!"
Sebuah pernyataan yang tak mereka sangka keluar dari mulut sahabat mereka, lalu sebuah kenyataan yang tak bisa mereka sangka jika sahabat mereka merupakan seorang Kaisar Iblis.
To be continue